Bab 11

2471 Kata
Ketika mengetahui kabar adiknya Galang sudah siuman, Tian pun segera pergi menuju rumah sakit. Ceklek! "Assalamu'alaikum Ma, Pa." "Wa'alaikumsalam, Nak," sapa Lina menjawab salam dari putra sulungnya. "Bagaimana keadaan Galang sekarang, Ma?" tanya Galang yang merasa khawatir dengan keadaan adiknya. "Adik kamu baru saja tidur. Setelah minum obat penenang yang diberikan oleh dokter, Nak." "Kenapa Galang diberi obat penenang, Ma?" tanya Tian lagi yang merasa heran. "Soalnya adik kamu tadi teriak-teriak, dia nggak terima kalau dokter mengatakan kaki sebelah kanannya mengalami kelumpuhan." "Tapi kelumpuhan yang dialami Galang sifatnya sementara kan, Ma? Soalnya dokter ngomong seperti itu kepada Tian," jawab pria itu. "Iya, Nak. Berarti sebelumnya kamu sudah mengetahui kondisi adikmu, ya?' Tian pun mengangguk menjawab pertanyaan dari mamanya. "Maafkan Tian, Ma. Karena tidak memberi tahu Mama dan Papa mengenai kondisi Galang yang sebenarnya. Tian hanya tidak ingin membuat kalian makin bertambah cemas," ucap pria itu. "Papa nggak masalah Tian, lagi pula ini memang kesalahan adikmu. Yang terpenting sekarang, bagaimana kita memberikan pengobatan yang terbaik agar Galang bisa berjalan seperti dulu lagi." Bagas pun berusaha bersikap tenang. Terhadap musibah yang menimpa putra sulungnya. "Iya Pa, sekarang apa rencana Papa?" tanya Tian meminta pendapat papanya. "Kemungkinan Papa akan membawa Galang berobat ke Singapura. Di sana ada dokter terbaik yang bisa membantu mempercepat kesembuhan Galang," jelas Bagas kepada putranya. "Baiklah Pa, Tian sangat setuju dengan ide Papa." "Mama ikut ya, Pa," pinta Lina yang merasa sangat khawatir dengan kondisi putranya. Dan ingin selalu berada di samping Galang. "Iya, Ma," jawab Bagas. "Kamu nggak apa-apa kan, Yan? Kami tinggal untuk sementara waktu?" tanya Lina kepada putra sulungnya. "Iya Ma, nggak apa-apa. Saat ini Mama fokus saja dengan kesembuhan Galang. Lagi pula, kemungkinan besok Tian akan berangkat ke luar kota, untuk meninjau beberapa proyek yang harus segera diselesaikan," jawab Tian memberi alasan kepada mamanya. Padahal sebenarnya ia sudah tidak sabar lagi untuk segera kembali ke Kota Jambi. Ia ingin secepatnya bertemu dengan sosok wanita yang sangat ia rindukan. "Ya sudah, Nak. Kamu juga jangan lupa jaga kesehatan. Ingat pesan Mama, kalau kerja itu ingat waktu, ingat makan," pesan Lina kepada putranya. "Iya Ma, Tian akan selalu ingat pesan Mama," jawab Tian. *** Kini Tian pun sudah kembali ke kantornya. "Aurel! Keruangan saya sekarang!" "Baik Pak." Aurel pun mengikuti langkah bosnya itu dari belakang. "Ada apa ya, Bapak memanggil saya?" tanya Aurel kepada Tian bosnya. "Pesan kan saya tiket pesawat dengan rute Jambi sekarang juga. Sekalian kamu beli kan, oleh-oleh khas dari kampung, yang banyak, ya," perintah Tian kepada Aurel, salah satu sekretarisnya di kantor. "Oleh-oleh khas kampung, memangnya oleh-oleh seperti apa, Pak?" tanya Aurel karena sedikit tidak mengerti dengan permintaan aneh bosnya itu. "Terserah kamu Aurel, kamu searching saja di internet," perintah Tian. "Baiklah Pak, kalau begitu saya permisi dulu." *** Karena bingung harus membeli apa, akhirnya Aurel membelikan beberapa cemilan khas kampung dan juga beberapa buah-buahan. Setelah sampai di kantor, Ia pun langsung memberikannya kepada Tian. "Ini Pak oleh-oleh, yang Anda minta. Semoga Pak Tian suka. Dan masalah tiket, sudah saya pesan. Satu jam lagi pesawat akan segera berangkat," jelas Aurel kepada bosnya. "Baiklah, terima kasih. Suruh supir bawa oleh-oleh ini kedalam mobil saya sekarang," perintah Tian kepada sekretarisnya. "Oh ya, Pak. Kalau boleh saya tahu, berapa lama Anda akan pergi ke luar kota?" tanya Aurel. "Saya tidak tahu berapa lama. Selama saya tidak ada, saya harap kamu bisa berkerja semaksimal mungkin. Karena saya akan tetap memantau kantor ini, meskipun saya berada di luar kota," jelas Tian kepada sekretarisnya  "Baik Pak saya mengerti." Tian pun segera pergi meninggalkan Aurel yang masih merasa heran, dengan apa yang dilakukan bosnya itu diluar kota. "Sebenarnya Pak Tian dan Mas Rendi lagi ada mengerjapkan proyek apa ya, di luar kota? Kok perginya lama banget," pikir Aurel dalam hati, dengan penuh tanda tanya. *** Tak lama kemudian pesawat yang ditumpangi Tian pun telah sampai di Bandara Sultan Taha Jambi tepat pukul 17.30 WIB. Dengan penuh semangat, Tian pun menuju rumah kontrakan, yang ia tempati bersama Rendi. "Assalamu'alaikum Ren," sapa Tian yang sudah membuka pintu rumah tersebut. "Wa'alaikumsalam, Bos. Kenapa Anda nggak bilang, kalau mau datang. Kan, saya bisa jemput Anda di Bandara," ucap Rendi ketika melihat Tian sudah berada di hadapannya. "Nggak apa-apa, Ren. Tadi kebetulan ada taksi, jadi saya langsung naik saja. Kamu tolong bawakan barang-barang saya masuk kedalam ya."  "Siap Bos, laksanakan." Rendi pun segera mengangkat barang bawaan bosnya itu. "Ngomong-ngomong ini apa isinya Bos?" tanya Rendi merasa penasaran. "Oleh-oleh," jawab Tian singkat. "Wah, Bos baik benar. Bawakan saya oleh-oleh dari Jakarta," jawab Rendi yang sudah merasa senang. "Siapa bilang itu untuk kamu? Itu oleh-oleh untuk saya berikan ke keluarga Adel," jawab Tian membuat Rendi kecewa. "Saya pikir itu oleh-oleh untuk saya, Bos. Tapi saya boleh nyicip kan. Hitung-hitung sedekah, sama anak yatim seperti saya," ucap Rendi membujuk Tian. "Ya sudah jangan banyak-banyak, ambil satu saja." "Iya-iya Bos, makasih ya, hehe." Rendi pun segera mengambil salah satu oleh-oleh tersebut, dan langsung menyantapnya. *** Malam pun tiba, saat ini Tian sedang sibuk untuk memilih-milih baju karena ia berencana untuk berkunjung ke rumah Adel malam ini. "Bos sebaiknya jangan pakai baju yang itu," larang Rendi cepat. Ketika melihat Tian mengenakan pakaian branded. "Kenapa Ren? Yang inikan bagus," tanya Tian yang merasa heran. "Iya bagus, tapi nanti keluarga Adel akan curiga kalau Bos pakai baju bermerk. Kemarin saja Adel sempat curiga saat melihat ponsel yang Anda pakai. Untung saja dia percaya waktu saya bilang kalau Anda baru dapat warisan dari kakek Anda di kampung," jawab Rendi menjelaskan. "Oh begitu ya Ren, jadi saya harus lebih berhati-hati lagi ni." "Ya iyalah, Bos." "Jadi saya harus pakai baju apa dong Ren?" tanya Tian lagi yang sedikit bingung. Lama Rendi berpikir. "Tinggu sebentar Bos." Rendi pun segera membongkar-bongkar isi lemarinya. "Nah ini cocok untuk Bos pakai kerumahnya Adel," ucap Rendi sambil menyerahkan kemeja garis-garis berwarna biru muda kepada Tian. "Inikan baju kamu Ren, saya nggak mau ah, pakai baju kamu," tolak Tian cepat. "Ya elah Bos, sudah pakai saja biar keluarga Adel nggak curiga." Dengan sedikit ragu-ragu, akhirnya Tian mau memakai baju yang diberikan Rendi. "Cocok juga Ren, saya pakai baju ini." "Makanya Bos jangan langsung di tolak, dicoba dulu. Bos lihat sendirikan, kegantengan saya nular ke Bos lantaran Anda pakai baju saya. Hehe." "Kepedean kamu Ren." "Hehe, tapi Rendi memang ganteng kan,Bos," ucap Rendi dengan percaya dirinya "Ganteng dari Hongkong. Ya sudah, kalau begitu saya mau ke rumah Adel dulu, kamu doain saya ya Ren. Semoga saja Adel dan keluarganya bisa menerima saya," pinta Tian kepada asisten pribadinya. "Cie, jadi ceritanya mau ngelamar anak gadis orang ni, hehe," goda Rendi. "Bukan melamar, tapi saya mau mendengar jawaban Adel. Tentang perasaan saya yang sudah saya ungkapkan ke dia tempo hari," jawab Tian. "Kalau menurut saya si ya Bos, sepertinya Adel juga suka deh sama Anda." "Kamu benaran Ren, jangan kasih saya harapan palsu." "Ini menurut feeling saya Bos. Soalnya saat kepergian Bos, saya melihat Adel agak sedikit kurang bersemangat. Dan dia juga selalu menanyakan kabar Bos ke saya." "Semoga saja feeling kamu benar Ren. Kalau memang nanti Adel menerima saya, akan ada bonus yang menanti kamu." "Benaran Bos?'" tanya Rendi dengan antusias. "Kapan si saya bohong," jawab Tian. "Ya Allah, semoga saja Adel mau membuka hatinya untuk menerima perasaan Bos Tian. Amin ya Allah,"  ucap Rendi sambil berdoa, dengan perasaan senangnya. Kini Tian pun telah sampai didepan pintu rumah Adel sambil membawa oleh-oleh ditangannya. Dengan mengucapkan basmalah ia pun segera mengetuk pintu rumah Adel. "Bismillahirrahmanirrahim," ucap Tian dalam hati. Tok! Tok! "Assalamu'alaikum." Tak lama kemudian pintu pun terbuka. Ceklek! "Wa'alaikumsalam, maaf ya Bang cari siapa?" tanya Desi yang membuka pintu. "Perkenalkan nama saya Tian, apa Adel nya ada?" Tian menyampaikan maksud kedatangannya, ingin bertemu dengan Adelia. "Oh, Abang ini yang namanya Tian, teman kerjanya Kak Adel," ya," tanya Desi. "Iya," jawab Tian dengan sopan. "Perkenalkan Bang, saya Desi adiknya Kak Adel. Silahkan masuk dulu Bang." tawar Desi kepada pria t. "Terimakasih." Tian pun segera masuk kedalam rumahnya Adel. "Duduk dulu Bang, Desi panggilkan Kak Adel dulu."  "Oh iya Des, ini ada sedikit oleh-oleh dari kampung kamu bawa kedalam ya." "Terimakasih Bang, jadi ngerepotin Abang pakai bawa oleh-oleh segala." "Nggak apa-apa kok Des." "Ya sudah Desi kedalam dulu ya Bang panggilkan Kak Adel." Desi pun segera masuk kerumah untuk memanggil kakaknya. Saat ini Adel dan mamanya sedang duduk bersantai di ruang keluarga. "Kamu habis belanja ya Des, kok banyak banget bawaan kamu, beli apa saja sih, Nak?" tanya Sarah ketika melihat putri bungsunya datang dengan membawa kantong kresek besar. "Desi bukannya belanja, Ma. Tapi, ini oleh-oleh dari calon kakak ipar," jawab Desi. Adel yang tengah asyik membaca novel menjadi kaget, ketika mendengar Desi menyebutkan kata calon kakak ipar. Dia pun langsung menghentikan aktivitas membacanya. "Apa maksud ucapan kamu, Des? Memangnya siapa yang datang?" tanya Adelia agak sedikit penasaran. "Hehe, ayo tebak Kak siapa yang datang." Desi pun sengaja menggoda kakaknya. "Memangnya siapa yang datang Des? Kamu ini jangan suka bercanda sama kakak kamu," ucap Sarah kepada Desi. "Itu lo, temannya Kak Adel, yang Mama bilang mirip dengan Lee Min Ho," jawab Desi. "Maksud kamu di depan ada Bang Tian Des?" tanya Adelia yang merasa penasaran. "Ya sudah, Kakak lihat saja sendiri siapa yang datang." Adel pun bergegas menuju ruang tamu. Ada perasaan senang disaat mengetahui pria yang menyita pikirannya beberapa hari ini, kini ada dirumahnya. "Bang Tian," ucap Adel pelan ketika melihat sosok pria yang kini tengah duduk di kursi tamunya." "Assalamu'alaikum Del. Apa Kabar?" tanya Tian ketika melihat wanita itu. "Wa'alaikumsalam Bang, kabar Adel seperti yang Abang lihat sekarang. Oh ya, kenapa Abang nggak bilang kalau mau datang kerumah Adel? Biar Adel bisa siap-siap," tanya wanita itu  "Maaf Del, kalau kedatangan Abang mendadak. Kebetulan Abang baru sampai sore tadi, jadi Abang nggak sempat ngasih tau Adel," jawab Tian. "Oh ya, bagaimana keadaan adik Abang?" "Alhamdulillah sekarang keadaannya sudah berangsur membaik Del." "Alhamdulillah Bang, kalau begitu." Ketika Adel dan Tian sedang asyik berbincang-bincang, Desi pun datang dengan membawa dua cangkir teh hangat serta cemilan yang dibawakan oleh Tian tadi. "Diminum Bang tehnya," tawar Desi kepada Tian. "Iya Des makasih, maaf sudah merepotkan kamu." "Nggak apa-apa Bang, kalau sama Desi mah santai saja hehe." Desi pun segera duduk di samping Adel. "Kamu ngapain duduk disini Des, mendingan kedalam sana temani Mama," usir Adelia kepada adiknya. "Bilang saja mau berduaan sama gebetan ya Kak, hehe," goda Desi. "Ngomong apaan si kamu, sudah pergi sana." "Iya-iya, Desi kedalam dulu ya Bang Tian, tehnya jangan lupa diminum." "Iya Des pasti." Selepas kepergian Desi. "Maaf ya Bang atas sikap Desi tadi, nggak usah didengar. Desi memang anaknya begitu, suka bercanda." Ucap Adel berusaha mencairkan suasana yang agak sedikit kaku." "Nggak apa-apa kok Del. Lagipula maksud kedatangan Abang kesini, Abang ingin mendengar jawaban dari Adel mengenai perasaan Abang yang sudah Abang ungkapan sama Adel. Apapun yang menjadi keputusan Adel Abang terima. Seperti yang Abang bilang kemarin, walaupun seandainya Adel menolak Abang, Abang harap Adel jangan pernah menjauhi Abang " Terus terang Tian agak sedikit gugup mengucapkan kalimat itu. Padahal sudah banyak orang-orang penting, para petinggi negara, dan pengusaha sukses yang ditemuinya dari berbagai negara. Entah mengapa ketika berhadapan dengan Adel saat ini membuat seorang Mr Tajir sekelas Gustian Abraham menjadi salah tingkah dan kurang percaya diri. Mungkin karena saat ini dia sedang berhadapan dengan seorang wanita yang mampu menggetarkan hatinya, sehingga membuat seorang Gustian Abraham menjadi seperti itu. Sedangkan Adel, lama dia terdiam memikirkan jawaban apa yang harus diberikannya kepada Tian. Di satu sisi ia ingin menerima Tian, tapi di sisi lain masih ada perasaan trauma yang terus menghantuinya. "Bagaimana Del? Apa pun yang menjadi keputusan kamu, Abang sudah siap menerimanya. Mungkin kamu masih perlu waktu untuk kita saling mengenal. Abang nggak akan maksa kok, kalau memang kamu belum siap untuk menerima Abang," ucap Tian dengan nada pasrah. Saat ini dia tidak ingin memaksa Adel. Karena ia ingin Adel menerimanya dengan ikhlas bukan karena paksaan atau perasaan tidak enak terhadap dirinya." "Bismillahirrahmanirrahim, iya Bang Adel mau. Adel terima perasaan Abang ke Adel." Deg! Tian sedikit kaget mendengar jawaban dari wanita itu. "Apa Abang nggak salah dengar Del?" tanya Tian yang seakan tidak percaya. "Nggak Bang." "Jadi kamu terima perasaan Abang." Adel pun mengangguk sambil tersenyum. "Adel akan mencoba membuka hati Adel untuk Abang. Kita jalanin saja dulu prosesnya Bang, biarlah Tuhan yang menentukan yang terbaik untuk kita. Kalau memang Abang jodoh Adel kelak, Insya Allah Adel terima." "Subhanallah, terima kasih Del." Secara refleks Tian pun menggenggam tangan wanita itu. Menciumnya dengan bertubi-tubi. Adelia sangat kaget, saat melihat apa yang dilakukan oleh pria, yang baru saja menjadi kekasihnya. Dengan cepat ia menarik tangannya dari genggaman Tian. "Maaf Bang, kita bukan muhrim. Sebaiknya Abang jangan pernah menyentuh Adel lagi." "Iya Del maaf, Abang lupa. Abang melakukan itu karena Abang sangat senang. Abang janji mulai malam ini Abang akan berusaha mengendalikan diri dan akan menghormati kamu sebagai mana Abang menghormati Ibu yang telah melahirkan Abang. Dan Abang juga tidak akan pernah menyentuh mu lagi sebelum Abang sah menjadi imammu." "Terima kasih ya Bang, sudah mau menghormati keputusan Adel." "Iya Del, kamu wanita baik. Abang akan selalu menghormati apa yang sudah menjadi keputusan kamu." Tian merasa lega sekarang, apa yang selama ini mengganjal dihatinya telah hilang. Dia tidak menyangka malam ini akan menjadi malam yang sangat membahagiakan dan bersejarah bagi hidupnya." "Oh ya Del, sudah malam. Kamu bisa panggilkan Mama mu, soalnya Abang mau pamit pulang." "Iya Bang, bentar ya Adel panggilkan Mama dulu." Adel pun segera masuk menuju tempat dimana mamanya kini berada. "Cie-cie, yang senyum-senyum dari tadi, sepertinya ada bau-bau kebahagiaan ni," ucap Desi berusaha menggoda kakaknya. "Apaan si Des, dasar kepo," jawab Adelia agak sedikit ketus. "Oh ya Ma, Bang Tian mau pamit pulang sama Mama." "Pamit sama Desi juga nggak Kak." Celetuk Desi tiba-tiba. Ketika Sarah hendak menjawab perkataan putrinya. "Sama kamu nggak perlu, nggak penting juga," jawab Adelia. "Desi sudah deh, jangan menggoda kakak kamu terus," hardik Sarah kepada bungsunya. "Iya Ma, iya." "Ya, sudah. Ayo Sayang, kita ke depan," ajak Sarah kepada kedua putrinya. Mama Sarah, Desi dan Adelia pun segera ke depan untuk menemui Tian. "Sudah mau pulang Nak Tian?" tanya Sarah dengan ramah kepada teman putrinya itu. "Iya Tante, sudah malam soalnya,," jawab Tian  "Ya sudah, kamu hati-hati di jalan. Oh ya makasi oleh-olehnya." "Iya, Tante. Sama-sama," jawab Tian dengan sopan. "Terus kabar adik kamu bagaimana? Kata Adel dia kecelakaan motor ya." "Iya Tante, Alhamdulillah keadaannya sudah membaik, makanya saya bisa pulang ke Jambi sekarang." "Alhamdulillah Nak Tian, Tante  juga turut senang mendengarnya." "Terimakasih kasih Tan, kalau begitu saya pamit pulang dulu." "Iya Nak Tian," jawab Sarah sambil menatap kepergian pria itu. "Hati-hati ya Bang Tian," teriak Desi ketika Tian hendak melangkah pergi. "Iya Des," ucap Tian sambil melirik kearah Adel. "Del, Abang pulang dulu ya." "Iya Bang," jawab Adelia dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajahnya. "Cie-cie yang fall in love," ucap Desi yang masih saja menggoda kakaknya. "Desi!" Teriak Adelia. "Ampun Kak, hehe." Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN