PENYELAMAT

1446 Kata
Baru saja Gyan hendak bertanya lagi, suara keras memecah udara. BRAAAK! Pintu flat terhentak terbuka menghantam dinding, menimbulkan gema yang memantul ke seluruh ruangan. Refleks, Belle dan Gyan serentak memutar tubuh—dua pistol terarah ke sumber suara. Pria yang menerobos masuk juga sama—menodongkan senjata. Di balik punggungnya, embun yang bergelayut di udara, membuat lorong tampak berkabut. “TUAN! NONA BELLE!” Suara itu serak, parau, dan sangat familiar. Bruno. Napasnya tersengal, lengan kirinya dibalut kain seadanya yang sudah berlumur darah. Pistol masih terangkat di tangan kanan, matanya liar menyapu ruangan mencari ancaman. Begitu mendapati dua orang yang dicarinya berdiri tegak, Bruno menghela lega. Belle dan Gyan juga menurunkan senjata. Embusan napas mereka pecah bersamaan. “Maafkan saya, Tuan. Mereka sangat terlatih. Butuh waktu lebih untuk menghabisi,” ujar Bruno. “Ya, mereka sangat terlatih,” ujar Belle sambil melirik ke arah balkon. “Tapi terlalu jumawa.” “Atau mungkin mereka tidak tau siapa yang dihadapi,” timpal Gyan, terdengar agak menyindir. “Sudah kubilang, mereka di sini bukan untukku!” ketus Belle. “Ini masih gelap Gyan dan kamu sudah tak sabar mengajakku bertengkar!” Gyan mendengus keras. “Kamu belum menjawab pertanyaanku, apa yang sudah kamu lakukan?” tuntut Belle lagi. “Melebur rindu denganmu?” jawab Gyan asal. Belle mendengus kesal. “Lalu apa? Kalau bukan mengincarmu, lantas mereka menargetkanku?” ujar Gyan lagi. “Pertanyaanmu tepat. Tinggal pikirkan jawabannya,” sahut Belle. “Kamu berurusan dengan siapa belakangan ini? Apa yang kamu cari? Atau mungkin siapa. Dan seseorang atau kelompok tertentu membencinya.” “Tanpa mencari gara-gara seperti itu pun, setiap hari ada saja orang yang mau membunuhku, Belle!” “Tidak saat rakyat jelata sepertiku ada bersamamu.” Gyan terdiam. Ya, ia juga tau fakta itu. Hampir tak ada orang tau siapa sosok di balik julukan La Gemma Nera. Belle beralih menatap Bruno. “Apa yang terjadi dengan tanganmu?” “Saya baik-baik saja, Nona,” jawab Bruno. Ia bergegas ke arah balkon yang porak-poranda, sigap memeriksa keadaan “Bagaimana dengan Anda, Tuan? Nona? Apakah kalian terluka?” nada suaranya tajam, menuntut jawaban. “Ya,” jawab Gyan. “Hatiku.” Belle meliriknya kesal. “Kami baik-baik saja, Bruno,” tanggapnya kemudian. “Apa ada yang gugur dari kalian?” “Tidak, Nona.” “Syukurlah.” “Oh, izinkan aku bertanya,” sambar Gyan, masih terdengar sinis. “Apa kamu kembali ke sini sendirian, atau dengan sekompi pengawal yang pandai menyamar dan bersembunyi?” “Aku tidak perlu dikawal!” tegas Belle. Gyan memutar matanya. “Ya, aku lupa, kamu saja cukup untuk menakuti seluruh kota Paris, dan sebagian Eropa.” Rasanya Belle ingin sekali menendang pria itu. Bruno bersimpuh di depan pintu balkon yang rusak, memeriksa dua tubuh di luar. “Keduanya mati, Tuan,” lapornya singkat. “Bukan aku yang membunuh mereka,” tanggap Gyan, terdengar mengeluh. Tentu saja harga dirinya terluka. Diselamatkan perempuan yang dicintainya, di mana seharusnya ia yang melakukan itu, sungguh memalukan! Bruno kembali berdiri, menatap Belle. “Kerja yang bagus, Nona.” Ia memang sama sekali tak tampak terkejut melihat Belle yang sedari tadi memegang senjata—tak pula kelihatan penasaran, seolah sudah tau sejak awal. Melihat sikap Bruno yang begitu tenang, Gyan menatapnya curiga. “Kerja bagus, Nona?” ulangnya, menyindir. “Kau… kau tau, bukan?” suaranya bergetar karena geram. “Kau tau siapa dia!” tuduhnya lagi. Bruno menoleh, keningnya berkerut hingga alisnya saling bertaut. “Maksud Tuan?” “Belle!” suara Gyan meninggi. “Atau aku harus memanggilnya La Gemma Nera?” Seketika Bruno membelalak, membeku di tempat. “Kenapa tidak sekalian kamu umumkan di sosial media?” sinis Belle. “Dasar bod0h!” Tatapan Bruno beralih ke Belle, lalu kembali ke Gyan yang bertolak pinggang. Dalam situasi canggung itu, Bruno mengangguk perlahan, dalam. Bukan pada Gyan, namun ke Belle. Bukan bermaksud membenarkan tuduhan tuannya, tapi seperti memberi penghormatan. Gyan menatap pemandangan itu tak percaya. “Apa-apaan itu?” gumamnya. “Izinkan saya berterima kasih pada Nona Belle, Tuan. Karena tanpanya, saya pasti ikut gugur di Marseille bersama Tuan Besar,” jelas Bruno. Gyan terpaku. Marseille. Nama kota itu mengguncang memorinya. Ia tak mengerti seluruhnya. Tapi dari sikap dan cara Bruno bicara, ia tau kalimat itu bukan basa-basi. “Kau berhutang penjelasan padaku!” tanggapnya dingin. Bruno hanya mengangguk. Gyan menggeser pandangannya, menatap Belle yang mempersiapkan senjata-senjatanya dengan jemari lentik yang bergerak gesit dan tepat, meski flat kecil itu masih temaram tanpa cahaya utama. Untuk pertama kalinya, Gyan akhirnya menyadari jika seluruh hidupnya ternyata dibangun di atas rahasia yang jauh lebih dalam dari yang ia kira. *** Jalan di sekitar apartemen mulai hidup. Belle melirik jam di atas nakas, fajar kian mendekat. Ia lalu menyibak tirai, mendapati semburat pucat di batas cakrawala. “Apa kau bisa membereskan kekacauan di sini?” tanya Belle ke Bruno. “Anda bisa mengandalkan saya, Nona.” Belle mengangguk. Gyan baru hendak bertanya lagi ketika Belle melangkah menuju lemari. Ia membuka pintu, mengambil gaun hitam yang kesederhanaannya justru terlihat mewah. Sebuah mantel krem menyusul keluar, keduanya ia sangkutkan di standing hanger. “Aku harus pergi sekarang,” ucapnya lirih, tapi mantap. Gyan menatap tak percaya. “Pergi? Setelah semua ini? Matahari saja belum muncul, Belle.” Belle tak menjawab. Ia malah meletakkan senjata-senjatanya di dekatnya. “Belle...” lirih Gyan, terdengar frustasi. “Kamu baru datang, love.” Senyum manis terbit di wajah Belle. “Aku sangka kamu akan menyesal setelah tau identitasku.” “Aku justru bersyukur karena kamu tidak menembakku sedari dulu,” sahut Gyan. “Let’s talk. Siapa tau aku bisa membantu. Tugasmu... atau misimu.” Belle terkekeh. “Kamu yang paling tau kalau itu tidak mungkin, Gyan.” Belle menatap pantulan sosoknya di cermin. “Kita saling mencintai saja sudah merupakan kesalahan besar. Seperti... seorang hakim yang jatuh cinta pada terdakwa kasusnya.” “Jadi dugaanku benar? Kamu ke sini untuk berpamitan?” balas Gyan. Ia mendekat, mengambil selimut dari lengan kursi, dan membentangkannya menutupi tubuh Belle. Bruno yang menyimak setiap gerakan pasangan itu langsung beringsut, membawa langkahnya sedikit menjauh, berdiri di dekat pintu, memberi ruang bagi keduanya. Belle melepas bathrobe-nya, lalu melingkarkan kedua tangannya di leher Gyan, tanpa aba-aba menyambar bibir prianya. Gyan menyambut ciuman itu sembari menyelimuti tubuh Belle. “Dengar, situasi kita sulit,” lirih Belle. “Kamu tau... semacam cinta terlarang.” “Apa kamu mau mengatur jadwal temu diam-diam selanjutnya?” balas Gyan. Belle terkekeh. “Aku mencintaimu,” lanjut Gyan. “Soal pertanyaanmu tadi. Aku hanya mencari pembunuh Papa.” Kedua mata Belle menutup, ia menghela napas berat. “Aku tau Papa memintaku untuk tidak menelusuri kematiannya. Memintaku fokus dengan peranku sekarang,” lanjut Gyan. “Tapi, Belle....” “Aku mengerti,” tanggap Belle. “Aku belum bisa membantumu—“ “Tidak perlu!” potong Gyan. “Sungguh tidak perlu, love. Cukup jaga dirimu sendiri, tetaplah hidup. Hubungi aku jika kamu merindukanku.” “Sampai kita lelah?” “Aku menjalani hidup yang melelahkan selama 26 tahun. Kurasa diperpanjang selamanya pun tak akan membuatku terkejut.” “Jangan bicara seperti itu!” “Kamu milikku. Aku milikmu. Cukup ingat itu. Oke?” Belle mengangguk. “Pakai gaunmu, love,” ujar Gyan lagi. Cintanya lanjut mengenakan helaian kelam nan indah itu di balik selimut. Bias lampu kota jatuh di kulitnya, menonjolkan guratan samar di sisi kanan kakinya, tepat di bawah lutut. Luka yang sudah mengering. Gyan membeku. Ingatan menelusup tajam. “Belle?” “Ya?” “Kamu...” suaranya parau, “kamu yang menyelamatkanku saat penculikan itu?” Belle menatapnya dari pantulan cermin, tangannya tak berhenti mengepaskan lekuk gaun di tubuhnya. Ia tersenyum samar—senyum yang mengoyak hati Gyan sekaligus menenangkan. Ia berbalik hadap, mengusap pipi dan surai Gyan. Sentuhan yang sama seperti hari itu. Saat Gyan kira hidupnya akan berakhir di sebuah gudang tua. “Belle....” “Sepertinya aku harus merias wajah di jalan.” Lalu ia mengenakan mantelnya, meletakkan senjatanya di setiap celah pada pakaiannya. “Jangan terluka!” pinta Gyan, terdengar putus asa. Belle melangkah mantap saat menuju pintu. Bruno sudah menunggu di ambang. Begitu Belle keluar, ia menegakkan tubuh, memberi hormat. “Jaga dia, Bruno,” ujar Belle sambil mengenakan penutup wajah. “Kehilangannya bisa membunuhku.” Bruno menunduk kian dalam. “Dengan nyawaku, Nona.” Belle hanya mengangguk, lalu lanjut berjalan tanpa menoleh. Suara hak sepatunya menggema di lorong panjang, perlahan memudar bersama aroma parfum lembut dan sisa mesiu di udara. Gyan berdiri di tengah ruangan yang kini terasa terlalu luas, memandangi pintu yang baru saja tertutup rapat. Di luar, matahari pertama menembus langit Paris—dan bersama cahayanya, Belle sekali lagi menghilang dari hidupnya. “Apa yang harus kulakukan?” bisiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN