"Larangan dibuat untuk dilanggar, bukan?" kekeh Alin pada Diana di hadapannya.
Saat ini Alin sudah berada di tempat janjian antara dirinya dengan Diana. Mereka baru saja selesai makan siang. Alin memang nekat, tapi ia tetap berhati-hati sehingga sampai di restoran ini dengan selamat. Ya meskipun tadi sempat ada drama-drama Maps yang sedikit menyesatkannya, tapi Alin senang bisa bertemu dengan Diana setelah sekian lama.
Setelah mengobrol tentang banyak hal, sampailah pada topik tentang larangan Rio dan Dewi tadi pagi.
"Astaga. Jadi sebenarnya kamu nggak dibolehin pergi?"
"Mereka pulangnya sore, kok. Malah Mas Rio seringnya hampir tengah malam. Jadi, aku hanya perlu pulang sebelum mereka datang."
"Dasar kamu, Lin. Aku kira kamu emang udah pernah nginep di rumah kakakmu. Tapi nanti jalan pulangnya nggak lupa, kan?"
"Enggak, dong, tenang aja. Kalaupun lupa, Maps berguna juga meski terkadang menyesatkan."
"Lain kali aku yang datang ke tempat tinggal kamu aja deh kalau begitu."
"Jangan, Di. Nanti aja kalau aku udah tinggal di rumah indekos, syukur-syukur kalau bisa sewa apartemen sekalian," kekeh Alin.
"Hah? Kok bisa berencana nge-kos, sih? Kenapa?" Diana agak terkejut.
"Aduh, kamu nggak akan ngerti, Di.”
“Apa ini karena masa lalu kamu sama Mbak Dewi yang belum selesai?”
“Itu kamu tahu. Pokoknya mau sebesar apa pun rumah kakakku, bahkan misalnya seperti istana sekalipun ... aku tetap milih nge-kos. Lebih nyaman, lebih bebas."
"Maksudnya biar bebas bawa cowok, Li? Hayoh, mau ngapain kamu?"
"Pikiranmu, Di. Bukan begitu. Lagian aku nggak punya pacar."
Diana tertawa. "Padahal yang lain udah pada momong anak, kamu kapan nikahnya kalau pacar aja nggak punya?"
"Boro-boro nikah, Di. Minimalnya punya pacar aja dulu deh, cuma pasti susah juga. Ah, kenapa kakak cowok itu ribet banget, sih?" keluh Alin.
"Jangan nethink, Lin. Kakakmu mungkin cuma nggak mau kamu kenapa-kenapa. Dia laki-laki, jadi lebih tahu tingkah cowok-cowok zaman sekarang."
"Mendadak bijak, Bu? Padahal kamu nggak punya kakak cowok. Kamu nggak tahu rasanya ada di posisi aku."
"Iya, aku nggak punya kakak cowok, tapi aku punya suami. Sedikitnya aku tahulah apa yang diinginkan laki-laki dari seorang perempuan," kekeh Diana. "Ranjang, ranjang, ranjang. Jadi, aku rasa kakakmu cuma mau melindungimu dari cowok-cowok omes."
"Hadeuh, jangan dipukul rata gitu, dong. Enggak semua laki-laki...." Apa-apaan ini, kenapa Alin jadi teringat wanita seksi yang kemarin berada di rumah Sona? Kalau boleh berpikiran buruk, sepertinya Sona dan wanita itu baru saja melakukan hal-hal yang Diana maksud.
"Tunggu, tunggu. Mbak yang jaga anakku nelepon, nih. Sebentar ya, Lin." Diana lalu keluar sejenak untuk mengangkat telepon.
Sambil menunggu Diana, Alin merogoh ponselnya yang ada di dalam tas. Biasanya memang jarang ada yang chat maupun orang yang meneleponnya, itu sebabnya Alin belum mengeceknya sejak tadi. Namun, kali ini terpampang satu panggilan tidak terjawab. Tumben sekali. Pertanyaannya siapa? Foto profil peneleponnya pun kosong.
Astaga ... paket! Mungkinkah itu nomor kurir? Ya Tuhan, bisa-bisanya Alin lupa kalau paketnya sampai hari ini. Alin secepatnya mengambil kartu nama Nino yang sengaja diletakkannya dalam dompet, ia akan mencocokkan nomor ponsel Nino dengan nomor yang sepuluh menit lalu meneleponnya.
Alin seharusnya sadar kemungkinan itu Nino sangatlah kecil mengingat ini masih siang, dan benar dugaannya, yang meneleponnya bukanlah Nino karena nomornya jelas berbeda.
Sekarang hanya ada dua kemungkinan, entah itu kurir atau ... Sona?
Bersamaan dengan itu, layar ponsel Alin berganti lagi tanda ada telepon masuk. Nomor yang tadi. Perlahan Alin mengangkatnya, "Ha-halo...."
"Paket lo, nih! Mau gue buang atau kasih ke tukang rongsok?" Suara di ujung sana membuat Alin semakin yakin bahwa Sona-lah yang meneleponnya. Sial, malah berurusan dengan pria ini lagi.
"Titip dulu, bisa?" Alin sengaja berbicara se-ramah mungkin.
"Ini bukan penitipan barang, cepetan keluar!"
"Masalahnya aku lagi nggak di rumah, tolong ya dua jam ... ralat, maksudnya satu jam aja."
"Gue tunggu paling lama setengah jam!"
"Ya ampun, kalau gitu simpan depan pagar rumah Mas Rio bisa?"
"Lo nyuruh?"
"Terserah deh." Alin kesal sendiri sehingga memutuskan menutup panggilannya tanpa pamit. Kenapa Sona se-menyebalkan ini? Apa susahnya titip dulu di depan rumahnya? Toh paketnya tidak akan mengganggu. Andai saja itu Nino, pasti dengan senang hati membantunya.
Baiklah, Alin akan membiarkan paket itu tetap di sana setidaknya sampai Nino pulang. Tentang Sona, Alin tidak akan memedulikan pria menyebalkan itu.
"Lin, maaf ya ... aku harus pulang sekarang." Diana yang baru kembali setelah menjawab telepon, langsung cepat-cepat memasukkan ponselnya ke tas. "Bayiku ngamuk, barusan si Mbak nelepon. Bisa kebetulan gini, ya. Bayiku hampir nggak pernah sampai ngamuk parah. Ditambah lagi mertuaku mau datang. Kapan-kapan kita ketemu lagi, ya. Meskipun aku sendiri nggak bisa memastikan kapan kita bisa ketemu lagi."
"Oh, iya nggak apa-apa. Kalau gitu hati-hati di jalan ya, Di. Makasih udah meluangkan waktu buat ketemu dan ngobrol hari ini."
***
Awalnya Alin berencana lebih lama bersama Diana. Namun, mau bagaimana lagi kalau keadaan mendesak mengharuskan temannya itu pulang lebih cepat dari perkiraan. Alin pun tidak ada pilihan selain pulang. Jalan-jalan? Mungkin bukan waktu yang tepat, terlebih ia harus mengurusi paketnya yang sudah datang.
Mau tidak mau, Alin pasti berhadapan dengan Sona. Ah, padahal tadinya Alin ingin mengambilnya sore-sore saja, saat Nino sudah datang. Mau bagaimana lagi, Alin hanya perlu bersikap bodo amat terhadap Sona.
Alin agak tenang saat motor yang dikendarainya sudah memasuki area perumahan Latansa. Alin senang, fakta membuktikan dirinya tidak nyasar sehingga kekhawatiran Rio dan Dewi tadi pagi tidaklah terbukti.
"Apa aku bilang, mana mungkin aku nyasar?" batinnya.
Alin menghabiskan sekitar lima belas menit dari gerbang masuk Latansa hingga titik dirinya berada saat ini. Anehnya, kenapa sesulit itu menemukan rumah yang bernomor 21. Apalagi desain rumah-rumah itu tampak serupa.
Alin sempat lega saat melihat angka 21, tapi ia ingat betul bentuk rumah Rio, sedangkan di hadapannya sekarang agak berbeda. Alin jadi pusing sendiri, ia seakan berputar-putar di area yang sama tanpa menemukan hasil. Apa-apaan ini? Alin ingin tertawa miris dengan kekonyolan ini. Bisa-bisanya ia gagal menemukan rumah Rio.
"Ini pasti ada setan yang biasa nyasarin orang-orang di jalan," gerutu Alin dalam hati.
Alin berhenti sejenak. Rasanya cuaca seakan sangat panas sehingga Alin kegerahan. Dengan tangan yang mulai gemetar, ia membuat rute perjalanan melalui Maps di ponselnya untuk menemukan rumah Rio, sialnya tetap tidak berhasil. Alin merasa terus berputar di tempat yang sama. Rumah-rumah yang dilaluinya sampai terasa tidak asing saking sudah berulang kali Alin lewati.
Alin sebenarnya sempat bertanya pada orang yang kebetulan ditemuinya sekitar tempat itu. Mereka menunjuk nomor yang benar, tapi itu rumah orang lain. Alin ingin protes, bisa-bisanya ada nomor sama, membuatnya pusing setengah mati.
Menghubungi Rio? Itu sangat tidak mungkin. Dewi pun mustahil. Harapan Alin tertuju pada Nino yang baik hati. Ya, Nino pasti bisa menjawab kebingungannya, terlebih pria itu pernah mengatakan agar jangan sungkan jika ada sesuatu.
Alin menepi lagi, tapi ia harus menelan kekecewaan karena Nino tidak menjawab teleponnya. Mungkin saja pria itu sedang sibuk bekerja. Sekarang, harapan terakhir Alin adalah Sona. Pria yang semalam pencitraan dengan mentraktir sate tanpa memberi tahu ... apakah bersedia menolongnya? Ya, apakah Sona mau membantunya sedangkan meminta nitip paket saja langsung menolak.
Baiklah, sebut Alin gila karena meminta tolong pada pria judes seperti Sona. Namun, ia tidak punya pilihan selain melakukannya.
Sampai pada akhirnya, Alin benar-benar menghubungi Sona.