Julukan k*****t Durjana memang tepat kayaknya buat seseorang yang sedang rebahan di atas kasurku itu. Enak banget, musam-mesem sambil mainin ponselnya. Sementara diriku yang malang ini sedang berjuang habis-habisan mengerjakan tugas yang ia berikan malam ini.
Hah, jaman apa sekarang? Kok bisa ya, malam pertama pengantin baru dihabiskan dengan pengerjaan tugas seperti ini. Dia bilang katanya ini buat membayar sifat malasku saat kuliah dulu. Padahal bukan malas, cuma Dewa Kerajinan belum hadir dalam hatiku saat itu.
Mana bukunya tebel banget lagi, duh kayaknya sampai pagi pun gak akan beres deh!
Apa aku coba lobi aja ya? Siapa tahu mau sedikit berbaik hati. Ya kan?
"Pak!"
Gak ada jawaban.
"Pak Michael!"
Dia masih anteng malah wajahnya nampak serius sekarang.
Kusentuh kakinya dengan ujung pulpen. Kali aja dia geli, terus nyahut gitu.
Sekali, dua kali, tiga kali.
Ampun deh! Apa tubuhnya terbuat dari lempengan besi ya? Udah keras, kaku gak ada rasa gelinya sama sekali coba!
Kesabaranku habis. Aku berdiri sambil berkacak pinggang di depannya.
"Hei Tuan Mimisan! Apa Anda tidak punya telinga?!" teriakku dengan kekuatan suara bertegangan 12 volt penuh (meski aku gak tahu ukuran ini segimana). Dan yup! Berhasil. Dia mematikan ponselnya dengan tenang. Menyimpannya ke atas kasur lalu bangun dan duduk.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Tatapannya lurus padaku. Omaigat! Kalau sudah begini, apa yang harus aku lakukan? Apa dia akan marah? Membentakku? Atau lebih parah memutilasiku? Apa besok akan ada berita kekejaman KDRT akibat tugas kuliah di malam pertama?
"Apa kamu bilang?" tanyanya setelah sekian lama hanya diam memandangiku.
"I-itu ..."
"Mimisan? Siapa yang mimisan?"
Glek. Mampus!
"Saya ... haha, ah, bukan, tapi Om Wisnu! Haha, ya, begitulah!" ucapku sambil mundur. Dia berjalan ke arahku. Makin dekat, makin dekat hingga aku kehabisan lahan untuk mundur lagi.
"Kamu berisik!" ucapnya tepat di telingaku.
Wush! Hawa panas seketika menyebar di wajahku. Apa ini yang namanya adegan skinship ya? Kek di drama Korea yang sering ditonton si Aufa. Ya, ya, dia paling sering bikin status WA potongan drama Korea pas adegan ginian. Entah apa maksudnya, pengen ngalamin kali ya? Padahal sumpah, Njir! Rasanya kek mau ditelan bulat-bulat!
Lalu ....
Plok!!!
Ha?
Aku melongo saat tahu-tahu sebuah buku nemplok di wajahku.
"Selesaikan atau tidak akan ada nilai!" seru Pak Michael lalu keluar dari kamar.
Krik. Krik. Krik.
Aku menatap prihatin pada buku tebal yang telah kembali ke haribaan pangkuanku.
***
Hari mulai terik saat aku keluar dari kampus. Okeh, aku ke kampus hari ini berkat intimidasi dari Tuan Mimisan itu. Pake acara lapor ke Om Wisnu segala coba? Alhasil dia banjir pujian dari Om tersayang. Katanya suami baiklah, perhatian lah, ck, padahal aslinya menyebalkan.
Kalau saja bisa, aku pengen bilang sama dia, 'nikah itu cari pasangan! Bukan cari muka!' tapi ya gitu, gak berani.
Padahal ke kampus juga cuma nongkrong doang di perpus. Lihatin orang baca, atau pura-pura baca tahunya lagi pacaran. Lama-lama kan ngantuk. Mana si Yayaz gak ke kampus lagi.
Pletak!
"Aduh, woi! Siapa sih? Ngajak ribut di siang hari begini? Keluar lo!!" teriakku saat tahu-tahu ada seseorang yang sukses nimpuk kepalaku dengan cangkang rambutan. Sue emang!
Tapi tidak ada tanda-tanda orang muncul. b*****t! Siapa sih orangnya?
"Kurang ajar! Beraninya cuma bersembunyi! Sini kalau berani, woi! Gue kejar kemana pun Lo pergi!" teriakku lagi.
"Haha, ampun! Ganas amat lo!" Kepala Riaz tiba-tiba muncul dari gang di antara bangunan yang kulalui.
"Halah, ampir aja gue bakar nih tempat! Tahunya elo!"
"Darimana lo?" tanya Riaz sambil ikut berjalan beriringan denganku.
"Pertanyaan b**o! Jelas lah gue dari kampus!" jawabku ketus.
"
Ngapain emang?"
"Molor doang tadi di perpus."
"Gak elit banget lo ngiler di perpus. Tahu gitu mending ikut mohesnya di rumah gue tadi."
"Ogah, ntar lo makan lagi! Gue kan bahenol!"
"Sorry ya, gue gak doyan!"
Aku pura-pura terkejut, "What? Lo gak doyan cewek? Ckck, gue gak nyangka! Lo penyuka terong, Nyet?"
"Gelo ih, kagak lah!" jawab si Riaz sambil melotot.
"Buktinya?"
"Kalo penyuka terong, ngapain gue piara majalah dewasa!"
"Bwahahaha! Ngaku juga Lo!"
"k*****t! Sini Lo!"
Riaz benar-benar marah kayaknya! Dia mengejarku tanpa ampun.
"Woi, Lo kenapa, Yaz? Yayaz!" teriakku sambil terus berlari menghindarinya.
"Sini lo! Biar gue cuci otak lo!"
Dia makin cepat, "Woi Lo kesurupan setan mana, Yaz?!" teriakku lagi sambil tertawa. Sumpah, si Riaz marah beneran keknya!
Tin-tin!
Aku berhenti berlari saat sebuah mobil berhenti bahkan memepet ke arahku yang berjalan di pinggir jalan. Sialnya, trotoar di sini penuh dengan pedagang kaki lima. Alhasil, gak ada ruang buat pejalan kaki.
Kaca mobil terbuka.
"Masuk!" ucap seseorang dari dalam mobil.
"Pak Michael?" tanyaku.
Riaz yang baru nyampe mengejarku juga nampak bingung. Menatapku dan Pak Michael secara bergantian.
"Saya bilang masuk, Clara!"
"Ada apa, Pak?" tanya Riaz.
"Bukan urusan kamu. Clara! Kamu tidak dengar?"
"Hai Momy!" teriak anak kecil dari dalam mobil. Lah, monster kecil itu lagi! Kalau saja gak ada bapaknya, sudah kusumpal mulut kecilnya itu. Seenak jidat aja panggil Momy di muka umum.
Daripada nanti si Moza teriak lagi, aku akhirnya masuk ke dalam mobil. Sebelum berangkat, kubuka kaca jendela mobil, lalu nongol mengarah ke si Riaz yang masih melongo.
"Ntar gue cerita, Yaz!"
Riaz gak ngomong. Dia nampak masih terkejut dan bingung. Kasihan sih, pasti aneh. Tapi mau gimana lagi kan? Siap-siap aja habis ini disidang sama dia.
"Mom itu siapa?" tanya Moza saat aku sudah duduk di sampingnya. Ia nampak sedang asyik memakan ek krim coklat di tangannya.
"Itu temen Momy. Kenapa? Mau kenalan?" jawabku tanpa menoleh padanya sedikit pun.
"Kalau Daddy membolehkan," jawab Moza penuh harap sambil sesekali melirik Pak Michael yang duduk di depan.
"Gak boleh. Dia bukan orang baik," jawab Pak Michael sambil masih fokus nyetir.
"Weh, apa Anda bilang? Riaz orang baik! Jangan percaya sama Daddy-mu!"
"Aku ingin percaya sama Daddy. Tapi Mom temennya kan? Mom juga baik," ucap Moza lalu memakan lagi es krimnya.
"Nah itu kamu tahu," jawabku bangga. Tuh, si Moza aja nyadar kalau aku baik, yekan?
"Mom yang baik, usapin tanganku dong! Lengket!" rengeknya manja.
Halah, nih bocah! Baru ketemu udah bikin repot!
"Nih lap sendiri pake tissue!" ucapku sambil memberinya tissue.
"Susah, Mom!" rengeknya yang bahkan kali ini dengan genangan air mata yang siap terjun ke pipinya yang tembem.
Aku menarik nafas dan menghembuskannya dengan kasar.
"Ya udah, sini!"
Aku terpaksa membersihkan pipi gendutnya dengan tissue. Kadang heran, kenapa sih anak kecil kalau makan es krim pasti belepotan begini?
Kami berhenti di sebuah butik. Wah dari baju yang dipajang aja udah bisa ketebak, harganya pasti melangit. Seketika aku merona. Jangan-jangan aku akan dibelikan baju buat datang ke sebuah acara gitu ya? Kek di film-film romantis itu lho!
"Pak mau kemana?"
"Tunggu bentar, jagain Moza!"
Lah?
"Saya gak ikut masuk, Pak?" tanyaku.
"Ngapain? Kamu mau belanja juga? Udah tungguin dia aja di sini. Terakhir saya ajak ke butik, dia menumpahkan es krimnya di baju pajangan."
Aku melirik Moza yang masih menjilati es krimnya. Ck, kelihatan sih, tipe aktif ya, Bun!
Tapi tak apa lah, kayaknya Pak Michael mau ngasih kejutan deh sama aku. Apa hadiah karena semalam aku berhasil mengerjakan tugas darinya ya?
"Mom, pengen minum!" rengek Moza.
"Kan kamu barusan udah makan es krim, masa haus sih?" tanyaku dengan kesal.
"Kan beda, Mom. Please!"
"Di sini gak ada tempat minum, Moza!"
"Tapi aku haus!"
"Ya udah, tahan bentar, nanti minumnya di rumah aja. Oke?"
"Gak mau, pengen sekarang!"
"Mom gak tahu warung di sini yang jual minuman di mana."
"Aku panggil Daddy ya?"
"Ih, jangan! Kamu mau Mom dimarahi lagi?"
Dasar tuyul gendut tukang ngadu!
"Ya terus gimana? Aku haus!"
"Ck, diam bentar! Mom cari dulu!"
"Eh, jangan!"
Lah?
"Terus kamu mau gimana?" tanyaku gemas. Ih, pengen bilas wajahnya pake air seember deh rasanya.
"Ini, ambil di sini," ucapnya sambil menunjuk tas miliknya.
"Hm, kenapa gak bilang dari tadi, Parjo!" ucapku lalu mengambil tasnya.
"Mom kan gak nanya," jawabnya dengan mulut yang kembali belepotan.
"Ini, minumlah!"
Kulihat Pak Michael sudah keluar dari butik. Ia kembali masuk ke mobil dengan membawa sebuah kado yang sangat cantik. Jadi GR deh!
Tapi kok gak ada tanda-tanda ia akan ngasih ya? Apa mau dibuat kejutan? Ternyata si Tuan Mimisan punya sisi romantis juga ya?
Mobil Pak Michael berhenti di depan sebuah gedung. Kami masuk ke sana. Whoah, sedang ada acara rupanya. Seperti acara ulang tahun!
"Kamu jagain Moza, pastikan dia aman. Oke?" ucap Pak Michael yang disambut anggukan kecil dariku.
Ternyata memang benar. Ini pesta ulang tahun! Gila, itu kan model?! Omaigat! Jadi ini ulang tahun model ternama yang sangat cantik itu? Katherine! Anjir! Demi apa aing bakal ketemu sama idola?!
Oke, ya, ya, jadi si Katherine itu model yang menurut aku keren banget. Udah baik, cantik, penyayang anak-anak pula! Ya, kudengar dia bahkan punya beberapa panti asuhan yang ia urus. Keren kan?
Wah, harus minta tanda tangan nih! Wajib pokoknya! Ku ambil buku catatan kuliahku yang masih kosong melompong. Ini aja deh.
Tapi kenapa Pak Michael datang ke ulang tahunnya? Apa mereka saling kenal?
"Hai, Michael! Thanks udah datang!" sapa Katherine lalu cipika-cipiki dengan Pak Michael.
"Mana mungkin aku tidak datang."
Pak Michael memberikan kado yang tadi dari butik. Njir, jadi kado itu bukan untukku?! Saraf memang! Ngayalku ketinggian!
"Thanks, kamu paling tahu seleraku," ucap Katherine lalu beralih menatapku yang berdiri di belakang Pak Michael sambil menuntun Moza.
"Dia sudah besar," ucap Katherine. Entah kenapa kok aku merasa tatapannya lain saat melihat ke arah Moza.
"Ya. Dia tumbuh dengan baik."
"Kamu pengasuhnya?" tanya Katherine sambil menatap ke arahku. Aku gelagapan. Ternyata ketemu idola begini ya rasanya, sedikit gugup. Tapi seneng juga sih.
"Dia Clara," suara Pak Michael yang jawab.
"Oh, hai Clara! Terimakasih sudah mengurus Moza dengan baik."
"Y-ya," jawabku.
Sumpah demi apa? Aku malam ini dikenalkan sebagai pengasuh si Moza! Sejak kapan status mahasiswi-ku diganti menjadi pengasuh?!