Arunika melihat langit malam melalui jendelanya. Setelah perutnya kenyang, dia merasa mengantuk. Dia ingin menemui Bayu lagi. Tetapi dari luar pintu, dia mendengar Bayu sedang berbicara dengan seseorang. Dia tidak mau menganggu. Maka dia segera menuju kamar di sebelahnya.
Kamar itu sangat berbeda dengan kamar di asramanya. Kamar ini sangat luas. Ada kamar mandi dengan bathtub. Jadi Arunika melepas lelah dengan berendam di bathtub. Dia tidak pernah merasakannya. Puas berenang renang kecil di sana. Dia keluar hari hati dari bathil dan memakai handuk piyama. Kemudian dia duduk di pinggir jendela.
Dia membuka sedikit jendelanya. Merasakan semilir angin menerpa wajahnya. Dia bisa melihat kebun dengan taman bunga warna warni. Beruntungnya Kiandra memiliki keluarga yang utuh dan kaya.
Kadang kadang dia rindu kehidupannya dulu. Seperti sekarang.
Dia mengingat hal yang lalu. Bagaimana dia harus bertahan hidup di kota ini. Setiap hari harus bertarung melawan Wewe. Setiap hari waspada. Dia heran, bagaimana anak-anak bisa tumbuh kembang dengan baik, kalau merasa khawatir terus menerus?
Matanya melihat sinar dari kejauhan. Ketika dia memicingkan mata, dia melihat ada kolam di sana. Dia ingin pergi ke sana. Melihat sinar bulan yang terpantul di kolam. Seperti cantik sekali!
Dia menutup jendela dan kordennya. Dia berganti baju. Ketika melihat ke dalam lemari, hanya ada dres dan dres saja. Semuanya dress lama Kiandra. Arunika tidak terbiasa menggunakan dress. Jadi dia membongkar lagi, berharap ada celana dan kaos. Ternyata ada. Kaos dan celana training.
"Pakai ini aja deh," gumam Arunika.
Dia melewati kamar Bayu dan masih mendengar orang berbicara. Ternyata dia selalu sibuk, kalau nggak dengan orang lain pasti dengan teleponnya.
Arunika menyapa Naraya di ruang tamu. Naraya tengah berbicara dengan seseorang. Dia tidak tahu, karena orang itu duduk membelakangi Arunika. Dia mengangguk pada Naraya yang membaca buku. Aneh sekali rasanya melihat seorang Danyang membaca buku.
"Mau kemana?" Tanya Panji. Rupanya Panji. Dia kira siapa. Panji duduk di sebrang Naraya. Dia baru sadar, Arunika lewat ketika Naraya balas mengangguk.
"Ke kolam situ Lo. Nggak apa kan?" Tanya Arunika. Dia khawatir jangan-jangan tidak boleh keluar dari rumah istana ini. Karena segel sihir, misalnya.
"Boleh kok. Yang tidak boleh itu ke gedung sebelah. Karena keluarga Airlangga pasti tidak nyaman kita berkeliaran di sekitar mereka," kata Panji.
Rumah ini ada berapa gedung sih. Dari luar nampak seperti istana Inggris. Arunika bahkan tidak tahu jalan menuju gerbang utama.
Arunika dan Panji saling melambaikan tangan. Arunika berjalan cepat menuju kolam.
Pemandangannya di sana jauh lebih indah dibanding saat dia melihat dari jendela. Ada gazebo kayu yang cukup besar. Dan tanaman tanaman teratai yang menghiasi kolam. Jumlahnya tidak banyak sehingga tidak menutupi permukaan kolam. Arunika bisa melihat jelas pantulan bulan di sana.
"Cantiknya," gumam Arunika.
Dia duduk bersandar pada tiang gazebo. Menikmati semilir angin, dinginnya malam, dan pemandangan cantik di hadapannya. Sampai dia tidak sadar ikut terlelap.
***
Bayu dan Dewanti masih di dalam kamar. Wajah keduanya tegang. Tidak ada kenyamanan dalam percakapan tersebut. Mereka merasa asing dan ingin saling memukul. Tetapi informasi yang disodorkan oleh Dewanti membuat Bayu kaget bukan kepalang.
"Apa kau bilang?" Ulang Bayu. Dia merasa perlu mendengarnya lagi. Perlu menyakinkan dirinya bahwa apa yang dikatakan Dewanti itu benar.
"Kau sudah mendengarnya. Aku bukan radio," kata Dewanti jengkel.
Bayu menyesap nikotinnya dalam dalam. Dia mencerna semua informasi yang diterima dan menyusun kronologinya.
"Tadi kau bilang Kota ini yang memanggil Arunika. Arunika sebelumnya ada di mana?" Tanya Bayu mengorek informasi lebih detail.
"Kukira kau bodoh. Ternyata tidak juga," ejek Dewanti.
"Hanya karena aku bersikap seenaknya sendiri. Bukan berarti aku bodoh," kata Bayu nyengir.
"Terserahlah. Dia ada dimensi lain. Dan terbawa ke sini," jelas Dewanti.
"Hmm, dimensi lain. Hal itu menjelaskan beberapa hal. Apakah dia bisa kembali ke dunianya?"
"Tidak bisa "
"Kenapa?"
"Karena di sana dia sudah mati."
"Kau membunuhnya?"
Dewanti melihat Bayu dengan tatapan apa kau gila untuk apa aku membunuh anakku?
"Dia mengalami kecelakaan. Dan dia menyebrang dimensi dengan kemauannya sendiri," kata Dewanti menghela nafas panjang. "Di dunia ini, dia sendirian. Tidak ada orang yang bisa diajak cerita tentang apa yang diketahui. Tentang tontonan televisi faforitnya, tentang makanan favoritnya. Tentang langit malam yang indah tanpa Wewe.
Dan ketika aku bisa mendapatkan cangkangku lagi. Hanya aku yang bisa menemani nya."
Bayu tahu maksud lain dari ucapan Dewanti. Dia ingin agar Bayu sadar posisinya tidak bisa dekat dengan Arunika. Sebab perbedaan itulah, hanya Dewanti yang bisa. Tetapi Bayu punya pikiran lain.
"Menurut pendapat ku, Arunika beradaptasi dengan baik. Kecerobohan dan kelemahan fisiknya sudah teratasi dengan baik. Kau sudah jadi guru yang hebat," Bayu memuji Dewanti.
Dewanti mendengus. "Tidak cukup hebat untuk menjauhkannya darimu."
Bayu merasa geli. "Apakah aku semacam hama yang harus dibasmi?"
"Kau lelaki yang tidak baik," semprot Dewanti.
Bayu tertawa. "Aku bahkan belum melakukan apapun padanya."
Dewanti mendelik marah. "Kau playboy cap kadal."
Bayu tertawa lagi. "Aku akan mencoba menjadi temannya."
"Tidak perlu. Kau urusi saja organisasi ApiAbadi. Dan Arunika jadi urusan ku," kata Dewanti tegas.
Bayu tersenyum. Dia tidak setuju. "Dia bukan anak kecil selalu harus lapor padamu. Dia punya pemikiran dan kebebasannya sendiri, termasuk dia jatuh cinta dengan siapa."
Dewanti merampas rokok di tangan Bayu. Dia menginjak puntung rokok dengan keras dan mengoyaknya dengan kakinya. Memberi ancaman jelas pada Bayu.
Tetapi Bayu bukan lelaki pengecut atau penakut. Dia adalah pendekar yang selalu bertarung nyawa. Dan dia tidak akan mundur dari Medan pertempuran. Meski lawannya Danyang sekalipun.
Pintu dibuka. Panji meminta mereka keluar untuk membahas rencana selanjutnya.
"Kita harus menyusun rencana untuk menghabisi manusia Wewe itu," kata Naraya membuka percakapan.
Bayu ingat sesuatu tentang Wewe."Tunggu, aku punya berkas penting." Dia kembali ke kamar dan mengambil berkas itu di tasnya. Berkas itu dia buka dan diperlihatkan kepada semuanya.
Berkas kelahiran Arunika 50 tahun yang lalu.
"Wajah ibu Arunika ini mirip dengan manusia Wewe itu!" Kata Panji setengah berteriak.
Bayu melirik Dewanti berharap ada penjelasan. Tetapi dia sama sekali tidak tertarik dengan percakapan ini. Dewanti lebih tertarik untuk menggulung rambut dengan tangannya. Dan dia menemukan Snack di meja. Dia memakannya tanpa peduli rekannya.
"Abaikan saja. Berkas itu mungkin palsu," kata Naraya.
"Mana mungkin palsu. Apa kita tanya Arunika?" Panji mengusulkan.
Dewanti menolak. "Tidak bisa. Memangnya dia tahu apa soal berkasberkas bodoh ini!"
Naraya menatap Dewanti dengan curiga. "Kau tahu sesuatu?"
Dewanti mengupil. Tidak menjawab.
"Kalau kau tidak bisa membantu. Sebaiknya menyingkir. Keselamatan Kiandra juga dalam bahaya," kata Naraya.
Dewanti mendelik, menantang Naraya. "Kalau sang bulan mati, dia bisa hidup lagi. Kenapa kau repot seperti sekarang. Dulu-dulu nggak begitu."
Bayu merasa dua Danyang ini sebentar lagi akan meledak. "Cukup!" Suara dingin Bayu membuat mereka semua diam.
"Kau dan kau!" Bayu menunjuk Naraya dan Dewanti. "Kita perlu rencana untuk membasmi manusia Wewe itu. Jadi tolong bekerjasama lah."
Dewanti berdecak. Naraya membuang muka.
"Dia tidak akan muncul dalam waktu dekat," kata Dewanti. "Aku memberikan hadiah spesial untuknya kemarin."
Bayu ingat, tubuh Wewe itu mengeluarkan cairan hitam setelah ditebas oleh Arunika.
"Kau memberi mantra padanya?" Tanya Naraya.
"Kutukan lebih tepatnya. Kutukan bagi makhluk yang tak hidup," kata Dewanti tersenyum sinis.
"Baguslah kalau begitu. Lantas, bagaimana dengan rapat petinggi besok? Paman, kau sudah menundanya. Tidak mungkin mau menunda terus," kata Panji menoleh pada Bayu.
"Tentu. Besok aku akan menghadapi sepuluh keluarga. Betapa gugupnya aku," kata Bayu.
Dewanti mendengus. Bayu sama sekali tidak terlihat gugup. Dia lebih terlihat senang bisa membantai sepuluh keluar sekaligus.
"Gunakan Laksamana sebagai tameng," perintah Naraya.
Dewanti tergelak. "Jadi itu saranmu? Menyuruh Laksamana si penebar jadi umpan? Terus kalian akan apa?"
"Mencari tahu si pengkhianat," kata Panji yakin.
Dewanti mengejek. "Bagaimana caranya? Kalau Lukman saja tidak bisa menemukannya. Bagaimana kalian bisa?"
Bayu setuju dengan perkataan Dewanti. Sangat sulit untuk mengetahui siapa mata - mata dalam organisasi.
"Kuberi saran, kalau kalian ingin mencari musuh. Pasang jebakan. Dan kita punya umpan yang tidak akan mereka tolak," kata Dewanti dengan senyum miring.
Panji dan Bayu mulai tertarik.
Naraya membentak. "Aku tidak setuju."
Dewanti nyengir. "Kau bahkan belum dengar saranku."
Naraya berang. "Kau akan menggunakan Kiandra sebagai umpan."
Dewanti bertepuk tangan. "Tumben sekali anjing punya otak."
"Aku akan memikirkannya," kata Bayu. Dia celingukan mencari sesuatu. "Di mana Arunika? Apakah dia sudah tidur?"
Dewanti melirik tajam ke Bayu. "Sudah kubilang, Arunika urusan."
"Dia di kolam," sambar Panji.
Dewanti melototi Panji. Panji hanya melemparkan senyum pada Dewanti. Ketika Bayu bangkit dari duduknya. Dewanti mencekal tangan Bayu. "Mau kemana kau?"
Naraya mencekal tangan Dewanti. "Biarkan saja," kata Naraya dipelototi oleh Dewanti. "Kasih kesempatan padanya," kata Naraya lagi.
Dewanti melemparkan tangan Bayu. Bayu memberikan senyum manis pada Dewanti.
Bayu melangkah pergi. Menyusul Arunika ke kolam.
Dewanti berdiri dan menginjak kaki Naraya dengan keras. Dewanti bisa mendengar Naraya mengumpatnya dengan keras. Dewanti pergi menyusul Bayu.
***
Tidak sulit menemukan Arunika di gazebo. Dia duduk manis memandang bulan. Tak bosan dia terus membingkai pemandangan tersebut dalam kepalanya.
"Sedang apa?" Tanya Bayu ramah.
Arunika menoleh dan tersenyum. "Melihat bulan dengan tenang. Tanpa Wewe."
Bayu tertawa.
"Urusanmu sudah selesai?" Tanya Arunika.
"Belum. Urusanku tentang Kota Sabin tak pernah selesai. Bertambah setiap harinya," kata Bayu dengan nada memelas.
Arunika terkekeh. "Malangnya kau! Hei, katanya kau akan rapat dengan sepuluh keluarga, benar?"
Bayu memasukkan kedua tangannya ke saku celana. "Benar, kau mau ikut?"
"Kalau boleh," kata Arunika berharap.
"Boleh saja, tetapi kau pasti jadi tontonan di sana."
"Memangnya aku sirkus?" Tanya Arunika. "Aku hanya ingin melihat seperti apa mereka. Sepuluh keluarga itu. Selain itu kau janji mengajakku bertemu Rengganis."
Bayu mengangkat alisnya. "Siapa Rengganis?"
"Itu salah satu ibu hamil yang dalam perlindungan Api Abadi."
"Oh iya. Baiklah. Besok jam delapan pagi ya. Ayo kita masuk. Sudah malam."
Arunika mengangguk. Dia berjalan berdampingan dengan Bayu. Merek terlihat akrab membahas bulam yang terang dan bintang yang gemerlap.
Dewanti melihat mereka berdua dari kejauhan dengan raut tidak suka.
***
Arunika memakai dress hitam lengan panjan dengan motif polkadot. Panjang dress hanya sampai menutup lututnya. Dia terlihat manis dengan penampilan itu. Rambutnya dia biarkan tergerai, karena dia suka rambut pendek gaya segi itu.
"Gimana, Dew? Bagus nggak?" Tanya Arunika sambil berputar di depan cermin.
"Mau kemana pakai dress hitam, ke pemakaman?" Dewanti menjawab sinis.
"Enggak. Mau ke markas ApiAbadi bareng Bayu."
Dewanti menggertakkan giginya.
Arunika berdiri di depan Dewanti. Dia memeluk Dewanti. "Dia bukan lelaki yang buruk. Kalau dia macam-macam, aku bisa menendangnya. Jadi jangan marah, oke?"
"Nggak oke."
Arunika tersenyum geli. "Aku bukan anak kecil."
Dewanti tetap manyun.
***
Arunika keluar kamarnya. Di ruang tamu, Bayu sudah menunggu. Dia mengenakan kemeja abu-abu dengan celana denim hitam. Dan kacamata hitam.
Panji yang duduk di ruang tamu bersiul. "Cie, mau kencan ya? Seragam couple gitu," ledek Panji.
Arunika hanya senyum saja. Berusaha mendamaikan hatinya. Menguatkan bahwa pesona Bayu memang tidak ada duanya.
Bayu tersenyum lebar. "Kau nggak ikut?"
"Nggak ah. Nanti mengganggu," jawab Panji.
Arunika menggetok kepala Panji. Panji menjerit. "Hei!"
Arunika kemudian berjalan cepat keluar rumah. Dia menggeret tangan Bayu. Panji terus bersiul siul meledek mereka.
Mobil Bayu sudah terparkir pas di depan teras. Bayu bersikap spesial hari ini, dia membukakan pintu untuk Arunika. Arunika sedikit canggung mendapat perhatian seperti itu.
Untung saja, dia bisa memakai sabuk pengamannya sendiri.
Bayu masuk ke mobil dan menoleh pada Arunika. "Sabuk pengaman? Oh bagus. Sudah terpasang. Aku tidak mau kepalamu terbentur dasboard lagi nanti," kata Bayu.
Mobil melaju melalui jalur aspal. Arunika menghitung berapa kilometer untuk sampai keluar gerbang kediaman Airlangga. Rumahnya benar-benar seperti istana. Mereka melewati banyak taman dan pepohonan. Bahkan Arunika menyebutnya hutan pribadi. Ada juga kolam ikan dengan jembatan di tengah nya.
"Kau suka rumah seperti ini?" Tanya Bayu melihat reaksi Arunika tidak melongo melihat pemandangan di sekitarnya.
*Nggak ah. Repot ah ngurusnya. Aku lebih suka yang simpel. Seperti kamar asrama," kata Arunika tanpa mengalihkan pandangannya dari kaca samping.
Perjalanan membutuhkan satu jam untuk sampai ke markas ApiAbadi. Arunika menolak untuk turun lebih dulu. Dia malu berdandan cantik seperti itu. Biasanya pendekar akan berdandan dengan kostum.yang nyaman untuk bertarung.
"Silahkan tuan putri," kata Bayu membuka pintu mobil. Arunika menahan tawa melihat sikap Bayu yang sok manis.
Mereka berjalan sebentar dan mencapai lift untuk menuju lantai atas.
Rupanya di ruang rapat, sepuluh keluarga sudah berkumpul. Selain kepala keluarga, juga ada para pendekar dari sepuluh keluarga yang hadir. Mereka duduk dengan berkumpul dengan sekutunya.
Laksamana masih sana. Di mejanya, ada dua orang perempuan cantik yang menemaninya.
Bayu berbisik pada Arunika saat di lift. "Berpura-puralah seperti asistenku," kata Bayu mengedipkan mata.
Bayu berjalan di depan Arunika memasuki ruang rapat. Ketika Bayu masuk, spontan semua yang hadir berdiri. Arunika sangat tegang berjalan di belakang Bayu.
"Kenapa kau ada di sini?" Tanya seseorang sambil menunjuk Arunika.
Arunika memandang Bayu dengan tatapan bingung. Aku harus jawab apa?