.
.
Dak!
Satu tendangan keras di perut membuat lelaki itu terbungkuk dan jatuh berlutut. Napasnya memburu, tenaganya terkuras tanpa sisa dan tak sanggup meski hanya untuk berdiri sedetik saja, apalagi kabur. Ia terbatuk, lalu saat punggungnya kembali di hantam sebuah balok kayu, darah segar sukses tersembur dari mulutnya.
"A-ampun..."
Melihat musuhnya sudah kelihatan tidak berdaya, Gabriel tersenyum miring. Bertarung menghabisi satu orang hanya membutuhkan waktu kurang dari lima belas menit bagi sang ketua geng Rajawali itu. Apalagi dengan kekuatan yang tak seimbang. Gabriel bahkan tidak mendapatkan luka serius kecuali sudut bibirnya yang sedikit robek karena diserang tiba-tiba tadi.
Sepasang mata cokelat nyaris hitamnya berkilat dalam minimnya pencahayaan di pinggiran jalan yang sepi. Kayu balok yang ia genggam di tangan kiri kini disampirkan ke bahu. Tubuh tegapnya berjongkok menyejajarkan tinggi.
"Ketua lo mana? Takut kalah dia sampe nggak berani dateng sendiri dan harus suruh anak buahnya yang lemah ini?"
Lelaki di depan Gabriel menggeleng saat ditanya demikian. "S—sumpah, gue bukan disuruh Haidar."
"Oh ya?" Gabriel pura-pura terkejut.
"Sumpah..." Lawan bicaranya mengangkat tangan gemetar. Bahkan tangannya terasa kebas sekaligus linu akibat hantaman balok kayu yang menjadi senjata Gabriel malam itu.
"Jadi lo inisiatif nyerang gue sendirian? Tanpa komando atasan lo?" Pertanyaan Gabriel diangguki dengan samar. Ia jadi mendengus geli. "Gede juga nyali lo," desisnya. Tanpa aba-aba apapun, Gabriel melayangkan tinjuan kuat dan berhasil menumbangkan lelaki itu sampai jatuh terkapar, pingsan seketika.
Dengan sekali sentakan udara yang keluar dari rongga dadanya, ia berdiri. Arah pandangannya masih belum lepas dari lelaki yang sudah tidak sadarkan diri di depannya.
Perkelahian ini tidak direncanakan. Tadi saat Gabriel sedang mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, sebuah motor tiba-tiba mencegat dan memecahkan kaca mobilnya menggunakan balok kayu. Lalu saat tahu bahwa pelakunya adalah salah satu anggota Haidar, sang ketua geng anak Pemuda Nasional—ah bukan, Haidar bahkan mengomando geng-geng lain di bawah otoritasnya. Gabriel meradang. Ia terjang tanpa ampun cecunguk itu.
Juga... Apa katanya tadi? Bukan disuruh Haidar? Suatu kemustahilan jika pion catur berani menantang maut dengan langsung melawan raja tanpa ada komando. Cih! Sok pahlawan.
Gabriel lemparkan balok kayu di tangannya ke tubuh lelaki itu. Lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Kemungkinan ringan, lelaki itu mengalami patah hidung, lengan, punggung, dan kaki, proses penyembuhannya pasti lama. Kemungkinan terburuk, mati.
.
.
***
.
.
Setelah melihat arlojinya yang menunjukkan pukul sebelas malam, Gabriel merenggangkan tangan seraya memasuki rumah tiga lantai bernuansa hitam putih yang sudah menjadi kediamannya sejak tujuh belas tahun lalu. Kedatangannya segera disambut oleh gadis cantik berambut sepunggung yang tengah menonton TV dengan sepotong pizza di tangannya. Tampak serius dan tegang.
Melihat pizza yang tak kunjung di makan, Gabriel mendengus samar dan mendekat. Lalu saat sudah dekat, dia langsung melahap pizzanya tiba-tiba, sukses mengagetkan wajah yang lagi serius itu. Shanin namanya, sekarang menggeplak dengan pelototan maut.
"El! Gue pikir valak ih setan lo!"
Gabriel terkekeh sebentar. "Makanya kedip! Nonton Shofia The First aja sampe lupa nafas."
"Elo nggak lihat gue lagi nonton The Conjuring?!"
Gabriel menoleh pada layar televisi, dari musik tegangnya sih memang seperti film hantu. "Berani banget lo nonton horor tengah malem," Gabriel merebut sepenuhnya pizza di tangan Shanin lalu melahapnya kembali.
"Gabut sih sebenernya—pizza gue jangan dihabisin juga, dong!"
Alis songong Gabriel terangkat meledek sambil mengunyah sehingga Shanin cuma bisa mengangkat tangan seperti ingin mencakar cowok itu.
"Ambilin lagi gue nggak mau tau!" gadis itu menunjuk sisa pizza yang masih tersedia setengah lingkaran di atas meja.
"Ambil sendiri."
Jawaban yang membuat Shanin berdecak dan ngambek. Gadis itu kembali fokus menonton. Mungkin lebih memilih untuk menonton film horor daripada harus menjadi korban ketengilan Gabriel.
"Tadi gimana terapinya?" Gabriel mengangkat topik lain.
"Biasa aja."
"Kirain udah bisa lari-larian."
"Jangan ngeledek, deh!"
"Terus kapan bisa jalan lagi?"
Shanin terdiam beberapa saat. "Tahun depan..." balasan itu tidak terdengar yakin.
Gabriel hanya tersenyum tipis, dengusan pelannya terlewat dari pandangan Shanin. Tanpa sadar kedua mata Gabriel sempat menyendu beberapa detik memandangi Shanin sebelum akhirnya memutuskan untuk beranjak ke kamarnya sendiri.
"El ih! Pizza gue ambilin!"
Gabriel malah sengaja membawa kotak pizza itu bersama kepergiannya, membiarkan Shanin menjerit penuh caci maki.
"Dasar nggak tau diri! Kembaran macam apa lo! Beruang rakus! Eeeeell! Balikin pizza gueee!"
Umpatan-umpatan Shanin teredam saat Gabriel menutup pintu kamarnya. Lelaki itu terkekeh ringan. Dia suka mengerjai Shanin, karena dengan begitu gadis itu tidak pendiam lagi. Cukup dua tahun lalu yang menjadi keruntuhan dunianya, saat melihat Shanin terbujur di rumah sakit dengan luka lebam dimana-mana dan pernyataan lumpuh yang terasa merobek jantungnya. Dan cukup enam bulan Shanin diam seperti mayat hidup tanpa pernah mengatakan apapun karena tragedi itu. Sekarang perlahan, semuanya berangsur membaik meski tidak sebaik dulu. Meski Shanin harus menjalani terapi seminggu dua kali untuk kesembuhannya, meski Shanin harus putus sekolah dan terpaksa home schooling. Setidaknya gadis itu berbicara. Setidaknya Shanin sudah bisa galak seperti dulu.
Gabriel meletakkan kotak pizza itu di nakas. Ia melempar jaket hitamnya asal dan langsung menjatuhkan tubuhnya yang lelah ke tempat tidur. Pemuda itu memejam beberapa saat sebelum tangannya mengambil ponsel di saku celana dan mulai mengecek notifikasi.
Tidak ada notifikasi penting selain ramainya grup Rajawali yang sengaja ia bisukan. Gabriel tidak berminat membukanya. Ia memilih membuka roomchat Kaella. Pesan terakhirnya berhenti di Tunggu bentar yang ia kirimkan tadi sore sebelum nekat datang ke rumah cewek itu, tempat dimana Haidar juga bernaung di dalamnya.
Sesaat Gabriel memandangi nama Kaella di kontaknya, merasa lucu. Ini seperti takdir, tetapi bukan takdir baik.
Layar ponselnya berubah menjadi tampilan panggilan masuk. Dari nomor asing.
"ANJING LO!"
Belum ada dua detik ia terima panggilan itu, makian langsung menyentak dari seberang sana. Gabriel tersenyum miring saat mengenali suara itu.
Haidar.
Ah, mungkin dia sudah mendengar kalau suruhannya sedang sekarat di jalanan.
"Wow, selamat malam juga."
"Babi! Lo apain temen gua?!"
"Bersenang-senang. Seperti yang lo harapkan, kan?"
Gabriel sedang membayangkan wajah Haidar mengeras kaku di seberang sana. Entah kenapa bibirnya tertarik ke samping saat mendengar Haidar kembali mengumpat murka.
"Dimana lo sekarang?"
"Mau ngajak kencan?"
"Serius keturunan anjing ya lo. Gue tanya dimana lo sekarang?"
"Mau tau banget?"
Terdengar desisan Haidar yang mengumpat lagi, lalu mengucapkan peringatan yang penuh penekanan. "Tunggu aja, tunggu balasan gue."
Panggilan dimatikan sepihak.
Keheningan di kamar itu hanya diselak oleh dengusan nafas Gabriel yang terdengar sebagai balasan dari peringatan Haidar. Namun tak ayal rahang lelaki itu mengeras juga. Semakin jauh urusannya dengan Haidar maka semakin menggebu pula amarah yang ingin ia lampiaskan.
Karena Haidar bukan hanya sekadar musuh Gabriel. Lelaki itu mengambil andil yang cukup besar di kehidupannya.
.
.
***
.
.
"Haidar bangun astaga mimpi lo udah nyampe azab kubur apa gimana?!" Lengkingan suara Kaella disertai guncangan hebat di bahunya berhasil menyentak kesadaran Haidar ke dunia. Tetapi belum cukup kuat untuk membuat matanya yang baru merem jam empat itu terbuka.
"Ngapain sih lo Kael subuh-subuh begini udah berisik aja? Gue baru tidur sejam elah." Suara serak khas orang bangun tidur membuat Kaella geleng-geleng. Haidar bahkan belum sanggup untuk membuka mata. Membuat Kaella geregetan dan tidak tanggung mengambil segayung air dari kamar mandi.
"Jam satu siang lo bilang subuh? Makan nih subuh!"
Byur!
Air yang tersiram tepat di wajah Haidar membuat sang korban seketika bangkit megap-megap. Mana Haidar enggak pakai baju. Badannya berasa kayak jenazah yang lagi dimandiin.
"Astagfirullahal'adzim kamu ini berdosa banget!" Haidar mengusap mukanya yang basah.
"Elo yang berdosa bikin nyokap gue nunggu, kampret!"
Haidar mengerjap polos tanpa mengerti maksud Kaella.
"Akhir bulan ini kan biasanya lo jadi ojeg anterin Mama belanja bulanan."
"Astaga!" Haidar menepuk dahinya. "Baim lupa." Tubuh yang hanya berbalut boxer hitam selutut itu segera bangkit bersiap ke kamar mandi. Kaella menghela nafas sabar dengan segala tingkah ajaib sepupu sengkleknya itu.
Cewek itu berdecak prihatin pada kondisi kamar Haidar yang lebih mirip tempat pengungsian, berantakan banget. Jaket, kaus hitam, dan celana jeans —yang pasti habis di pakai Haidar semalam, teronggok disana-sini. Terus nanti kalau sudah diomelin, biasanya Haidar yang laknat itu akan menyalahkan Kaella juga dengan berkata 'Kaella sih, padahal cewek tapi enggak pernah mau bantuin beres-beres rumah. Haidar gini-gini suka bantuin Bu Har masak, tan.' Lalu nantinya Kaella ikut diomeli.
Daripada nantinya mendengarkan ceramah, Kaella memutuskan untuk memunguti baju-baju Haidar untuk ditaruh di tempat baju kotor, yang biasanya nanti akan diambil Bu Har —asisten rumah tangga mereka, untuk dicuci.
"Iew!" Satu tangannya menutup hidung seolah pakaian Haidar adalah sampah terbusuk di dunia. Kalau cowok itu lihat, sudah pasti dimaki-maki tuh.
Kaella mengeluarkan dompet, kunci motor, dan juga ponsel yang masih terjejal di saku celana jeans. Sesaat cewek itu kepo dengan isi ponsel Haidar. Jangan-jangan film nganu semua. Kan... Kaella mau minta. HA-HA.
Iseng, Kaella geser lockscreen ponsel itu, yang beruntungnya enggak pakai password. Tetapi belum sempat menilik multimedia, matanya lebih tertarik membuka chat yang belum Haidar baca. Nama pengirimnya: Tai. Ia meringis kasihan pada siapapun di luar sana yang tidak tahu kalau nomornya di beri nama kotoran.
Yang Kaella tahu, Haidar juga memiliki gengnya sendiri, dan di komplotannya ia memiliki peranan penting, setaunya sih ketua, sama seperti Gabriel. Yang artinya jangan heran kalau musuhnya banyak. Jangan heran juga kalau mata-matanya banyak.
Terlanjur lihat, Kaella buka isi pesannya yang berbunyi:
Tai:
Gue tunggu malam ini di Darmawangsa.
Biasanya kalau bukan balapan, hidup Haidar tidak jauh-jauh dari berantem. Kaella berdecak. Dia jadi penasaran dengan nomor kontak si Tai ini.
Sebentar....
Kaella mencoba mengeja deretan dua belas angka yang lagi dilihatnya. Nomornya kayak nggak asing.
Di ulang lagi.
Sekali lagi.
Mata Kaella sampai nyureng.
Ini....
Nomor Gabriel, kan?
Dengan susah payah Kaella meneguk ludah.
"Ngapain lo masih disini? Mau ngintipin keindahan tubuh gue, ya?" Haidar keluar terbelit handuk dari pinggang sampai lututnya. Ada handuk kecil yang ia gunakan untuk menggosok rambut basahnya.
Kaella yang belum sepenuhnya percaya, kini menatap Haidar dengan pandangan menerawang. Cewek itu menunjukkan layar ponsel Haidar. "Ada chat masuk yang belum lo baca," ucapnya dengan nada kosong.
Haidar mendekat dan mengambil alih ponselnya. Ketika membaca pesan itu, bisa Kaella pastikan wajah tegas Haidar yang biasanya jarang diperlihatkan cowok itu di rumah mulai mengeras sampai giginya menggeletuk. Kaella juga bisa merasakan amarah saat Haidar mengumpat kasar.
Dengan memberanikan diri Kaella bertanya, "Itu nomor siapa?"
Mata Haidar yang tidak lagi terlihat konyol menoleh padanya. "Si bangsat. Siapa lagi. Gabriel."
Rasanya dada Kaella kembang kempis tidak bisa bernafas.
"Lo kalau di sekolah diganggu dia, bilang sama gue, Kael. Biar gue gampang habisinnya. Kalau dia deketin lo, bilang gue! Gue patahin tulang lehernya," desis Haidar dengan tangan yang menggenggam erat ponselnya.
Oh God!
Kaella beneran butuh tabung oksigen ini!!!