Bab 10 - Kita Mau Ngapain, Mas?

1783 Kata
Dapatkah Alin disebut gila? Ah, apa yang dilakukannya sekarang? Bisa-bisanya ia setuju untuk mengikuti pria judes seperti Sona. Terlepas dari tadi siang pria itu sudah menolongnya, tetap saja mengikutinya adalah sesuatu yang berlebihan. Anehnya, sampai detik ini kaki Alin malah terus melangkah mengikuti pria itu. "Ah ... nggak apa-apa, Lin. Toh Mas Nino juga pasti ada di rumah, bukan? Jadi nggak mungkin Sona bertingkah yang aneh-aneh," batin Alin menenangkan dirinya sendiri. "Manusia apa kura-kura, sih? Jalan segitu aja lama banget!" Alin tersadar saat terdengar Sona mengomel, rupanya pria itu berdiri di ambang pintu menghadap padanya. Sedangkan Alin malah seakan masih membeku di beranda rumah Sona. "Eh, maaf. Tapi sebenarnya kita mau ngapain?" tanya Alin memberanikan diri, meski agak gugup. "Lebih tepatnya lo aja. Bukan kita," ralat Sona. "Pertama-tama lo ambil minuman di kulkas, setelah itu bawa naik ke lantai dua." "Eh?" Alin tampak kebingungan. "Enggak usah buang-buang waktu. Gue tunggu di lantai dua." "Tunggu, aku masih nggak bisa memahami ini, Mas. Coba jelaskan sebenarnya kita mau apa? Jangan buat aku takut atau curiga." "Takut? Apa yang lo takutkan?" tanya Sona. "Ya maksudku ... duh, gimana ya bilangnya." Alin tampak bingung sendiri. "Ya intinya mau apa dulu?" "Lo bakalan tahu jawabannya kalau nggak banyak bacot gini. Tenang aja, gue nggak minat macam-macam sama cewek aneh kayak lo." Baiklah, saat ini Alin sedang menahan diri agar tidak melempar kursi ke wajah Sona. Apa Alin tidak salah dengar kalau Sona menyebutnya aneh? Jika Alin aneh, lalu Sona apa namanya? Super-duper aneh? "Katanya mau berterima kasih. Jadi buktikan," pungkas Sona, setelah itu ia segera meninggalkan Alin. Alin seharusnya kabur saja. Toh tidak ada kewajiban untuk menuruti segala perkataan Sona. Lagian ia juga sudah berterima kasih dengan sopan. Anehnya ia malah mengikuti langkah pria itu masuk ke rumahnya. Karena Alin pernah masuk ke rumah ini sebelumnya, ia jadi tahu letak dapurnya. Sedangkan Sona sudah lebih dulu naik ke lantai dua. Alin sendiri heran kenapa Sona cepat sekali menghilangnya. Pria itu hantu atau apa? Di dapur, Alin tidak langsung membuka kulkas. Ia memperhatikan sekeliling ruangan yang sudah sangat bersih dan rapi, berbeda dengan saat Alin salah masuk rumah ini waktu itu. Ah, Alin tebak pasti jasa kebersihan yang sudah menyulap dapur ini menjadi jauh lebih baik. Baru saja hendak mengambil minuman di kulkas, tiba-tiba ponsel Alin berdering. Benar saja, Bayu pasti kebingungan mencarinya sekarang. Langsung saja Alin mengangkat panggilan itu dan mengabarkan bahwa Alin akan melihat foto-fotonya lain kali saja. Alin juga tidak lupa meminta maaf. Jelas sekali Bayu terdengar kecewa, tapi pria itu akhirnya tidak ada pilihan selain menyilakan Alin menyelesaikan 'urusan dadakan' yang menjadi alasan wanita itu. Setelah sambungan telepon dengan Bayu terputus, Alin cepat-cepat mengambil dua kaleng minuman di kulkas lalu membawanya ke lantai dua, sebelum Sona mengamuk lantaran Alin cukup lama berada di dapur. Meskipun dipenuhi berbagai keraguan dan rasa takut, pelan-pelan Alin naik ke lantai dua. Hatinya terus menggumamkan pikiran positif bahwa Sona tidak mungkin macam-macam padanya. Lagi pula di mana Nino? Kenapa rumah ini sepi sekali? Baru saja menginjakkan kaki di lantai dua, Alin langsung disambut Sona yang sedang bersedekap di dekat tangga teratas. Bisa dipastikan sebentar lagi pria itu akan mengomel lantaran Alin cukup lama mengambil minuman di dapur. “Tadi aku habis jawab telepon Kak Bayu dulu, jadi agak lama,” jelas Alin sebelum Sona berbicara. “Tadi, kan, aku emang mau ke tempatnya. Tapi nggak jadi karena harus ‘berterima kasih’ sama Mas Sona.” “Gue nggak maksa. Silakan kalau mau pergi. Lagian lo yang mau beterima kasih, bukan gue.” Alin bisa saja langsung pergi. Anehnya, ia malah bertahan di sana. Ia anggap ini kali terakhir dirinya berurusan dengan Sona. Setelah ini, ia tidak akan punya utang budi atau harus berterima kasih lagi. Bahkan, untuk bertemu pun sudah tidak perlu lagi. Ia akan menganggap tidak kenal Sona jika semua sudah beres. “Tapi aku harus ngapain untuk berterima kasih?” “Ikut gue.” Astaga. Ikut ke mana lagi? Sejak tadi Sona sangatlah tidak jelas! "Ini minumnya, sih, Mas?" "Lo bawa lah," balas Sona sambil berbalik badan. "Dibilangin ikut gue tanpa banyak bacot," sambungnya dengan nada kesal. Ya Tuhan ... haruskah Alin kabur saja sebelum terlambat? Sebenarnya Sona akan membawanya ke ruangan apa? Juga, apa yang akan pria itu lakukan? "Maaf, Mas. Boleh tanya sesuatu nggak?" tanya Alin cepat sehingga Sona yang hendak membuka kenop pintu refleks mengurungkan niatnya. Ya, dengan tanpa menoleh dan masih memegang kenop pintu, Sona seolah memberi isyarat kalau ia sedang mendengarkan Alin, menunggu Alin melanjutkan kalimatnya. "Mas Nino ada?" Kali ini Sona menoleh. "Enggak ada." Alin tampak kecewa, dan seketika dirinya merasa tidak aman. Bagaimana jika Sona sungguh macam-macam padanya? Baiklah, wajah Sona bukan tipikal pria omes, hanya saja Alin jadi teringat saat pertama kali dirinya salah rumah, ia dengan jelas melihat Sona berduaan dengan wanita yang penampilannya cukup seksi. Detik berikutnya, lamunan Alin buyar saat mendengar suara pintu dibuka. "Tunggu, Mas. Kita mau ngapain?" tanya Alin berusaha waspada. Sona berdecak. "Jangan bilang kalau lo mikir yang aneh-aneh." "Eh? Eng-nggak kok," bohong Alin. Tidak mungkin ia berkata jujur, bukan? "Kalau gitu masuk," balas Sona seraya mulai melangkah masuk ke sebuah ruangan yang Alin sendiri tidak tahu ruangan apa. Kamar? Ah, Alin berharap bukan! Sebut Alin seratus persen tidak waras sekarang! Ia tidak punya kewajiban untuk mengikuti apa yang Sona katakan. Persetan dengan cara berterima kasih. Ya, ini sangat berlebihan untuk ukuran orang yang hendak berterima kasih, bukan? Gilanya, Alin malah melangkah mengikuti Sona. Meski begitu ia tetap waspada, jika tempat yang hendak dimasukinya benar-benat kamar tidur, Alin akan langsung melarikan diri detik itu juga. Seakan pindah ke dunia lain, rupanya dugaan Alin salah besar. Saat langkah pertamanya masuk, Alin langsung sadar kalau ruangan itu bukanlah kamar. Tidak ada tempat tidur sama sekali, yang ada hanyalah meja dan kursi yang biasa orang gunakan untuk bekerja, bahkan ada komputer sekaligus laptop di mejanya. Alin tebak Sona mungkin sering menghabiskan waktunya di situ. Untuk bekerja? Tentu saja tebakan Alin bukan itu. Alin rasa Sona menyediakan tempat itu untuk bermain game atau sekadar berselancar di internet. Selain itu, beberapa buku tampak menumpuk di meja. Entah buku apa. Beberapa camilan pun ikut meramaikan meja tersebut. Hal yang membuat Alin tidak habis pikir adalah ... saat Alin menoleh ke arah dekat jendela, terdapat rak buku yang lumayan aesthetic di sana. Terlebih ada ratusan buku yang memenuhi rak. Tentu saja Alin agak mengernyit. Bagaimana tidak, wajah Sona sama sekali tidak menunjukkan bahwa pria itu suka membaca buku, hanya saja ... buku-buku ini maksudnya apa? Atau mungkin ini milik Nino? "Kenapa malah ngelamun?" Suara Sona kembali membawa Alin ke dunia nyata. "I-ini ruangan apa?" "Lo nggak perlu tahu ini ruangan apa, karena lo di sini bukan buat sesi wawancara. Lo mau berterima kasih, kan?" "Sumpah Mas, aku nggak ngerti. Bisakah to the point aja?" "Beresin buku-buku di rak." "Hah?" "Lo paham cara menyusun arsip, kan? Gue mau buku-bukunya disusun berdasarkan abjad perjudul." Tunggu, terlepas dari ini bagian dari cara berterima kasih ... kenapa Alin harus menuruti perintah Sona? "Kenapa tatapan lo aneh banget?" tanya Sona kemudian. "Jangan bilang lo lagi mikir yang nggak-nggak tentang cara berterima kasih yang gue maksud. Lo nggak berpikir kalau gue bakal macam-macam sama lo, kan?" Alin tidak akan berpikir aneh-aneh jika Nino ada di rumah ini. Namun, kenyataannya pria itu tidak ada. Mana mungkin Alin tidak merasa was-was? Selain itu, kenapa Sona seakan bisa membaca pikiran Alin? Detik berikutnya, Alin langsung menyangkal, "Enggak kok. Aku cuma nggak nyangka aja kalau aku harus berterima kasih dengan cara seperti ini." "Emang lo maunya yang gimana?" Secepatnya Alin menggeleng. "Enggak, nggak. Abaikan aja perkataanku, Mas." Wanita itu sedikit gugup. "Enggak jelas banget," cibir Sona. "Ya udah buruan kerjain, nanti keburu malam." "Maaf, Mas. Aku belum bilang bersedia beresin rak bukunya." "Kalau nggak setuju, ngapain lo ikut ke sini bahkan masih di sini sampai sekarang. Jangan bilang lo kecewa karena sebenarnya lo mengharapkan berterima kasih dengan cara lain?" "Ya Tuhan, kalau ngomong jangan sembarangan, Mas." "Ya udah cepetan mulai. Lo pengen banget di sini lebih lama ya?" Sial. Andai Alin bisa mengesampingkan kewarasannya sejenak, ia ingin menjotos Sona detik ini juga. Level menyebalkan Sona benar-benar akut! Tanpa menjawab, Alin langsung melangkah mendekati rak buku. Otaknya mulai berpikir sekaligus menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan semua ini. “Sebelumnya simpan minuman di meja gue dulu. Lo pasti mengira minumannya masing-masing satu, ya. Jangan harap karena dua-duanya milik gue.” Lagi-lagi Alin memilih diam, ia juga langsung meletakkan dua kaleng minuman itu di meja. Setelah itu, ia kembali berjalan ke rak buku. "Sekalian bawa buku-buku yang di meja juga nih," kata Sona kemudian. Spontan Alin mengalihkan pandangannya dari rak buku, dan menoleh pada Sona yang kini sudah duduk di kursi kebesarannya. “Kenapa nggak sekalian tadi aja, sih, nyuruhnya?! Supaya nggak bolak-balik,” batin Alin sewot. Alin pun bergegas menghampiri Sona. Sejenak ia mulai mengambil beberapa buku yang tergeletak di meja. Entah dorongan dari mana, matanya malah memperhatikan layar laptop yang menyala. Di sana terpampang nyata situs pencarian yang aktif. Hal yang membuat Alin terkejut bukan main adalah ... Sona sedang mencari informasi terkait morning sickness pada kehamilan. Apakah itu masuk akal? Untuk apa Sona mencarinya? Apa pacar Sona sedang hamil sekarang? Rasa terkejut Alin buyar saat sebuah buku hanya berjarak beberapa senti dengan wajahnya. Ya, tentu Sona yang melakukannya. Pria itu sengaja menghalangi wajah Alin menggunakan salah satu buku di meja. "Tugas lo ambil dan beresin buku-buku ini. Kenapa malah kepo sama layar laptop gue?" "Bukannya kepo, tadi refleks kebaca, Mas." "Udahlah sana, bawa buku-bukunya sekarang dan laksanakan yang gue perintahkan tadi." Alin pun terpaksa mengumpulkan beberapa buku di meja tersebut. "Satu lagi, jangan banyak omong apalagi ngajak gue bicara. Gue nggak akan dengerin," sambung Sona seraya mulai memakai earphone di telinganya. "Siapa juga yang mau ngajak Mas Sona ngomong?" balas Alin, sedangkan Sona tampak mulai sibuk dengan layar laptopnya. Alin rasa pria itu sedang mencari musik dan akan memutarnya dengan super keras. "Bodo amat, lebih bagus kalau dia sibuk dan nggak perlu keluarin kalimat-kalimat yang bikin kesel," lanjutnya, tentu saja dalam hati. Baiklah, Alin menegaskan dalam hati bahwa ini adalah terakhir kalinya ia berurusan dengan pria bernama Sona. "Dasar cowok judes bin ngeselin!" umpat Alin spontan. Tak lama kemudian ia langsung melebarkan matanya, tangannya juga refleks menutup mulutnya. Ucapannya barusan bisa membuat permasalahan baru! Alin lalu menoleh pada Sona, seketika rasa lega menghampirinya. Sepertinya Sona tidak mendengar meskipun Alin mengatakannya dengan lantang. Baguslah kalau begitu, rupanya Sona sudah memakai earphone yang jika Alin tebak, pasti sedang mendengarkan musik yang sangat keras. Mata pria itu juga tampak fokus ke layar laptopnya. Alin jadi ingat lagi tentang situs web yang sedang Sona buka. Tunggu ... apakah dugaan Alin benar bahwa Sona sepertinya sudah menghamili seorang wanita?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN