Anak Kecil

1056 Kata
POV Airin Putri Wilson Aku tidak melakukan kegiatan seperti seorang istri pada umumnya. Masa bodo, toh aku tidak meminta dia menjadi suami seperti selayaknya, jadi kita seri. Lelaki tua tapi aku akui masih tampan dan kulitnya pun masih kencang itu keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk yang dililit menutupi bagian pusar hingga lutut. Biarkan dia ngambil baju sendiri. Aku hanya mendengarkan wejangan Mamah soal jadi istri yang baik itu harus begini, harus begitu tapi aku tidak akan melakukannya. Mamah. Kurang apa coba. Tapi Ayah dengan tegaknya main belakang. Aku bahkan tidak sanggup untuk melihat lebih jauh video yang lelaki jahat itu tunjukkan. Aku jadi benci lelaki terkecuali Altan. Kamu dimana Altan. Aku sangat merindu dan menginginkan hangat pelukanmu. Seharusnya kamu dengerin dulu penjelasan ku. Bukannya malah pergi begitu saja tanpa jejak. “Kok belum mandi. Mandi gih!” perintahnya. Hey siapa dia memerintah aku seakan aku ini bawahannya. Aku tak menghiraukan dan tetap asyik main game di ponsel baru yang kemarin lusa si tua bangka ini belikan. Dia berdiri di sampingku. Aku bisa tahu itu dari lirikan ku. Dengan lancangnya dia mengambil paksa ponsel yang sedang aku gunakan. Kemarahanku naik seratus kali lipat. Aku bangun berdiri dan kini aku sedang berdiri menghadapnya. “Aku. Tidak akan menjadi seorang istri seperti pada umumnya. Jangan meminta aku untuk mengurus semua keperluan Om. Anggap aku hanya anak gadis Om yang manja,” kataku, dengan begitu tegas. Aku berharap orang yang ada di hadapanku ini tahu. Aku bukan wanita lemah. Aku terima semua ini hanya untuk Mamah. “Aku tidak akan meminta kamu untuk berperan menjadi seorang istri yang seharusnya. Aku hanya minta kamu ikuti aturan di rumah ini. Apa kamu tidak baca kertas yang menempel di setiap pintu kamar!” pekiknya dengan wajah sangat tidak bersahabat. Jari telunjuknya kearah pintu kamar. “Satu diantaranya. Jika bangun tidur jangan langsung main ponsel,” tegasnya membuat jantungku berpacu lebih cepat bukan berpacu dengan melodi. Aku mendengkus kesal dan menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Aku menatap manik mata nya yang tajam itu dengan tatapan penuh amarah. Aku paling tidak suka peraturan. “Mandi!” pekiknya. Kalau lagi tidak ada jam kuliah aku paling malas mandi. Mandi hanya saat sore saja karena biasanya akan nongkrong di cafe atau main ke Alessa Chantika sahabatku. Dengan kasar dia menarikku hingga aku kini sudah berdiri di depan pintu kamar mandi. “Hahhhh!” aku berteriak kencang saat keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk lilit karena lupa tidak bawa salinan. “Tenang. Aku sama sekali tidak bernafsu terhadapmu anak kecil,” ujarnya sombong. “Kenapa berdiri di depan pintu kamar mandi?” tanyaku curiga. “Orang tuamu akan kesini. Sedang wajahmu bengkak begitu. Kamu rias ya biar gak terlalu kelihatan bengul matamu itu,” tukasnya. Lelaki ini sangat menjunjung tinggi pencitraan. Tidak apa adanya seperti aku sebelum jadi tawanan ancamannya itu. Bukankah bersikap apa adanya jujur dengan diri sendiri itu jauh lebih baik. Dari pada hidup penuh pencitraan yang hanya menampakkan kehidupan semu sekedar mengejar pujian dari orang lain. Terpaksa aku memakai pakaian yang menjadi seserahan kemarin. Pakaian ini bukan kaleng-kaleng. Pakaian bermerk yang seharga satu buah motor gede. Aku tertawa miris di depan cermin meja rias. Menertawakan kehidupanku kini. Aku seperti nyonya besar tapi ... Nyonya yang tidak dicintai tuannya. Aku tidak menemukan cinta dimatanya sedikit pun. Entah ada rahasia apa. Aku yakin Om Brewok itu pasti sedang merencanakan sesuatu. Secara, tidak ada hubungannya bukan soal video asusila itu dengan meminta aku harus menjadi istrinya. Suara salam dari wanita yang begitu aku cinta begitu nyaring hingga terdengar sampai kamar. Mamah ... Mamah .... Aku bergegas merapihkan baju dan rambut yang tadi aku bikin agak keriting biar terlihat bervolume. Rambutku memang tipis tapi tidak setipis rasaku padanya. Eh. Pantas saja suara Mamah begitu nyaring ternyata Mamah sudah berada di depan pintu kamar. Aku memeluk raga wanita yang telah berjuang hidup dan matinya agar aku terlahir kedunia ini. Berjalan bersisian dengan satu tangan menggandeng Mamah adalah hal yang selalu aku lakukan. Sampai di meja makan ternyata Ayah dan juga lelaki yang seusia Mamah itu sudah duduk disana. Bibi menyiapkan makanan dengan sigap Mamah membantu. Apa yang aku lakukan? Aku ikut duduk saling berhadapan dengan lelaki yang katanya suamiku itu. Ayah mengedip-ngedipkan mata seraya sorotan matanya tertuju ke dapur. Namun, aku tetap mengacuhkan hingga semua sudah tersaji di meja aku masih tetap duduk cantik saja. Mamah menjewer kupingku lalu mengambil piring Ayah dan memasukan nasi beserta lauk pauknya. Judulnya sarapan pagi ini langsung makanan berat. Seberat rasa rinduku terhadap Altan. “Pengantin baru nyendok sendiri!” sindir Mamah, saat Om brewok menyendok nasi dan teman-teman nya sendiri. “Biasalah. Pengantin baru, mungkin Ay masih sakit dan lelah,” celetuk lelaki yang kurang asem itu. Bisa-bisanya bilang sesuatu yang menjurus. Bukankah semalam tidak melakukan apa-apa. Mamah dan Ayah tersenyum. Aku memasang wajah malas dan mulai menyendok kan bagianku. Kami makan dalam hening hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar. Mamah dan Ayah mengajak kami ke suatu tempat yang rahasia katanya. Di dalam mobil aku sibuk dengan ponsel tanpa ikut nimbrung ngobrol dengan orang yang usai nya lebih tua dariku. Eh, maaf Mah, Yah maksudnya lebih dewasa dariku. Lagian aku duduk di depan bersisian dengan Pak Supir. Aku selalu mencari informasi lewat media sosial tentang keberadaan Altan. Meski seperti biasa selalu nihil hasilnya. Mobil berhenti di sebuah show room mobil. Dengan begitu antusias aku turun dari mobil. Ternyata kedua orangtua ku memberi hadiah sebuah mobil yang aku sendirilah memilihnya. Tentu dong aku memilih mobil yang sedari dulu aku incar. Selama sekolah hingga kuliah aku belum pernah dibelikan mobil. Selalu barengan sama Mamah. Jadi ini adalah momen yang tepat kata Mamah. Aku kira mereka tidak mau membelikan ku mobil. Padahal aku tahu orangtuaku mampu untuk membeli mobil yang biasa bukan yang mewah. Namun, entah karena alasan apa aku tak pernah mendapatkan itu. Mobil yang aku pilih terbilang yang ekonomis, termasuk pajaknya juga. Aku tahu dirilah. Tidak mau memberatkan juga. Toh nanti aku akan minta ke si tua agar dibelikan mobil mewah seperti yang dia gunakan. Aku memeluk dan mencium Mamah tapi tidak dengan Ayah. Ayah komplen dan memasang wajah cemberut. Sayangnya aku tidak merasa tidak enak hati ya biasa saja. Hatiku terlanjur hancur dan berserakan sulit untuk aku pungut dan dipasangkan hingga membentuk seperti semula. Lelaki yang selalu aku puja dan aku banggakan ternyata sama saja seperti lelaki hidung belang diluaran sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN