Ruangan kerja Bramasta malam itu hanya diterangi cahaya lembut dari lampu meja yang jatuh di atas tumpukan dokumen dan laptop yang masih menyala. Di layar, sederet laporan keuangan dan notulen rapat menunggu direvisi. Namun, sejak tadi malam, pikirannya tak benar-benar tenang. Terlalu banyak hal yang harus dia hadapi dalam waktu bersamaan — perusahaan, keluarga, dan kasus hukum yang mulai menjalar seperti benang kusut. Bram bersandar di kursinya, satu tangan menggulung lengan kemeja abu yang kini sudah kusut di siku, sementara kancing bagian atas dibiarkan terbuka, memperlihatkan sedikit kulit dadanya yang hangat karena udara ruangan yang mulai lembap. Celana bahan abu tua yang ia kenakan, tanpa sabuk, hanya diikat longgar di pinggang, membuat penampilannya jauh dari kesan formal. Tapi pe

