Kebiasaan Mia yang lain saat dia mendapatkan tamu bulanannya, perempuan itu akan jadi sangat manja pada Willy. Seperti saat ini, dini hari yang seharusnya sudah membuat mereka terlelap nyenyak, Willy malah berkutat di dapur untuk membuatkan ramen instan yang Mia inginkan.
“Kenapa manisnya cuma pas aku lagi datang bulan? Kenapa nggak setiap hari?” tanya Mia yang duduk di kitchen bar, menatap punggung t e l a n j a n g Willy yang sedang sibuk membuat ramen instan.
“Kalau setiap hari, yang ada lo makin kesemsem sama gue,” jawab Willy dengan santai.
“Bagus, dong!”
“Nggak sudi!” jawab Willy lagi yang kini sedang berjalan ke kitchen bar, membawa panci yang berisi ramen.
“Tck! Setelah aku pikir-pikir, setelah lima tahun kita pacaran dan setelah lima tahun kita tinggal bareng, kayaknya kamu emang cowok tsundere, ya.”
Willy kini tak menyahut, dia meletakkan panci tersebut ke atas meja lalu mengambil mangkuk kecil beserta alat makan yang lain.
“Kamu emang brengsk, banget malah, tapi kamu juga bisa perhatian. Kelihatan benci banget, tapi masih ada cinta walaupun nggak sering. Kamu kayak berusaha nyangkal kalau kamu itu bener-bener jatuh cinta sama aku.”
“Terus?” tanya Willy, dia telah duduk di kursi yang ada di samping perempuan itu.
“Sikap kamu buat aku bingung. Aku kadang ngerasa nggak dihargai sebagai perempuan dan pacar kamu, aku ngerasa kamu lebih nganggap aku sebagai objek p e m u a s n a f s u kamu dibanding pacar.” Mia berujar tanpa menatap Willy, fokusnya tertuju pada ramen yang berhiaskan asap, dan Mia siap mengambil sebagian kecil ramen itu untuk dia makan.
“Lo emang p e m u a s n a f s u gue, That's what I call a b i t c h.”
“Nah, itu contohnya. Kamu berulang kali kalau aku just your B, tapi secara sadar atau nggak sadar, kamu juga perlakuin aku seperti status kita yang pacaran. Ya, kita emang pacaran, sih.”
Mia mencoba ramen buatan Willy yang selalu terasa nikmat. Walaupun Mia pernah membuatnya dengan bahan dan cara yang sama, Mia masih merasa ada hal yang kurang. Mungkin berbeda tangan. Jadi, walaupun langkah dan bahan yang sama, rasanya tetap ada yang berbeda.
“Tapi, walaupun aku sadar sama sikap kamu, entah kenapa aku nggak bisa terlalu berontak. Aku kayak udah kedikte kalau cuma kamu yang aku punya, dan cuma kamu yang bisa aku andelin di dunia ini, setelah semua orang yang sayang sama aku dulu milih pergi.”
Willy tak menyahut, dan Mia tak lagi ingin berbicara. Keduanya kini sama-sama fokus untuk menikmati ramen yang masih panas. Jika Willy memilih menikmati Ramen bersama bir, Mia memilih menikmatinya bersama minuman bersoda.
“Bisa nanti usap perutku, Willy? Aku mulai ngerasa nyeri,” tanya Mia setelah berhenti menyuapkan ramen ke dalam mulutnya.
“Gue udah hapal,” ujar Willy.
Mia hanya terkekeh pelan. Pacarnya benar-benar memiliki sifat yang langka.
Kini keduanya telah berada di dalam kamar, dengan Mia yang memeluk Willy dengan lengan pria itu yang menjadi bantalan kepalanya. Tangan Willy mengusap perut Mia yang terbuka karena atasan perempuan itu sudah terlepas atas permintaan Willy, sehingga tubuh atas mereka menempel tanpa batas apa pun.
“Tangannya jangan kemana-mana, Will!” tegur Mia ketika dia merasa Willy menyentuh bagian bawah dadanya.
“Udah lima tahun gue mainin d a d a lo, kenapa nggak besar-besar? Yang ada d a d a lo makin kecil dan makin hilang waktu gue remes,” tanyanya, menghiraukan teguran Mia dan mulai meremas d a d a perempuan itu dengan kasar, membuat Mia melenguh serta meringis di saat yang bersamaan.
“Tangan kamu yang makin besar. Lagian nggak ada yang namanya d a d a jadi besar setelah dimainin, itu cuma omong kosong yang banyak orang percaya.”
“Oh, ya?” tanya Willy dengan menjepit puncak d a d a Mia dan memainkannya ke kanan serta ke kiri secara b r u t a l, membuat pria itu mendapat pukulan dari Mia.
***
Sore pertama Mia lewati tanpa kehadiran Willy dan berada di rumah Mike. Mia tidak pergi ke mana pun, dia masih di dalam kamarnya yang terlihat luas tanpa banyak perabotan. Duduk di meja yang langsung memamerkan halaman belakang rumah Mike yang luas. Pemandangan baru untuk Mia karena yang biasa dia lihat dari jendela kamar adalah gedung tinggi dan jalanan padat.
Mia tidak duduk santai, dia sedang membuka iPad-nya, membaca artikel yang membahas trend pakaian masa kini dari berbagai majalah. Di masa sekarang, trend pakaian dapat berubah dengan sangat cepat, dan sebagai seorang fashion stylist, Mia tidak bisa mengacuhkan perubahan itu.
“Untuk pakaian pria sebenarnya tidak terlalu sulit, tidak terlalu banyak yang berubah. Mungkin hanya pilihan warna, sedangkan modelnya untuk acara formal masih tidak berbeda jauh. Kecuali digunakan untuk photoshot majalah atau semacamnya, dan peragaan busana,” gumam Mia, melihat banyaknya foto pria dengan pakaian santai atau formal. Namun, Mia lebih berfokus pada pakaian formal karena itu yang akan dia tata nanti.
“Dari foto ini … Mike memang sering menggunakan setelan hitam, dan wajah pria itu juga mulai banyak ditumbuhi kumis juga jenggot. Rambutnya juga perlu diatur ulang agar terlihat lebih segar dan tidak membosankan,” gumam Mia lagi, melihat foto-foto Mike yang dia dapat dari Nala, sekretaris pria itu.
“Walaupun memiliki kumis dan jenggot, wajah pria itu masih tetap tampan.”
“Menurutmu, daripada pacar kamu, siapa yang lebih tampan?”
“Keduanya sama-sama tampan dengan aura yang berbeda. Kalau Willy, dia itu terkesan bad boy, urakan dan bebas. Sedangkan Mike, pria itu terlihat kaku dan tatapannya yang mengintimidasi. Aku benar-benar tidak mengenali Mike yang dulu dalam diri Mike yang sekarang.”
“Apa sekarang kamu menyesal?”
“Menyesal? Hah?!” Mia terkejut ketika menyadari jika pertanyaan yang dia jawab tadi bukan berasal dari pikirannya, melainkan dari seseorang yang embusan napasnya menggelitik telinga.
“Jadi?” tanya Mike lagi, ketika Mia telah menatap ke arahnya dengan tatapan terkejut.
“Anda sudah pulang? kenapa tidak mengetuk pintu saat masuk ke kamar saya?” Mia memilih melemparkan pertanyaan daripada menjawab pertanyaan Mike.
Mike memutar langkah, meletakkan bokongnya pada tempat tidur yang menjadi milik Mia. “Apa saya harus bertanya ke kamu dulu kapan saya bisa pulang? Saya rasa, itu hak saya ingin pulang jam berapa saja. Dan hak saya juga masuk ke kamar ini tanpa mengetuk, karena ini rumah saya.”
“Tapi, ini kamar saya, wilayah pribadi saya, tidak sopan masuk ke wilayah pribadi orang lain tanpa izin. Jika saya tidak sedang berpakaian lengkap, itu akan jadi masalah besar.”
Mike menaikkan kedua alisnya, menatap Mia dengan kepala miring. “My house, my rules. Saya bisa melakukan apa pun yang saya mau karena kamar kamu bagian dari rumah saya. Kamu pikir saya akan t e r a n g s a n g ketika melihat badan kamu? Bahkan kalau kamu t e l a n j a n g sekalipun, saya tidak akan tertarik.”
“Oh, syukurlah,” jawab Mia, singkat.
Sunyi mengelilingi mereka selama beberapa saat.
“Saya perlu mewawancarai Anda sebentar, agar saya bisa menentukan dan menyarankan gaya berpakaian Anda untuk satu Minggu ke depan. Saya juga sudah melihat foto Anda, dan melihat Anda secara langsung. Saya pikir, Anda perlu melakukan beberapa hal agar penampilan Anda tampak lebih sempurna dan segar. Selain itu, saya butuh jadwal apa saja yang membuat Anda memerlukan persiapan ekstra nanti.”
“Bagaimana sepuluh tahun kamu tanpa aku, Amore?”