Andre duduk dengan tenang di hadapan Bimantara senior. Dia tahu persis dengan siapa dia berhadapan. Dan Andre tahu, cukup dengan menyebutkan nama keluarganya, maka sikap orang tua di hadapannya ini akan berubah. Tapi untuk apa? Toh ia hanya pacar pura-pura bagi putri Bimantara.
Ia melirik Maura yang tampak tegang duduk di sampingnya. Sungguh kasian. Demi menghindari perjodohan dengan seseorang, dia bahkan rela membayar orang lain untuk mengaku sebagai pacarnya. Michael, yang akan dijodohkan dengannya, bukanlah orang yang buruk rupa. Hanya saja dia orang yang gemar menghabiskan waktunya di klab malam yang berakhir dengan di atas ranjang bersama perempuan yang kerap berbeda-beda.
“Kerja apa di sini?” tanya ayah Maura dengan angkuh.
“Belum, Om. Saya masih kuliah.”
“Kuliah di mana?”
“Harvard, Om. Bussiness School.”
Andre bisa melihat perubahan kecil pada wajah lawan bicaranya.
“Sepertinya saya belum pernah dengar nama Lazuardi. Sudah mulai bisnis?”
“Baru mulai, Om. Masih bisnis kecil.”
“Bidang apa?”
“IT.”
“IT? Kamu ngerti IT?”
Andre tersenyum. “Kebetulan ada teman yang ahli IT. Saya hanya mengelola sektor bisnisnya saja.”
Andre melirik Maura yang menatap padanya penuh tanda tanya. Maura yakin sekali bahwa Ken yang ditemui kakak dan ayahnya adalah Kenzo yang ia transfer sejumlah uang untuk Andre.
“Sejak kapan mengenal Maura?”
Andre menatap Maura. Dia tak pernah punya skenario apapun tentang perkenalan mereka. Biarlah Maura yang memikirkan semuanya.
“Belum lama, Pa. Baru beberapa bulan,” Maura yang menjawab.
Andre membiarkan gadis itu mengarang sesuka hatinya. Perihal pertemuan pertama mereka dan pertemuan-pertemuan berikutnya. Rasanya Andre ingin sekali tertawa mendengar semuanya. Perempuan ini sungguh pandai mengarang cerita.
Dari sorot matanya, Andre tahu, Bimantara tak terlalu menyukainya. Ia tentu berharap seseorang yang memiliki silsilah keluarga yang bisa ia banggakan untuk mendampingi putri semata wayangnya.
Andre melirik jam tangannya. Bukan sebuah jam mewah memang. Tapi juga bukan jam murahan. “Maaf, Om, saya harus kembali ke Boston malam ini.”
Bimantara hanya mengangguk pelan. Ia senang, karena laki-laki ini dan putrinya tinggal di kota yang berbeda. Maura tak perlu sering bertemu dengan kekasihnya itu kan? Dia akan memikirkan cara untuk membuat hubungan mereka semakin renggang.
Tepat saat Andre bangkit, pintu apartemen terbuka. Daffa masuk dengan wajah yang terlihat lelah. Dia mengernyit mendapati seorang laki-laki yang tak dikenalnya. Wajah ini mengingatkan Daffa pada seseorang.
“Kak Daffa,” sapa Maura. Dia tak menyangka kakaknya akan pulang lebih cepat dari biasanya.
“Ada tamu?”
“Teman Maura,” ayahnya yang menjawab.
Andre hanya tersenyum tipis. Dia bukanlah orang yang bodoh sehingga tak memahami apa maksud 'teman Maura' seperti yang diucapkan Bimantara. Dengan percaya diri, ia mengulurkan tangannya pada Daffa.
“Andre. Andre Lazuardi.”
“Daffa Bimantara.”
Daffa masih berusaha mengumpulkan potongan-potongan puzzle di kepalanya, mencoba menyambungkan kemiripan sosok di hadapannya ini dengan seseorang.
“Senang bertemu keluarga Bimantara di sini. Tapi sayang, saya harus menyelesaikan urusan saya di Boston. Permisi.”
Andre berpamitan. Maura mengikutinya keluar gedung apartemen.
“Aku sudah transfer kembali uangmu. Masuklah. Aku pergi,” Andre melangkah cepat meninggalkan Maura tanpa memberinya kesempatan mengucapkan sesuatu.
*
“Daffa, kamu kenal dia?” tanya ayahnya begitu pintu apartemen Daffa tertutup dari luar.
“Maura belum pernah ajak dia ketemu, Pa. Tapi wajahnya seperti mirip seseorang.”
“Siapa?”
“Entahlah. Tadi siapa nama belakangnya? Lazuardi?”
“Dia bilang begitu.”
Daffa mengetuk-ketukkan jarinya di atas meja. “Papa tahu nama Lazuardi?”
“Seingat Papa gak ada. Maura gak pernah kenalin ke kamu sebelum ini? Katanya kuliah di Harvard.”
Daffa hanya menggeleng pelan. Maura memang tak pernah mengenalkannya pada dia sebelum ini. Tapi ia yakin, adiknya itu tak sembarangan memilih seorang laki-laki untuk dibawa ke hadapan ayahnya meski Daffa tahu persis alasan Maura.
Daffa sedang di kamar mandi saat Maura kembali masuk ke dalam apartemen. Wajah gadis itu sedikit sendu seakan ia benar-benar berpisah dengan kekasihnya.
“Dia sudah lama kuliah di sana?” tanya ayahnya.
“Sudah. Mungkin sebentar lagi selesai.”
“Kamu sudah selidiki keluarganya?”
“Papa, setidaknya dia baik dan bertanggungjawab.”
“Mahasiswa beasiswa?”
“Jarang kan ada mahasiswa beasiswa di business school? Itu artinya dia memang cerdas.”
Maura menekuk wajahnya. Dia memang tidak tahu apakah Andre benar mahasiswa beasiswa atau bukan. Tapi bisa masuk ke sana itu sudah cukup menunjukkan kapasitas otaknya kan?
“Kamu yakin nama keluarganya Lazuardi?”
“Papa, gak semua orang Indonesia menggunakan nama keluarga kan?”
Maura tahu benar apa artinya nama keluarga bagi ayahnya itu. Jaminan priviledge bagi beberapa orang. Setidaknya jika berada di komunitas para pengusaha dan keluarganya. Dengan hanya menyebut nama Bimantara saja, Maura kerap mendapatkan perlakuan istimewa dari sekitarnya.
Kadang, Maura begitu jengah dengan semua itu. Tapi di lain waktu ia kerap menggunakannya untuk menyeleksi siapa saja orang-orang yang benar-benar tulus padanya. Maura, sudah lama ingin lepas dari bayang-bayang nama Bimantara, tapi nyatanya sulit. Hampir semua orang mendekatinya karena nama keluarganya.
“Kamu sudah makan, Ra?” Daffa muncul dengan pakaian yang lebih santai dan wajah segar.
“Papa mau istirahat dulu,” pamit ayah mereka.
“Papa gak makan dulu?”
“Masih kenyang. Kalian makanlah berdua.”
Daffa membuka kulkas sambil berpikir. “Spaghetti mau Ra?”
Maura mengangguk. Dia duduk di kursi sambil memperhatikan kakaknya di dapur. “Urusan bisnis Papa sudah selesai, Kak?”
“Sepertinya cuma dengan Ken saja yang utama. Yang lain sekedar penjajagan saja.”
“Kenapa gak Kak Daffa saja.”
“Dengan Ken? Nominal yang mereka minta lumayan. Dan Papa memang pingin ketemu kamu juga. Kamu serius sama Andre?”
“Aku gak tahu.”
Daffa menuang air di gelas. “Kamu pernah nanya nama lengkapnya?”
“Tadi Kakak dengar sendiri kan dia memperkenalkan diri. Apa kakak juga seperti Papa?”
“Bukan begitu. Hanya saja, wajahnya seperti mirip dengan seseorang, hanya saja aku gak inget siapa. Kamu suka sama dia?”
Maura tak menjawab. Dia mengambil gelas berisi air minum yang tadi diisi kakaknya.
“Ayo makan. Nanti aku bantu selidiki siapa dia kalau kamu beneran suka sama dia.”
“Siapa yang suka dia?”
Daffa hanya terkekeh kecil. Dia menyodorkan piring berisi spaghetti pada adik kesayangannya itu. Dia tahu benar setiap perubahan ekspresi Maura. Pijar bahagia yang tadi sempat ia lihat saat masih ada Andre. Dan sinar kesedihan yang samar terlihat setelah Maura mengantarkan laki-laki itu keluar.
Daffa berharap, jika memang itu cinta, semoga saja memberikan kisah yang indah untuk adik perempuan semata wayangnya itu. Dia tidak akan membiarkan siapapun membuat Maura bersedih, tidak juga seorang Andre Lazuardi.
***