Tersentuh

2448 Kata
Dengan d**a bergerak naik turun, perlahan-lahan gadis itu mendekat kepada Dirga yang sedang menggenggam sepatunya. "I-iya... itu... punyaku." "Kenapa dilempar ke sungai?" "A-aku tidak melempar—!!" ucapannya terpotong saat menyadari Dirga hanya menggodanya. Lelaki itu tampak menahan geli melihat keadaan Rania yang kacau, membuat gadis itu menunduk malu."A-aku terjerembab ke lumpur dan sepatu itu jatuh ke sungai saat aku membersihkan kakiku," terangnya dengan suara bergumam. "Kurasa kamu harus membersihkan diri lagi." Dirga mengamati kaki Rania, membuatnya jengah. Apalagi, saat putra kedua Kamajaya itu tiba-tiba mencuci sepatunya.. "Eh! E, itu...! Jangan! Tidak perlu...!" Dirga menoleh, "Kenapa diam saja? Cepat bersihkan kakimu, jangan-jangan ada cacing sedang berjemur di sana," ia mengarahkan dagunya ke kaki Rania yang telanjang. Rania tertegun dan langsung bergidik sebelum menyadari sekali lagi Dirga menjahilinya. Dengan cepat gadis berkulit putih itu beranjak ke tepi sungai, berjongkok sambil menjulurkan kakinya yang kotor. Keduanya diam, hanya kecipak air sungai saja yang terdengar. Aroma khas Dirga kembali menguar menggoda hidung Rania. Gadis itu curi-curi melirik. Tidak mengira bertemu Dirga lagi di sini. Ada beberapa hal yang ingin ditanyakannya tetapi jantungnya terlalu bertingkah sehingga membuatnya tidak tahu benar bagaimana menyusun kata dengan baik. Sekian waktu berlalu Rania hanya disibukkan dengan menikmati rupa Dirga yang jika diamati dari samping pun masih terlihat sangat tampan. Tiba-tiba sebuah dengusan mengusik aktivitas yang mengasyikkan itu. Ia masih setengah melamun, mendongak ke arah suara. Tiba-tiba kuda itu, yang mukanya sudah dekat—Rania yakin sekali—melotot kepadanya, sambil nyengir lebar mengeluarkan suara ringkikan yang sangat keras. "HUAAA!!!" Rania terlonjak karena perbuatan hewan yang sempat terlupakan keberadaannya itu. Tubuhnya olen, dan... "Byuurr!!" jatuh ke sungai berair jernih tersebut tanpa bisa ditahan. "Rania!!" panggil Dirga, terperanjat dan tak sempat menahan jatuhnya gadis itu. Rania duduk membeku di tengah sungai. Ia masih terkejut. Tadi dia masih di situ, di tepi sungai, di samping Dirga. Sekarang dia di sini, terduduk dengan memalukan di antara aliran sungai yang mulai membuatnya menggigil. "Rania, kamu tidak apa-apa!!?" Dirga tampak khawatir. Dan bingung, tentunya. Bagaimana bisa gadis itu berpindah tempat ke tengah sungai tiba-tiba? Lagi-lagi Rania malu setengah mati. Sepertinya dia tidak bisa berhenti terlihat konyol saat di depan lelaki itu. Padahal, Rania tidak pernah sekacau ini. Dia organizer dan multitasker yang baik. Sumpah! "Ayo, kubantu berdiri," Dirga mengulurkan lagi tangannya. Rania mengamati telapak lebar itu lalu wajah Dirga yang menyeringai geli. Sinar mentari di belakangnya membuat Dirga tampak seperti dewa penolong. Dengan jengah Rania menjulurkan tangan. Dirga menariknya. Namun Rania mengerang keras tiba-tiba. Sontak Dirga melepaskan pegangan mereka. "Tanganku sakit," ringis Rania. Dirga menekuri lengan tamunya itu. Dia lalu membungkuk dan menyelipkan tangannya di pinggang Rania. "Coba berdiri," pintanya, seraya mengangkat pinggang Rania. Rania belum sempat berpikir saat satu gerakan dari Dirga sudah cukup membuatnya bangkit dari duduknya. Mencari keseimbangan, tubuh Rania berayun ke arah Dirga dan hidungnya sempat menumbuk d**a lelaki itu. Rania mengerjap dan menjaraki wajahnya dari d**a Dirga. Namun tubuhnya, tubuh mereka, cukup dekat saat ini hingga Rania bisa merasakan kehangatan yang terkonveksi dari lelaki itu kepadanya. "Sepertinya kakimu baik-baik saja," suara tenang Dirga terdengar lagi. "Ah. Uhmm. Yaaa..." Apa dia terdengar terlena? Ukh, Rania, kendalikan dirimu, batinnya. Dia tidak sememesona itu. "Bisa kamu coba gerakkan kakimu?" Dirga memastikan. Rania mendongak, bertatapan lurus dengan mata pria itu. Tajam. Peduli. Ya. Dia memang sangat memesona. "Coba gerakkan kakimu," pinta Dirga sekali lagi saat Rania masih belum menanggapi, kali ini menjaraki tubuhnya dari Rania dan melepaskan pegangan tangannya dari pinggang Rania. Namun tangan itu masih terentang di dekat Rania, waspada. Melindungi. Rania menggerakkan kakinya seperti jalan di tempat. Menjulurkannya ke depan, searah aliran sungai. Rania menggeleng. "T-tidak apa-apa," ujarnya lega. Dirga menurunkan tangannya. "Syukurlah," pria itu juga menghela napas lega. "Kurasa sebaiknya kita naik lagi ke tepi sungai." Usul yang sangat bagus. Dirga kembali memeriksa lengan Rania saksama. Sentuhan-sentuhan tangan maskulin yang perhatian itu membuat Rania benar-benar membeku, seakan-akan khawatir gerakannya akan mengganggu perhatian lelaki itu yang saksama kepadanya. "Tanganmu hanya terkilir." Dirga menatap Rania lega. "Cukup menyakitkan tetapi tidak terlalu parah. Kalau dirawat dengan telaten, dalam beberapa hari sudah baikan." Rania menghela napas putus asa. Menjalani pelarian dengan lengan terkilir bukanlah rencananya. Dirga melangkah ke arah si kuda—kuda sialan yang sudah mengagetkannya dan menyebabkan ini semua. Rania merengut ke arah kuda itu, dan si kuda kembali nyengir habis-habisan sambil meringkik. Rania terlonjak lagi dan mengusap dadanya keki sembari meringis kesal. Dirga mengambil air minum dan sebuah syal dari tas yang tergantung di pelana si kuda sial, lalu menghampiri dan meminta Rania meminumnya. Gadis itu meneguk air mineral yang diberikan, sementara Dirga menggunakan syal untuk membebat tangannya yang terkilir. "Nyaman?" tanya Dirga seraya menepuk perlahan lengannya. Rania mengangguk. Posisi tangannya terasa lebih nyaman, terlebih dengan perhatian Dirga. Lelaki itu lantas mengikatkan kedua ujung syalnya di bahu Rania lalu mengamatinya sekilas dari atas ke bawah. "Kurasa sebaiknya kuantar kamu kembali ke pondok." "T-terima kasih, ya. M-maaf aku jadi merepotkanmu." Kenapa dia selalu gagap saat bicara dengan Dirga? Dirga mengambil sepatu Rania yang juga menjadi sumber kekacauan ini. Ia menyiram kaki Rania dengan sisa air minum dan memasangkan sepatu itu di kakinya. Rania menunduk mengamati Dirga yang berlutut di hadapannya, ia melipat bibirnya tipis. Kenapa ada pria sebaik dia? Semua perhatiannya amat menyentuh. Rania menyesal sudah marah dan mencacinya kemarin. Tentulah, kesan Dirga kepada Rania pasti sebaliknya. Lelaki itu kembali berdiri, dengan cepat si gadis membuang wajah, menyembunyikan rona yang terlalu jujur di sana. "Kamu pernah naik kuda?" tanya Dirga saat kembali mendekati kudanya. "Ha?" Rania melongo, otomatis mundur selangkah. Ah! Tentu saja! Dengan apa mereka akan kembali? Tentu dengan si kuda sial! Dirga menoleh dan mengangkat alisnya, mengamati Rania terlihat takut melihat kudanya. Pria itu memamerkan senyum lebar yang cerah. Kali pertama Rania lihat. "Tidak apa-apa, tenanglah. Tidak perlu takut, Astra sangat baik." Ia meyakinkan seraya mengusap-usap leher kuda yang sama gagah dengan pemiliknya itu. Tetapi dengusan kuda itu yang kembali disusul cengiran lebar dan ringkikannya, sama sekali tidak meyakinkan Rania akan ucapannya. "Hanya sedikit suka pamer," imbuh Dirga geli. "Uhm, a-aku... jalan kaki... saja... atau naik angkot..." Rania tidak yakin. Dirga tersenyum lebar. "Tidak apa-apa. Ayo," bujuknya. Mengulurkan tangannya lagi. Rania masih ragu tetapi senyuman Dirga terlalu seakan menghipnotisnya, maka secara otomatis ia mendekat dan menerima uluran tangan itu. "Ini Astra," Raut Dirga tampak senang dan bangga seperti memperkenalkan adiknya. "Tenang saja, dia sangat bisa diandalkan dan tidak akan macam-macam. Benar, 'kan, Astra?" Kuda itu kembali mendengus. Kedua pundak Rania terlonjak. Kuda itu terlihat sangat besar dan tinggi. Mungkin kuda paling besar yang pernah Rania lihat selama ini. "Jangan macam-macam pada Nona ini, kamu mengerti Astra? Dia tamu kita. Jangan sampai dia membuat surat pembaca berisi keluhan di koran mengenai kita, oke?" Wajah Rania merona. Tentu saja dia tidak akan melakukan itu. "Naikkan kaki kirimu di sini," Dirga menunjuk pijakan kaki di sadel Astra. "Maaf, aku harus memegangi pinggangmu." "Oh. Ya, ehm." Rania merasa sangat gugup. Dia menurut, menginjakkan kaki di pijakan, dan seperti di sungai tadi, dengan sekali angkat, Dirga membuat tubuh Rania terasa melayang beberapa saat sebelum bokongnya menyentuh sadel. Dirga menyusul, duduk di belakangan Rania. Astra sempat melonjak-lonjak dan Dirga menenangkannya dengan mengeluarkan desisan dan decakan khas dari bibirnya. Rania rasanya ingin berteriak, antara ketakutannya berada di punggung Astra, dan perasaan meluap karena keberadaan Dirga yang begitu dekat. Terlalu rumit. Saat Rania masih bingung dengan situasi fisik dan mentalnya, Astra sudah kembali tenang dan mereka sudah mulai beranjak dari tepi sungai. Rania menghela napas lega. Namun tidak lama. Jantungnya berdebar semakin kuat dan tubuhnya kaku saat merasakan kungkungan tubuh perkasa Dirga di belakangnya. Lengannya yang kukuh memerangkap di kedua sisi raganya. Sel-sel tubuh gadis itu berdesir aneh. Ini akan menjadi perjalanan pendek yang panjang. Rania tersentak saat salah satu lengan Dirga melingkar di pinggangnya. Dirga membenahi posisi tubuh Rania, menggesernya sedikit agar lebih nyaman "Jangan tegang," bisikannya mengayomi. "Kamu akan lebih nyaman jika bersikap santai." Rania memang tidak bisa menikmatinya. Rasanya bokongnya sakit beradu dengan permukaan sadel, dan kakinya yang terentang lebar membuatnya tidak nyaman. Ia berusaha bersikap lebih santai sesuai anjuran Dirga. Tak lama ia merasakan punggungnya bersentuhan dengan d**a Dirga yang bidang, liat, dan... hangat. Sejenak bahunya berkedut tegang, tetapi karena Dirga tidak protes dan mengatakan apa pun, Rania kembali melemaskan otot-ototnya dan tidak menghiraukan tubuhnya agak bersandar kepada Dirga. Lelaki itu benar. Rasanya jauh lebih nyaman. ***  Keduanya berkuda menyusuri keindahan perkebunan teh. Sesekali sapaan yang ditujukan kepada Dirga terdengar. Mereka berdua tidak banyak bicara kepada satu sama lain. Rania merasa gugup bukan kepalang, kepalanya tidak bisa berpikir mengenai pembicaraan apa yang layak mereka perbincangkan. Dirga kembali membantu Rania turun saat keduanya sampai di pondok. Lelaki itu memegangi pinggang Rania yang kembali merasakan sensasi melayang itu saat ia diturunkan. Setelah kakinya menjejak tanah, Rania memutar tubuhnya, dan mendapati sekali lagi raga mereka berada sangat dekat. Jantungnya benar-benar mendapat cobaan yang berat hari ini. Ia mendongak, hendak mengucapkan terima kasih, tetapi saat tatapannya terpasung, gadis itu tidak bisa benar-benar mengatakan apa pun. Dan Dirga, hanya diam menatapnya. "Non Rania! Non kenapa!?" Seruan tiba-tiba dari Mang Diman, pengurus kebun, yang mendekat mengejutkan keduanya. Rania sontak menjauh dari Dirga. "Rania terkilir Mang, bisa carikan es batu?" pinta Dirga seraya menyerahkan kekang Astra kepadanya. "Dan minta orang bawakan makan siang ke pondok." "Baik, Den," Mang Diman mengangguk. "Oh, iya Den, itu ada—" "Dirga!" Ucapan Mang Diman belum selesai saat sebuah seruan lain menarik perhatian mereka. Ketiganya menoleh ke arah suara. Rania terpaku melihat gadis ayu itu muncul dari balik pondok. Entah kenapa keadaannya yang berbanding terbalik dengan tampilan sempurna gadis itu membuat Rania mendadak rendah diri. "Itu Den, Non Padma mau bertemu Den Dirga," sambung Mang Diman. Selanjutnya terdengar suara langkah Astra digiring menjauh dan sol sepatu gadis bernama Padma itu mendekat. "Tadi aku mencari ke kantor, kamu tidak ada," katanya. "Ya, aku harus mengurusnya dulu," Dirga merujuk kepada Rania. Rania melirik kepada Dirga yang wajahnya kembali terlihat serius—dan tegang? Lalu Rania mengalihkan tatapannya kepada Padma yang secara bersamaan menatapnya. Ia berusaha menorehkan senyum canggung. Tidak tahu pasti bagaimana menghadapi situasi ini. "Nanti aku bicara denganmu," Dirga berkata kepada Padma. "Ayo masuk," ajaknya kepada Rania. Rania gelagapan saat Dirga menggenggam lengan kirinya dan menyeretnya menuju pondok. Rania hanya bisa mengikuti Dirga tanpa berkata apa-apa. "Aku tunggu di belakang!" seru Padma kepada punggung Dirga. Lelaki itu tidak menoleh sementara Rania melakukannya, dan... Oh! tatapan Padma sangat dingin! Rania khawatir apa yang dia takutkan terjadi. Bahwa dia sudah membuat gadis itu—tunangan Dirga, salah paham. Setibanya di dalam pondok, Rania duduk di sofa sementara Dirga di sampingnya, melepaskan ikatan syal yang membebat tangan Rania. "Nanti kalau kamu mau tidur, aku bantu membebatnya lagi. Agar kamu tidak banyak menggerakkannya tanpa sadar." Gerakan Dirga terhenti sejenak. "Atau kamu mau pulang saja? Dalam kedaanmu seperti ini—" "Tidak, tidak! Aku harus ada di sini sampai hari Senin!" tukas Rania cepat, panik. "Kenapa harus? Apa kamu mau berkeliaran sendiri dalam keadaan seperti ini?" Rania tidak bisa mengatakan situasinya kepada orang yang baru dikenal. Tapi Dirga benar. Kondisinya tidak ideal. Lagipula, dia tidak bisa pamer foto 'bersenang-senang' di sosial media dalam keadaan seperti ini. "P-pokoknya aku mau di sini!" tegas Rania. "Aku masih ingin menjalankan rencanaku. Tapi sepertinya aku tidak jadi pindah ke penginapan lain ...bolehkah aku tinggal di sini dulu?" "Sudah kubilang kamu bisa berada di sini." Terang Dirga. "Sebaiknya cepat ganti bajumu dan istirahat dulu. Kalau es batunya sudah datang, kompres bagian yang sakit 20-30 menit sekali agar sakitnya tidak semakin parah." Ia mengamati kondisi Rania. "Kamu bisa ganti baju sendiri, 'kan?" tanyanya, dan sepersekian detik kemudian dia baru menyadari keganjilan dari pertanyaannya, saat melihat Rania tertegun. "Maksudku, apa harus... dibantu pegawai wanitaku?" Gadis itu menggeleng tanpa bisa bersuara. Tentu saja bukan Dirga yang akan membantunya. Pemikiran salah yang dipicu pertanyaan itu membuat Rania kikuk. Namun suasana aneh itu sama sekali tidak menghilangkan sikap tenang Dirga. "Baiklah. Kalau ada yang kamu butuhkan, katakan saja kepada pegawaiku. Aku keluar dulu, ada urusan. Setelahnya aku akan langsung kembali ke kantor, masih ada yang harus aku kerjakan. " Rania tahu apa 'urusan' yang Dirga maksud, dan tiba-tiba merasa tak tenang. Aneh sekali... sepertinya dia merasa cemburu. Cemburu? Kepada sepasang kekasih? "Ada apa?" tanya Dirga kepada gadis yang terpaku mengamatinya. "Eh, uhm..." wajah Rania memanas seketika, baru tersadar tatapannya masih melekat kepada lelaki itu. Dia harus segera mengatakan sesuatu. "Dirga, kamu... sedang sakit, bukan?" Alis pria itu terjungkit. Sebetulnya, apa yang sedang dipikirkan gadis aneh ini? "Sakit?" "Kamu... putra Pak Bayu Kamajaya, 'kan?" Rania meyakinkan "Kudengar, putra Pak Kamajaya yang akan menikah itu sedang sakit dan kabarnya akan dioperasi." Sejenak ada kejut di mata Dirga, sebelum dengan tenang menyahut, "Itu bukan aku, itu kakakku. Raka." terang Dirga. "Kamu mendengarnya dari mana?" Jika Rania mendengar kabar itu dari orang sekitar sini, dia pasti tahu yang dimaksud bukan Dirga. "Oh! J-jadi yang mau menikah bukan kamu!?" Mungkin Rania terdengar terlalu antusias. "Syukurlah. Aku merasa bersalah sudah menyusahkanmu yang sedang sakit." Rasa leganya tidak lama, dengan cepat raut gadis itu berkerut heran. "Tapi kudengar... calon pengantin perempuannya bernama Padma." Mata Dirga berkilat kaget. "Bagaimana kamu—" "Ah, Kakakku, Kak Renjana, WO miliknya mungkin akan diminta membantu WO Yoga yang terpilih menyelenggarakan pestanya," ungkap Rania. "Jadi bukan kamu orangnya?" "Oh..." gumam Dirga pendek. Ia mengerti sekarang. Ternyata dunia bisa begitu sempit. "Bukan," Dirga berucap perlahan. "Padma itu temanku, tapi dia tunangan kakakku." Getir. Dia selalu merasa getir mengatakan pengakuan itu. Dirga menelan ludahnya pahit. Dirga lalu pamit dengan raut dingin. Ada perubahan mendadak karena topik pembicaraan mereka, yang membuat Rania merasa segan. *** "Sshh... aduduh..." Rania mengaduh saat merasakan tangannya berdenyut setelah dikompres. Sejenak wajahnya merona lagi, teringat kejadian hari ini, dimana dia selalu saja menjadi kacau dan bertingkah konyol di dekat Dirga. Dia juga lega, setelah tahu Padma bukan tunangan Dirga. Setidaknya, dia tidak perlu khawatir membuat kekasih orang lain salah paham. Sebaiknya kau bersikap lebih baik lagi nanti, Rania mengingatkan dirinya sendiri. Walaupun Padma bukan kekasihnya, bukan berarti Dirga belum berpasangan. Kalau belum pun, bukan berarti Dirga akan menyukainya. Deg! Rania tertegun sendiri. Kenapa dia berpikir sejauh itu? Tidak, tidak, tidak! Tidak mungkin kan, kalau dia nak... naksir pada... "Ih, ngaco! Ada-ada saja, kenal juga tidak!" sanggah Rania, agak ngeri dengan pikirannya. Mengagumi ketampanan dan kebaikan seseorang bukan hal yang aneh, 'kan? Selama dia bisa membatasi diri dan— Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring ponsel yang menegur lamunan Rania. Ia menyadari itu bukan ponselnya. Rania keluar kamar dan mendapati ponsel Dirga berbunyi di atas kabinet dapur, dekat dispenser. Rania meraihnya. "Mama Sayang" tertera di sana. Ibunya? Istrinya? Sepertinya Dirga belum menikah. Apakah penting? Apakah darurat? Apa dia angkat saja? Atau biarkan saja? Rania ragu-ragu. Ia lantas teringat ucapan Padma yang menunggu Dirga di halaman belakang. Tidak banyak berpikir, ia segera meraih ponsel itu dan keluar dari cottage untuk mencari Dirga. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN