Bab 13: Capture of You

1051 Kata
“Ada yang mau kamu omongin?” tanya Andre saat ia hendak beranjak pergi. Maura menggeleng pelan. Jika bisa, tentu ia akan menyampaikan banyak hal. Tentang kegelisahannya beberapa waktu belakangan. Tentang betapa ia senang bertemu Andre sekarang. Dan tentang harapannya. “Kakakmu kemana? Telepon gih. Jangan kelamaan sendirian di sini.” “Sebentar juga ke sini. Paling gak jauh hunting fotonya.” Andre merasa ada yang berbeda dari tatapan gadis ini. “Masalahmu dengan ayahmu sudah beres kan?” tiba-tiba ia teringat awal mereka memiliki urusan. Maura mengangguk. Masalah perjodohannya memang selesai kan. Ayahnya memang tak lagi menjodohkannya dengan orang lain. Tapi tuan Bimantara senior memintanya untuk segera meresmikan hubungannya dengan Andre. “Kenapa menatapku begitu?” Maura menggeleng. Entah kenapa lidahnya kelu. Laki-laki ini begitu datar. Hingga Maura yakin hanya dia seorang yang berharap akan ada pertemuan kembali setelah ini. Andre mengecek jarum jam di pergelangan tangannya. “Aku ada urusan. Aku tinggal ya.” Dia pergi berlalu begitu saja. Andre tak ingin kehadirannya diketahui kakak dari Maura. Cukuplah ia berurusan dengan gadis itu. Ia tak ingin terlibat lebih jauh dengan segala urusan pribadinya. Masih banyak yang harus dikerjakannya selain mengurusi masalah orang lain yang tak begitu ia kenal. Maura menatap kecewa punggung tegap yang bergerak menjauh itu. Sepertinya, ia salah mengikuti usulan kakaknya untuk jalan-jalan ke kota ini. Bisa-bisa, ia malah tak bisa melupakan laki-laki itu. * Andre membuka laptopnya. Begitu pula dengan Ken yang sudah lebih dulu menghadapi deretan koding di layar monitornya. Mereka ada di apartemen yang disewa Andre untuk mereka tinggali bersama, mengerjakan beberapa project bisnis. “Punya Bimantara sudah beres, Ken?” Andre tiba-tiba ingat project mereka dengan keluarga Bimantara. Keluarga itu memang tidak tahu ada Andre dibalik pergerakan seorang Kenzo. Untuk beberapa alasan, Andre lebih suka menyembunyikan identitasnya. “Okay. Mereka cuma minta satu aplikasi. Sebetulnya sistem mereka perlu dirombak ulang kalau mau aman. Tapi budget mereka segitu, aku gak mau ngerjain.” “Biarkan saja. Kerjakan sesuai harga yang sanggup mereka bayar. Biar mereka tahu risiko.” “Kamu terlibat sama anaknya Bimantara?” “Enggak.” “Padahal cakep juga lho. Cocok sama kamu, Ndre.” “Sok tahu. Kayak pernah kenal perempuan aja.” Ken terbahak. “Gimana gue bisa kenal cewek kalau tiap hari lo suruh ngoding begini.” “Kamu mau pulang Indonesia enggak?” “Enggak lah. Ruwet. Mending di sini. Nanti kalau kamu sudah jadi CEO dan bisa bayar gajiku standar sini baru aku mau pulang.” “Belagu lo.” “Kerjaanmu berisiko semua, Ndre.” “Memang ada kerjaan yang gak berisiko?” Ken mencibir. “Ndre, aku lihat Bang Raka udah go public sama istrinya,” Ken mengalihkan pembicaraan. “Iya.” “Kayaknya otomatis kamu bakal ketahuan juga sebagai Ranuwijaya. Wajah kalian terlalu mirip.” “Emang siapa yang mau notice selagi aku masih di sini?” “Bimantara. Kamu ketemu mereka belum lama ini kan? Gak cuma sama anak gadisnya? Jangan lupa kamu memperkenalkan diri sebagai pacarnya.” “Sial! Kenapa aku gak berpikir sejauh itu.” Ken terbahak. “Tunggu saja bom meledak, Bro. Aku yakin mereka gak akan lepasin peluang bagus mergernya Bimantara dengan Ranuwijaya.” “Maura gak akan sejauh itu mikirnya.” “Anak gadisnya memang polos. Dia gak akan tertarik merger bisnis. Dia minta bantuan kamu kan karena kamu pakai nama Lazuardi. Begitu keluarganya tahu kamu Ranuwijaya, bingo!” Ken menjentikkan dua jarinya. “Jangan berkhayal terlalu jauh.” “Semua project kita berawal dari khayalan, Bro! Berani taruhan enggak?” “Kamu mau kupecat?” Ken kembali terbahak. Dia memang banyak bergantung secara finansial pada sahabatnya itu. Di tengah kondisi perekonomian keluarganya yang tiba-tiba morat-marit setelah ayahnya dituduh korupsi, mana bisa ia melanjutkan kuliahnya di kampusnya yang sekarang jika tanpa bantuan Andre. Andrelah yang menampungnya di apartemennya dan memberinya makan. Bahkan Andre pula yang menampung semua ide gilanya menjadi project yang bernilai bisnis hingga ia memiliki cukup dollar di rekeningnya. * Maura mengaduk spagettinya dengan enggan. Ia memang senang bertemu Andre tadi, tapi itu juga membuatnya gelisah. “Kenapa lagi?” tanya Daffa. Ia bukannya tak tahu apa yang terjadi dengan adiknya. Daffa ada di sana saat laki-laki itu mendekati Maura dan merebahkan punggungnya di sisi adiknya duduk. Daffa juga melihat ekspresi muram Maura saat Andre meninggalkannya sendiri di taman. “Aku sebel.” “Why?” “Masa iya aku suka sama orang secuek dan semenyebalkan itu.” Daffa terkekeh. “Ya gak apa-apa kan. Mau dibantu enggak?” “Enggak ah. Biarin aja. Entar juga lupa sendiri.” “Kalau ternyata gak bisa lupa?” “Jangan gitu dong, Kak.” “Lihat ini,” Daffa menunjukkan gambar Maura yang berhasil ditangkap kameranya saat ia meninggalkan adiknya itu di taman sendirian. “Perhatikan ekspresinya ya. Ini aku ambil sebelum Andre datang,” Daffa menunjukkan fotonya. “Kak Daffa tadi lihat?” Daffa hanya tersenyum lebar. “Tapi bukan Kakak yang bikin dia datang lho. Melainkan Tuhan," Daffa mengedipkan sebelah matanya. "Ini waktu kamu duduk sama dia,” Daffa menunjukkan foto yang lain. Pipi Maura seketika merona. Ada ekspresi berbeda yang tak bisa disembunyikan wajah dan matanya di sana. Terlalu kentara. Bagaimana bisa wajahnya menjadi berbinar seperti itu. “Dan ini sesaat setelah dia pergi,” Daffa menunjukkan foto terakhir. “Apa dia tahu juga, Kak?” Daffa menggeleng. “Kemungkinan besar enggak. Dia orang yang banyak bekerja dengan otak kirinya. Yang dia lihat cuma data logic. Bukan perasaan. Jadi mungkin dia gak akan pernah tahu.” Maura menghela napas. “Kayaknya aku mending gak ketemu dia lagi deh, Kak.” “Besok mau pulang pagi-pagi atau sorean aja?” “Sorean dong. Sesuai tiket pulang. Kita jalan lagi dulu abis check out hotel.” “Siapa tahu kamu berubah pikiran.” “Enggak deh. Rugi dong kita.” “Aku yang rugi, udah bayar hotel dan tiket kita.” Maura tertawa. “Habis ini jalan lagi, Kak? Clubbing?” “Enggak. Aku gak mau ngurus kamu teler.” “Ya jangan minum. Lihat aja.” “Enggak ah. Nongkrong aja kemana, tapi enggak ke tempat begitu.” “Kak Daffa gak asyik.” “Maura.” “Iya, Kakakku sayang. Baru pingin mabok aja udah gak boleh.” “Kamu itu udah mabok tau enggak?” “Apaan?” “Mabok cinta.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN