Dave mengantarku ke kantor dengan mobilnya. Selama perjalanan, kami tidak banyak bicara. Hanya alunan musik dari radio yang menemani keheningan di dalam mobil.
Aku hanya menatap ke jendela dan melihat jalanan Jakarta yang mulai ramai dengan kendaraan dan orang-orang yang mulai memadati jalan.
Sesampainya di depan kantorku, Dave memarkirkan mobilnya. Aku melepas sabuk pengaman dan menoleh ke arahnya.
"Hati-hati di jalan, Dave." Ucapku singkat saat tiba di depan Perusahaan Fernando.
Dave meraih tanganku dan menggenggam tanganku dengan lembut.
"Kamu juga ya. Jangan lupa makan siang, sayang." Ucap Dave mengingatkanku.
Aku mengangguk dan tersenyum tipis. "Ok, kamu juga jangan telat makan, Dave."
Dave mengangguk. "Nanti malam aku usahakan pulang lebih cepat, ya." Janji Dave padaku, meskipun ada nada ragu dalam suaranya.
Aku hanya tersenyum tipis, tidak ingin memberikan harapan palsu pada diriku sendiri. Kemudian aku membuka pintu mobil dan keluar. Sebelum menutup pintu, aku kembali menoleh ke arah Dave. Dave menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
Aku hanya tersenyum sekali lagi, lalu menutup pintu mobil. Dave melambaikan tangannya padaku, sebelum aku berbalik dan berjalan menuju pintu masuk kantor.
Dave memperhatikanku hingga aku menghilang di balik pintu kaca. Dave menghela napas panjang sebelum akhirnya mengendarai mobil menuju kantornya.
Sesampainya di meja kerja, Aku menyalakan komputer dan mulai memeriksa email masuk. Pekerjaanku sudah menumpuk, menunggu untuk diselesaikan. Aku mencoba fokus, mengalihkan pikiran dari masalah hubunganku dengan Dave.
Aku memeriksa satu per satu email yang masuk. Notifikasi pesan masuk dari asisten Pak Richard Fernando, atasanku, muncul di layar. Dia memintaku untuk segera menyelesaikan laporan penjualan bulan lalu. Aku menghela napas. Sepertinya, hari ini akan menjadi hari yang panjang untukku.
Aku mulai mengerjakan laporan, mencoba fokus pada angka-angka dan grafik yang terpampang di layar. Tapi tetap saja, pikiranku melayang ke Dave. Aku bertanya-tanya, apa yang sedang Dave lakukan sekarang? Apakah dia sudah sampai di kantor? Apakah Roger mengomelinya karena terlambat datang?
***
Di dalam mobil, Dave memutar setir dengan kesal. Ia tahu Laura benar. Ia terlalu fokus pada pekerjaan dan melupakan hal yang paling penting dalam hidupnya, yaitu Laura.
Dave ingin membahagiakannya, tapi ia juga tidak ingin mengecewakkan Roger dan timnya. Beban tanggung jawab terasa begitu berat di pundaknya.
Sesampainya di kantor, Dave langsung disambut oleh Roger.
"Bagaimana dengan proposal untuk proyek di Bali, bro? Klien sudah menunggu kabar dari kita loh." Tanya Roger tanpa basa-basi.
Dave mengernyit. "Aku belum sempat menyelesaikannya. Semalam aku..."
"Aku tahu, aku tahu. Masalah Laura, kan? Dave, aku mengerti, tapi kita juga punya tenggat waktu. Kita tidak bisa terus-menerus menunda pekerjaan karena masalah pribadi." Potong Roger, mengangkat tangannya.
Dave terdiam. Kata-kata Roger membuatnya semakin merasa bersalah. Ia tahu Roger benar. Ia harus profesional dan fokus pada pekerjaannya. Tapi di sisi lain, ia juga tidak ingin kehilangan Laura. Dilema ini membuatnya merasa frustrasi. Ia mengacak rambutnya dengan kasar.
"Aku akan usahakan menyelesaikannya hari ini. Tapi bisakah kamu bantu aku dengan beberapa detailnya? Aku benar-benar butuh bantuanmu, bro." Ucap Dave akhirnya.
Roger menepuk bahu Dave. "Tentu saja. Kita ini tim. Kita akan menyelesaikan ini bersama-sama."
Dave tersenyum lega. Setidaknya, ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini. Tapi ia tahu, masalahnya dengan Laura tidak akan selesai dengan mudah. Ia harus membuktikan pada Laura bahwa ia benar-benar serius dengan janjinya. Ia harus mencari cara untuk menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan cintanya.
Dave berusaha fokus pada pekerjaan, sampai ia melupakan jam makan siang. Pikirannya berkecamuk antara proposal Bali yang mendesak dan bayangan wajah kecewa Laura semalam. Ia tenggelam dalam lautan angka dan desain, mencoba mengabaikan bisikan hati yang menyuruhnya untuk menghubungi Laura.
Namun, Roger muncul di depan mejanya dan membuyarkan lamunannya.
"Hei, bro. Kau tidak lupa makan siang, kan?" Tanya Roger, menyunggingkan senyum tipis.
"Ayo bro, kita makan di restoran Padang dekat sini. Kita perlu istirahat sejenak dan mengisi energi." Lanjut Roger.
Dave menghela napas, menyadari bahwa ia benar-benar lupa waktu. "Kau benar, bro. Aku sudah terlalu lama berkutat dengan pekerjaan ini." Jawab Dave sambil merapikan kertas-kertas di mejanya.
"Ayo, kita pergi." Ajak Roger lagi.
Mereka berjalan kaki menuju restoran Padang yang terletak tidak jauh dari kantor. Aroma rempah yang menggoda segera menyambut mereka begitu tiba di sana. Dave memesan nasi rendang dan es teh tawar, sementara Roger memilih nasi ayam pop dan jus alpukat.
"Kau tampak kacau, Dave. Apa masih memikirkan Laura?" Kata Roger setelah memesan makanan.
Dave mengangguk lesu. "Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku ingin membahagiakannya, tapi aku juga tidak ingin mengecewakanmu dan tim. Proposal ini sangat penting untuk perusahaan kita."
Roger mengangguk mengerti. "Aku tahu, Dave. Aku tahu. Tapi kau juga harus ingat, kesehatan mentalmu juga penting. Kau tidak bisa terus-menerus memaksakan diri seperti ini. Laura pasti mengerti jika kau menjelaskan situasinya dengan baik."
"Aku sudah mencoba. Tapi Laura merasa aku tidak memprioritaskannya. Dia merasa aku lebih mencintai pekerjaanku daripada dirinya." Keluh Dave, suaranya terdengar putus asa.
Roger hanya dapat mendengarkan keluh kesah sahabatnya itu dalam diam. Dia tidak ingin terlalu ikut campur masalah pribadi sahabatnya. Setelah keduanya selesai makan siang, mereka berdua pun kembali ke kantor dan melanjutkan pekerjaannya.
***
Di Perusahaan Fernando
Tiba-tiba, notifikasi pesan masuk di ponselku muncul lagi. Kali ini dari Helen Safira, sahabatku.
"Gimana, Laura? Udah baikan sama Dave?"
Aku tersenyum tipis. Helen memang selalu tahu apa yang sedang aku rasakan. Setiap ada masalah, aku selalu curhat padanya, begitupun sebaliknya. Kemudian aku pun membalas pesannya.
"Sudah, Helen." Balasku singkat.
Tidak lama kemudian, Helen membalas pesanku lagi.
"Semangat ya, Laura! Aku yakin, kamu pasti bisa lewatin ini. Jangan lupa, kamu punya aku yang selalu siap dengerin curhatan kamu."
Aku tersenyum lega. Memiliki sahabat seperti Helen memang sangat berarti bagiku. Helen selalu ada untukku, dalam suka maupun duka. Aku sangat berterima kasih, karena aku memiliki sahabat baik seperti Helen di dalam hidupku.
Aku kembali fokus pada pekerjaan. Laporan penjualan sudah hampir selesai. Aku memeriksa kembali angka-angka dan memastikan semuanya sudah benar. Setelah selesai, aku mengirimkan laporan tersebut pada asisten Pak Richard.
Setelah mengirim laporan, aku kembali memeriksa email lain. Kali ini, sebuah notifikasi pesan dari Dave muncul di layar. Aku membuka pesan tersebut dengan ragu.
"Sayang, maaf ya aku nggak bisa jemput kamu pulang malam ini. Hari ini aku sibuk banget. Ada klien penting yang mau ketemu, mungkin pulangnya agak telat. Tapi nanti malam aku usahain pulang lebih cepet ya." Tulis Dave dalam pesannya.
Aku menghela napas. Tentu saja. Dave selalu saja sibuk. Aku mencoba untuk tidak kecewa. Aku tahu, Dave sedang berusaha untuk memperbaiki hubungan kami. Tapi tetap saja, rasa kecewa itu tidak bisa aku hindari. Aku pun membalas pesan Dave dengan singkat.
"Iya, Dave. Nggak apa-apa. Semangat ya kerjanya." Balasku menyemangati.
Aku menutup laptop dan bersandar di kursi. Aku merasa lelah, baik secara fisik maupun mental. Aku membutuhkan istirahat sejenak. Aku memutuskan untuk pergi ke pantry dan membuat secangkir kopi hitam. Mungkin segelas kopi hitam bisa membantuku untuk sedikit lebih rileks.
Saat aku sedang membuat kopi, terdengar pembahasan dari rekan-rekanku di kantor. Kabar jika dalam waktu dekat ini, putra Pak Richard Fernando dari luar negeri akan pulang untuk menggantikan posisi beliau. Aku mencoba mencerna informasi ini. Pak Richard adalah salah satu petinggi di kantor ini, sosok yang disegani dan dihormati. Kehadiran putranya tentu akan membawa perubahan, entah baik atau buruk. Aku tidak terlalu ingin memikirkannya. Pikiranku masih dipenuhi oleh Dave.
Aroma kopi mulai memenuhi ruangan, sedikit menenangkan saraf-sarafku yang tegang. Aku menuangkan kopi ke dalam cangkir dan menyesapnya perlahan. Pahit, tapi cukup untuk membuatku sedikit terjaga.
Aku kembali ke meja kerjaku dan mencoba fokus pada pekerjaan. Tapi obrolan dari rekan-rekanku di pantry tadi terus berputar di kepalaku. Aku membayangkan bagaimana jika putra Pak Richard benar-benar datang dan mengubah semua tatanan di kantor ini. Apakah aku akan terkena dampaknya?
Aku menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran aneh itu. Aku harus fokus pada pekerjaanku yang masih menumpuk dan juga pada hubunganku dengan Dave yang sudah mulai mendingin. Aku tidak bisa terus menerus membiarkan rasa kecewa menggerogoti hatiku. Aku harus melakukan sesuatu.
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benakku. Aku akan membuat kejutan untuk Dave. Aku akan masak makan malam spesial untuknya, lengkap dengan lilin dan bunga. Aku akan menciptakan suasana romantis di dalam apartemen, seperti saat kami masih berpacaran dulu. Mungkin dengan begitu, Dave akan kembali mengingat betapa berarti aku baginya.
Aku tersenyum membayangkan hal itu. Ide ini terdengar bagus. Aku segera mencari resep masakan di internet dan mencatat semua bahan-bahan yang aku butuhkan. Setelah jam kerja berakhir, aku akan langsung pergi ke supermarket dan membeli semua bahan-bahan itu. Aku yakin, Dave akan menyukai kejutan ini.
Aku kembali bersemangat. Aku merasa seperti mendapatkan semangat baru. Mungkin, dengan sedikit usaha yang kulakukan, aku bisa mengembalikan keharmonisan dalam hubunganku dengan Dave. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan berjuang untuk cintaku.
Aku mulai membayangkan ekspresi terkejut dan bahagia di wajah Dave, saat dia melihat semua persiapan yang telah aku lakukanan. Aku yakin, malam ini akan menjadi malam yang indah untuk kami.
Setelah jam pulang kantor berbunyi, Aku bergegas menuju halte bus terdekat. Pikiranku sudah dipenuhi dengan rencana. Aku membayangkan bagaimana reaksi Dave nanti, apakah dia akan merasa senang dan terharu? Aku berusaha untuk tidak terlalu berharap, tapi tetap saja, ada secercah optimisme yang menyala di dalam hatiku.
Bus yang kutunggu akhirnya datang juga. Aku naik dan mencari tempat duduk kosong di dekat jendela. Pemandangan jalanan Jakarta yang padat dan ramai sedikit mengalihkan perhatianku. Gedung-gedung tinggi menjulang di kejauhan, lampu-lampu jalanan mulai menyala, dan orang-orang berdesakan di trotoar. Semua terlihat sibuk dan terburu-buru, seolah-olah waktu adalah sesuatu yang sangat berharga.