Dingin

1010 Kata
Ketika semua orang yakin bahwa Arunika baik-baik saja. Karena bersama pedang dewa Desanti. Arunika tidak merasa demian. Terutama ketika dia membuka mata.Dia tidak melihat adanya kehidupan satupun di depan matanya. Dia hanya melihat semua putih dan dingin. Lebih tepatnya dia berada di dataran bersalju entah bagian mana dari Kota Sabin. Atau dia malah terlempar ke dimensi lain. "Dewanti!" "Panji!" "Bayu k*****t!" Arunika berteriak sekuat tenaga. Namun dia hanya mendengar suaranya terpantul lagi, menggema dan membuatnya sadar. Dia sendirian sekarang. Di pulau entah berantah, dalam keadaan dingin dan lapar. Arunika mengumpat sekali lagi. Dia berharap ini hanya mimpi. Namun sepertinya bukan, kakinya mulai beku dan badannya mengigil. Bagi orang yang terbiasa hidup di dataran rendah dengan sinar matahari penuh, suhu di sini lebih dingin dari kulkas.  Dia tidak boleh mati di sini. Di mana Dewanti? Arunika merogoh satu-satunya benda yang menempel di  tubuhnya, tas selempangnya. Tunggu terakhir kali dia berada di dalam hutan kebakaran dan dia menggendong panda, di mana Panda itu. Arunika kembali ke tempatnya sadar tadi, dia mencari jejak-jejak panda di sana. Ada! Dia melihat kaki panda itu menyembul dari tumpukan salju. Dia menyeret kaki Panda, dan tubuhnya keluar dari salju. Panda itu mengerjap dan membuka mata. Dia melihat Dewanti. "Kenapa kau menolongku? Kau juga bisa mati." Arunika memandang panda itu tanpa berkedip. Sepertinya dia mendengar suara orang bicara. Arunika menyangsikan kalau yang bicara adalah panda, maka dia berbalik badan, berharap ada orang di belakangnya, namun tidak ada satupun. "Manusia bodoh!"  Arunika menoleh cepat pada panda. "Kauu bicara?" "Tentu saja. Kita di pulau ini, maka kami bisa bicara," kata panda itu. Arunika menarik daun telinganya. "Memangnya kita ada di pulau mana?" Arunika tidak siap kalau dia akan pindah ke dunia lainnya. Dia sudah mulai nyaman hidup di kota Sabin. Meski harus bertarung setiap saat dengan wewe. Panda itu menatap mata Arunika lama. Arunika yakin, panda itu telah memaki-maki dirinya dalam hati. Sebab ada sorot geli dalam mata panda yang lucu itu.  Seandainya dia tidak bicara menyebalkan, Arunika pasti sudah memeluknya mencari kehangatan. "Pulau ini inti Kota Sabin," kata panda itu. "Maksudmu kita ada pusat kota?" tanya Arunika tidak mengerti. "Manusia bodoh. Inti dan pusat kota berbeda. Kau ada di sebuah pulau di mana Kota Sabin lahir." Tik tok tik tok Jam di dalam kepala Arunika berdetik. Dia tidak mengerti kenapa Kota Sabin lahir. Kota Sabin adalah sebuah kota. Bukan bayi. Jadi kenapa? Namun enggan diolok bodoh lagi, Arunika mengangguk setiap informasi yang diberikan oleh Panda ajaib ini.  "Terus kenapa aku bisa sampai di sini?" "Bukannya kau yang meminta? Meminta kekuatan untuk memadamkan api." "Err.. iya aku berdoa demikian. Apakah akan terwujud?" "Semua tergantung usahamu." Panda itu bangkit dan berjalan.  "Kau mau ke mana?" Arunika mensejajajarkan langkah dengan panda. Dia merasa seperti marsha dengan beruangnya.  "Aku mau mencari makan," kata Panda. Dia memandang Arunika. "Memangnya kau tak lapar?" "Yah, tetapi kita ada di tengah salju. Di mana bisa menemukan makanan di sini?" "Di balik bukit itu pasti ada hutan, dan di sana ada makanan yang kau butuhkan." "Hutan di dataran bersalju? Kau bercanda ya?" Panda itu memandang Arunika dengan tatapan itu. Tatapan yang berarti makian bodoh.  Arunika tidak bertanya lagi. Sebaiknya dia menjadi pengamat sekarang. Setelah berjalan cukup jauh, Arunika kini tercengang. Apa yang dikatakan oleh panda itu benar, ada hutan di samping kawasan bersalju ini.  Hutan dengan habitat hewan mamalia pemakan rumput juga ada. Keren sekali. Arunika segera berlari menuju hutan. Dia menemukan banyak buah dan segera melompat untuk dapat menjangkau dahan yang rendah. Dia memetik buah apel merah yang segar dan memakannya. Arunika mengeram senang. "Hmmm, manis sekali." Panda itu memandangnya dengan tatapan makian lagi. Arunika tidak memedulikannya.  "Bagaimana caranya aku mendapatkan kekuatan itu?" tanya Arunika di sela mengunyah apel. "Kau butuh latihan panjang. Menaklukan air. Di sini tempat yang tepat." "Memangnya bisa menaklukan air?" Seekor serigala berjalan di depan Arunika dan panda. Dia berjalan sambil mengendus -endus tanah. Arunika menahan napas. Dia berharap serigala itu tidak menyadari keberadaannya. Namun rubah itu bulunya tidak cokelat. Melainkan putih seperti salju. Rubah kutub! "Dia tidak akan memakanmu. Dagingmu tidak enak!" sahut panda. Arunika tidak tahu apa dia harus bersyukur atau menjitak kepala panda songong itu.  Rubah itu melihat ke arah Arunika. Arunika terpaku.  "Sudah jarang sekali tempat ini dikunjungi manusia. Rupanya ada juga generasi yang bisa sampai di sini!" Arunika menelan ludah. "Apakah yang tadi bicara itu rubah?" Rubah itu melolong panjang. Arunika bergidik ngeri. Dia merogoh-rogoh tasnya, mencari jepit hitam yang merupakan jelmaan pedangnya. "Hei manusia, kau dari keluarga mana?" tanya rubah. "Aku? Aku tidak dari mana-mana." Arunika menjawab dengan gugup.  "Tidak mungkin. Hanya keturunan para keluarga bangsawan yang bisa datang kemari." Rubah itu melolong lagi kemudian pergi. Pernyataan itu membuat Arunika membeku seperti masuk ke dalam kolam beku di sana. Apakah dia merupakan keturunan keluarga bangsawan. Tetapi dia tidak memiliki tanda lahir apapun. Arunika melirik panda, mungkin saja panda itu bisa menjawab. Tetapi panda itu telah tertidur bersandar di batang pohon apel.  "Cih!" gumam Arunika. Kalau dia merupakan keturunan bangsawan, tetapi bangsawan yang mana? Dia merasa merinding kalau dia adalah keturunan Laksamana. Semoga saja bukan Laksamana. Perut Arunika terasa mual meski hanya membayangkannya. Dia harus dapat jawabannya. Kalau tidak dari panda, pasti bisa dari rubah kutub tadi.  Arunika melompat berdiri akan menyusul rubah. Dia berharap rubah itu akan bicara lagi. Namun dia sedang bertarung dengan sebuah burung. Arunika melihat burung itupun berbulu putih, dengan kepala yang mirip bebek. Rubah itu melompat, dua kakinya terangat ke udara. Dan angsa itu mengepak-kepakkan sayapnya, mereka beradu suara.  Darimana Arunika tahu itu angsa salju. Arunika menoleh ke arah lain, dia melihat kawanan lembu kesturi berjalan pelan menyusuri jalanan bersalju. Lembu berkulit hitam itu memiliki dua tanduk yang melengkuk di wajahnya. Bulunya dipenhi bintik-bintik salju. "Hei manusia, kau tidak kembali ke tempatmu?" panda itu membuka mulutnya. "Memangnya kenapa?" Arunika mengambil buah apel lagi dan mengigitnya.  "Waktu di tempat ini tidak sama dengan tempat tinggalmu. Satu jam di sini, di tempatmu sama dengan satu tahun." "Apa katamu?" Arunika terperanjat. Dia tidak mengira, perbedaan waktunya sangat jauh. Dia hanya mengira satu hari atau satu minggu. Satu tahun itu gila.  "Bagaimana caranya kembali?" teriak Arunika panik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN