Jaring Robek

1113 Kata
Suara ledakan itu terdengar ke seluruh penjuru wilayah kekuasaan Keluarga Oriza Sativa. Para penduduk terbangun dari tidur lelapnya karena tidak hanya suaranya yang keras, namn getaran itu seperti gempa bumi. Mereka pun bertanya-tanya apa yang terjadi. Sebagaimana kutukan kota ini, malam adalah waktu dilarangnya kelar rumah para warga, kecuali yang berkepentingan dan bsia melindungi diri sendiri.  Namun para warga sepakat ini bukanlah wewe biasa. Apa yang berbeda hari itu dibanding hari lainnya? Kedatangan Arunika dan Panji Laksamana menjadi dugaan kuat, musuh tiba di tanah mereka. Apa tujuan dua pendekar ApiAbadi datang ke wilayah mereka? Mereka mulai menelpon ke rumah Oriza Sativa. Telepon Oriza berdering tanpa henti, setiap diangkat akan ada telepon-telepon lainnya. Riza menjawab setiap telepon dengan pola yang sama kepada setiap penelpon. "Kami belum tahu, kalian tetap di rumah saja. Demi keselamatan bersama," kata Riza. Riza masih tenang dalan menghadapi situasi ini, padahal seluruh warganya sudah panik. Riza yakin anaknya, Aditya bisa menyelesaikan masalah ini. Ditambah dia tidak sendirian, ada Panji di sana. Bagi Riza, memberikan kesempatan pada anaknya untuk menyelesaikan masalahnya tanpa merecokinya adalah salah satu tugas orang tua. Percaya pada anaknya, mereka pasti bisa. Merea tumbuh dan berkembang.  Dia lebih sibuk menenangkan istrinya yang menangsi tersedu-sedu mengkahwatirkan anak bungsunya.  "Tidak pernah ada kejadian ini sebelumnya, mungkinkah ini gara-gara mereka datang ke sini, Pak?" terka istrinya. "Jangan berprasangka buruk. Kita belum tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Riza menenangkan. "Benar Pak. Ini pasti gara-gara mereka. Mereka datang ke sini, musuh pun mengikutinya."  Riza menghela napas panjang. Istrinya memang mudah kalut, apalagi anak kesayangannya sedang ada di luar sana menghadapi bahaya. Namun kecurigaan istrinya juga pasti dipikirkan oleh warga lain. Apa yang akan dia berikan sebagai jawabannya. Sebagai kepala keluarga Oriza Sativa yang lebih sering hidup tentram dan menyingkir dari pusat kota, dia tidak terlalu tahu tantang politik yang terjadi di dalam ApiAbadi. Namun sumpah setiap yang telah diberikan leluhurnya kepada Lukman dan kota ini, tidak bisa dilanggar. Bagaimanapun, atau masalah apapun yang dibawa oleh para pendekar ApiAbadi, dia harus tetap melindungi mereka. Riza memandang langit merah yang dikepung malam. Semoga mereka semua baik-baik saja. Riza berdoa. *** Begitu ledakan itu terdenfar, Aditya lari pontang-panting ke arah sumber suara. Panji mengikutinya. Berbeda dengan Aditya yang sudah hapal lekuk persawahan, Panji harus terpeleset beberapa kali dan tertinggal di belakang Aidtya. Dia mengambil jalan yang berbeda dengan Aditya, Panji berpegangan pada warna langit merah yang menjadi tujuannya. "Sial," umpat Panji ketika kakinya terjebak dalam lumpur. Sangat sulit untuk berjalan di pematang sawah karena dia tidak memiliki sumber cahaya. Panji heran, bagaimana Aditya bisa berlari kencang seperti kereta yang rodanya menggelinding di rel.  Panji berjalan dengan mengangkat satu per satu kakinya. Kalau tidak, dia akan kesulitan berjalan di dalam sawah yang baru diairi tersebut. Panji mendengar suara wewe meringkik, barangkali Aditya telah berhasil menjaring mereka semua. Namun Panji tidak bisa seterusnya terjebak di sawah seperti ini. Bagaimana caranya dia sampai ke tempat Aditya tanpa harus melewati sawah sawah lumpur ini. Bajunya sudah kotor kecipratan lumpur. Celananya bukan hanya terciprat tetapi terendam lumpur.  Tidak terbiasa dengan kondisi kotor, Panji mereasa jemari tangannya gatal, untunglah dia memakai sepatu. Meskipun besok dia akan kesulitan membersihkannya. Dia menggaruk jemarinya. "Oh iya, ada benda ini!" seru Panji seketika. Di jarinya, melingkar cincin teleportasi milik Haya. "Tetapi bagaimana menggunakannya? Hmm dulu aku hanya memanggil nama Paman, apa sekarang aku harus menyebut nama Aditya?" Dia harus mencobanya, siapa tahu bisa. "Aditya," kata Panji sambil menutup mata.  Mendadak dia melihat bagaimana Aditya berlari menyusuri pematang, dan menolong dua temannya yang terluka bakar. Aditya kini sedang bertarung dengan wewe.  Panji membuka matanya, dia sudah ada sana. Dia bisa melihat Aditya bertarung tangan kosong dengan manusa wewe itu. "Sudah kuduga, penyebabnya pasti wewe jejadian itu," geram Panji. Aditya bertarung dengan kaki, dia menendang beberapa kali. Tendangannya berulang kali mengenai alat vital, namun tidak mematikan Wewe. "Dia bisa kehabisan tenaga kalau begitu!" desis Panji. Panji berdiri dan berjalan mendekati para korban, memeriksa denyut nadi mereka. Mereka masih hidup, Panji memberikan pertolongan pertama agar darahnya berhenti mengalir.  Aditya jatuh tersungkur, dia terseret jaring yang mengurung manusia wewe. "Arghhh!" Aditya tidak bisa melepaskan tangannya dari jaring tersebut. Panji melompat untuk mencekal Aditya, dia berhasil memegang pergelangan kakinya, Panji menjejak tanah, mencari kesimbangan. Tekanan dari manusia wewe itu sangat kuat. Dia mendorong jaring sampai pada batasnya, Panji tidak tahu kapan mereka akan bertahan. "Lepaskan saja jaringnya!" bentak Panji. "Tidak bisa, dia senjataku," tolak Aditya. Panji menggeram marah, tidak ada gunanya merasa sentimentil sekarang. Apalagi nyawa sedang diujung tanduk begini. "Lepas, atau kupotong!" Ancam Panji. Aditya melepaskan jaring itu dari tangannya. Dan wewe itu terbang bersama jaringnya. Dia tertawa girang, dan merobek jaring tersebut.  Aditya merasa sedih, bagaimanapun  jaring itu telah menemani perjuangannya sejak lama. "Hoi, bukan saatnya melamun. Musuh masih di depan mata. Bersiaplah!" tegur Panji. Aditya mengangguk. Benar apa yang dikatakan Panji, wewe ini harus dimusnahkan lebih dulu.  "Bagaimana motor itu bisa meledak?" tanya Panji. "Aku tidak tahu," Aditya juga memikirkannya, bagaimana mungkin motor bisa meledak, kecuali ada mengutak atiknya? Namun dugaan itu masih dia simpan rapi.  Wewe itu melayang-layang di atas mereka, memancing kemarahan mereka. Namun Panji tidak tersulut, Wewe jenis ini tidak perlu diladeni permainanya. Panji tidak membawa biolanya, Biolanya masih duduk anteng digubuk yang dia tinggalkan tadi. Tetapi Panji tidak khawatir, kini dia lebih kuat meskipun bertarung dengan tangan kosong.  "Bagaimana, siap?" tantang Panji. "Aku tidak membawa senjata," kata Aditya. "Memangnya itu perlu? Kepala mereka rapuh, dengan sentilan jari saja bisa copot," kata Panji. Aditya menyeringai. "Ayo, kita serang bergantian!" Mereka tenang meskipun malam, masih ada pencahayaan, cahaya yang berasal dari motor yang terbakar. Miris memang, tapi cahaya itu membantu mereka bisa mengamati gerak gerik Wewe.  Wewe itu melesat ke arah mereka, Panji langsung berada di depan Aditya, dia menghalangi serangan dengan tubuhnya. Aditya merasa tidak suka, namun dia tahu Laksamana memiliki tubuh istimewa. Meskipun harga dirinya terluka, setidaknya dia tetap hidup.  Panji mengarahkan Aditya untuk menyerang sisi kiri, dan dia menyerang dari sisi kanan. Wewe itu terjebak, dia menghala serangan-serangan dari keduanya. Kuku-kuku tajamnya berusaha mengenai kulit mereka. Tetapi tidak ada yang kena. Dia mulai kesal dan mempercepat serangannya. Panji menarik baju aditya mundur. Aditya mendengar Panji berucap sebuah nama. "Biola Naraya." Aditya merasa seperti tersedot ke sebuah ruangan. Ketika dia sadar, dia berada di gubuk pertama tadi. Panji berlari mengambil biola. Dia membuka cepat kotak biola dan mulai memainkan biolanya. "Kau sedang apa? Memangnya ini waktu yang pas untuk bermain biola?" tanya Aditya. Panji tersenyum geli. Dia maklum bagi orang awam, akan aneh sekali bila sedang bertarung malah bermain biola. "Nanti kau akan tahu!" Panji memandang biola ini dengan sayang. Sudah lama dia tidak berkencan dengan biola ini, padahal lebih dari separuh hidupnya berlatih main biola.  "Nah, selamat menikmati, Wewe sialan!" desis Panji. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN