Dipermalukan Danis

1272 Kata
Luna berdiri di depan Danis yang sedang melihat siaran bola di televisi. Dia melihat Danis dengan wajah sangat kesal. Danis yang merasa pandangannya terganggu saat ingin melihat televisi pun, mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Luna. Dia kaget saat gadis di depannya itu melihatnya dengan pandangan yang tidak enak. “Ngapain kamu berdiri di situ. Ga liat apa kalo aku liat TV?” protes Danis. Luna tidak berkomentar atau pun menjawab pertanyaan Danis. Dia masih kesal dengan tingkah Danis yang sok lupa tentang jam tangannya. Danis melihat lagi ke arah Luna, “Eh iya, aku baru inget. Jam tanganku lagi aku ganti batrenya di tokonya. Jadi kamu ga usah nanya ke pelayan.” Danis melihat ke arah mata tajam Luna. Mata itu seakan siap untuk memancarkan laser untuk membunuh Danis saat itu juga. Ada rasa takut juga di dalam hati Danis. “Jadi kamu udah inget tentang jam tangan itu? Kamu inget jam tangan kamu di mana setelah kamu marahin aku? Kamu inget dan ga ngerasa salah sama sekali?” “Apaan sih? Kan tadi aku beneran lupa.” “Lupa apaan lupa! Meski baru sebentar aku kenap kamu, tapi aku tau kamu orangnya detail banget! Kamu ga akan mungkin lupa ato kamu emang sengaja lupa trus ada alesan buat ngomelin aku. Iya ... gitu ya” “Ngomong apaan sih! Udah ah, ga jelas kamu emang kok!” Danis berdiri dan meninggalkan Luna sendirian di sana. Masih terdengar suara Luna yang menggerutu di belakang Danis. Luna kesal karena Danis benar-benar tidak peduli padanya. Seharusnya dia minta maaf karena tadi dia lupa. Tapi justru Danis biasa saja seperti tanpa ada masalah sedikit pun. “Apaan itu liatin aku kaya gitu. Cwe apaan yang bisa liat orang kok sampe mau di telen gitu. Ihh ngeri banget dia kalo marah. Gitu bilang aku monster. Ga liat apa tadi muka dia kaya apa kalo dia lagi marah. Dasar cwe aneh,” gumam Danis sambil pergi meninggalkan ruang tengah. “Dasar Danis si monser. Seenaknya aja nyuruh orang nyariin barang dia yang di bilang ilang. Ga taunya dia sendiri yang nyimpen di toko. Emang mau nyari masalah kok tuh orang. Nyebelin banget!” gerutu Luna kesal. Luna kembali ke meja makan. Dia merasa sangat lapar saat ini. Biasanya dia akan makan setelah Danis, tapi karena dia baru saja selesai marah pada Danis, maka rasa laparnya datang lebih cepat. Danis melihat Luna sedang makan malam sendirian di meja makan. Dia berdiri sedikit jauh dari meja makan dan melihat langsung ke arah Luna yang sedang sibuk dengan piringnya. “Sejak kapan kamu makan duluan?” “Sejak hari ini.” “Apaa?” “Kamu buat aku kesel! Kamu emang monters ga ada akhlak! Kamu nyebelin!” “Enak aja. Kamu yang monster! Cuma gitu doank aja ngambek, dasar bocah!” “Biarin weee ...,” Luna menjulurkan lidahnya pada Danis. Sreeettt Seolah ada setrum yang mengalir pada tubuh Danis saat ini. Saat dia melihat tingkah manja Luna yang kekanakan. Hanya sebuah tingkah menyebalkan, tapi entah mengapa bisa mampu membuat badan Danis bergetar. Pemuda itu segera pergi meninggalkan tempatnya. Dia tidak ingin melihat gadis yang sudah 2 minggu ini tinggal satu rumah dengannya. “Ga mungkin! Ga mungkin bisa geter seenaknya gini. Pasti ini cuma karena geli aja liat tingkah bocah sok imut kaya dia. Dasar bocah!” Danis masuk ke ruang kerja. Dia akan menunggu temannya yang sebentar lagi akan datang. Dia baru saja mendapatkan kabar kalau Zain dan Yoga akan segera sampai di rumah megahnya. Danis memilih membaca beberapa dokumen laporan perusahaannya. Tangannya kini sudah memegang sebuah pad dan dia duduk bersandar di kursi kerja yang terlihat sangat nyaman itu. Ada senyum yang tergambar di bibir Danis. Senyum dan mata yang berbinar menatap layar ipad di depannya. “Kok dia bisa seimut itu ya. Mukanya yang kecil dan tubuhnya yang mungil itu kalo ngambek makin imut. Tatapan matanya emang keliatan galak, tapi kalo udah liat bibir dan mukanya jadi gemesin,” ucap Danis bergumam sendirian. “Eh ngomong apaan sih gw! Mana ada tuh orang imut! Ga ad! Pokoknya ga ada, yang imut dan cantik tetep Maya.” Danis meletakkan pad-nya dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dia merutuki dirinya yang baru saja keceplosan mengagumi Luna. Suatu kesalahan besar bagi Danis. Tok tok tok “Masuk!” Lisa masuk ke dalam ruang kerja dan menghadap Danis, “Tuan ... tamu anda Tuan Yoga dan Tuan Zain sudah datang.” “Oh iya. Trus makanan udah di siapkan semua?” “Sudah Tuan. Nyonya sudah menyiapkan semuanya untuk Anda dan tamu Anda.” “Di mana dia sekarang?” “Sedang ada di ruang tengah.” “Ya sudah biarin aja. Aku mau makan dulu sebelum bekerja lagi.” “Baik Tuan.” Danis segera pergi meninggalkan ruang kerja. Dia ingin bertemu dengan teman-temannya yang akan membantunya mengembalikan akal sehatnya. Bagaimana mungkin dia bisa memuji seorang Luna hanya karena sang gadis terlihat imut malam ini. “Lama amat sih kalian? Ampe laper neeh gw.” “Ya maap. Tadi gw lagi ada urusan dulu,” ucap Yoga. “Iya lagian lu aneh, emang di rumah ini ga ada makanan apa ya?” “Makanan sih pasti ada, tapi kan gw mau makan sekalian bareng ama kalian. Kan lu bilang tadi mau makan di tempat gw.” “Ya tapi kan lu punya istri. Kan bisa lu makan bareng ama iatri lu, iya ga Zain?” “Yoa. Kalo ga aneh ga Danis namanya.” “Mana ada gw punya istri. Dia cuma pajangan. Buruan kita makan.” Tiga orang pemuda itu berjalan bersama menuku ke meja makan. Mereka segera di layani oleh Lisa dan beberapa pelayan yang lainnya. Luna melihat siapa yang datang. Dia mencoba untuk mengenali siapa tamu yang sedari tadi di tunggu oleh Danis. Dia mencoba mengingat siapa mereka berdua. “Hmm itu kaya temen yang waktu nikahan didatengin ama Danis deh. Sahabatnya Danis kali ya. Senengnya kalo punya sahabat, punya temen akrab. Nah gw, haduh ... boro-boro temen akrab, temen biasa aja ga punya,” gumam Luna merutuki kehidupannya. Sementara itu di meja makan, tiga orang pemuda itu sedang menikmati makan malam yang sudah di siapkan Luna. Mereka terlihat lahap dengan makanan yang di sajikan. “Tumben makanan lu kaya gini, beda banget dari biasanya yang lu makan,” tanya Zain. “Apa lagi kalo bukan tingkah dia tuh. Sok-sokan pengen jadi seorang istri yang ngatur rumah. Ya gw terima ajalah, asal dia ga ikut campur urusan pribadi gw.” “Tapi ini enak. Menunya rumahan banget, gw jadi inget kalo pulang ke rumah. Masakan Mama gw selalu gini. Bener ga, Ga?” “Iya bener banget. Mama gw kalo nyiapin makan ya kaya gini. Mana bini lu, kok ga ikut makan?” “Udah makan duluan dia tadi. Kelaperan kayanya.” “Panggil donk, kan lu belum kenalin dia secera resmi ke kita orang, ya kan?” “Duh kalian ini, bikin gw males makan aja.” Danis akhirnya memanggil Luna yang sedang sibuk dengan TV dan toples makanan ringan di atas meja. Luna menoleh dan mengerti isyarat yang di berikan Danis padanya. Luna mendatangi meja makan. Dia melihat semua orang makan dengan sangat lahap. Senyum sapaan dari Yoga dan Zain pun dibalas Luna dengan senyuman juga. “Ada apa sayank?” tanya Luna. Danis menoleh ke arah Luna dan menatap gadis itu. Luna tersenyum manis pada Danis agar pemuda itu tidak merasa kalau dirinya masih menyimpan rasa kesal. “Sayank? Sejak kapan lu panggil gw sayank?” Ledakan tawa terjadi saat itu juga dari dua orang tamu Danis. Wajah Luna yang tadi sangat sopan dan manis, seketika langsung berubah menjadi masam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN