A

1341 Kata
Percaya deh, setelah mengalami berlelah-lelah bersama seabrek kegiatan KKN adalah liburan. Atau seenggaknya dapat sambutan hangat dari keluarga tercinta dengan penuh kerinduan. Well, meski kadang otakku rada sableng (si kunyuk Yayaz yang bilang), tapi aku juga manusia normal. Sedikit merindukan hal-hal berbau manis boleh kali ya? Seperti sambutan keluarga mungkin? Dan kenyataan mengenaskannya adalah keluargaku hanya tersisa sebiji doang. Ya, Om Wisnu, yang sebentar lagi dapat gelar bujang lapuk karena gak kawin-kawin. Kasihan sih, tapi mau gimana lagi. Sehari-hari Om Wisnu hanya bersolek depan komputer dan seabrek kertas dokumen. Masa iya, tebar pesona sama benda kotak berotak cerdas itu? Atau sama tumpukan kertas? Gak kan? Lebih dari kata menyedihkan. Pernah sekali aku singgung masalah nyari jodoh, besoknya aku diskors dari uang jajan. Katanya gak sopan tanya begituan. Gila kan? Aneh memang! Yah, setelah itu aku gak pernah mau nanya lagi. Oke aku akui kalau aku gak bisa hidup tanpa jajan. Jadi aku rela bungkam nanya begituan demi utuhnya nominal uang jajanku setiap hari. Hah, ternyata pegel juga berdiri. Ah, iya, hari ini hari terakhirku di KKN. Kegiatan kami banyak banget selama dua bulan ini. Mulai dari ikut mengajar di sekolah-sekolah dasar sekitar, ikut membantu menyukseskan acara pesta HUT RI (entah kebetulan atau gimana, KKN ini berbarengan dengan bulan Agustus yang bikin biaya KKN makin membengkak), bahkan di antara kami ada yang tiap malam ngisi pengajian anak-anak seusia SD sampai SMP setiap malam. Yah, siapa lagi kalau Indana. Anak itu udah baik, alim pula. Idaman deh pokoknya. Eh, sampai lupa, aku saat ini sedang berdiri di pinggir jalan. Malam ini adalah acara perpisahan dengan warga. Dan aku kebagian penerima tamu. Kami membangun panggung untuk pentas berukuran 3×4 meter. Acaranya diisi dengan hiburan dari anak-anak SD sekitar kampung ini. Ada tarian, nyanyian, bahkan pidato cilik. Acara inti diisi dengan tabligh akbar lalu di tutup sama ramah tamah. Harusnya penerima tamu itu kan duduk paling cantik dengan senyum termanis sedunia biar para tamu merasa senang dan tersambut ya kan? Lah ini? Malah berdiri dengan muka super keki! Senyum juga dipaksakan dengan dorongan sekuat tenaga biar terlihat natural. Mau tahu alasannya? Ekor mataku melirik bocah gendut yang sedang meringkuk di kursi yang seharusnya jadi hakku untuk duduk di sana. Moza. Ya, anak itu lagi. Pak Michael tanpa permisi menyerahkan Moza yang tertidur di pangkuannya padaku. Karena berat dan pegal, akhirnya aku pindahkan saja ke kursi. Beruntung kursinya kursi rotan panjang macam kursi penunggu pasien di klinik. Jadi bocah itu bisa rebahan. "Baik, selanjutnya acara ramah tamah dengan seluruh anggota KKN. Kepada semua teman-teman silakan naik ke panggung." Terdengar pembawa acara memanggil. Aku bingung sumpah! Gimana dengan tuyul gendut ini ya? Kalo ditinggal ada dua keuntungan : 1. Aku bebas jalan tanpa rasa pegal karena ternyata menggendong anak tidur lebih berat ketimbang anak yang gak tidur 2. Aku bisa ikut naik ke atas panggung dan beramah tamah, kali aja dapat yang bening-bening di antara pejabat yang diundang. Yang konon katanya ada anaknya Pak Kades yang masih bujang dan terkenal paling tampan di kampung ini. Tapi kesialan yang akan menimpa kalau aku tinggalkan si gendut ini adalah : 1. Nilaiku melayang dan terancam jadi mahasiswa lagi hingga tahun depan (ini mengerikan) 2. Tuyul gendut ini bisa saja diculik, dan aku jadi tersangka karena lalai (anjir, ini makin seram) 3. Hubunganku dengan Pak Michael makin buruk dan berimbas pada keterlibatan Om Wisnu lalu berujung pada ceramah sepanjang masa dan setiap hari. Hh, setelah menimbang, menelaah, dan me-me lainnya, akhirnya mau tak mau aku menggendong Moza untuk ikut naik ke atas panggung. Mataku mendelik kesal pada Pak Michael yang sedang tersenyum memberikan sambutannya. Tentu saja semuanya langsung tertuju padaku. Si kunyuk Yayaz malah menahan tawa. Sialan! Acara ramah tamah hanya sepuluh menit, hanya berisi ucapan terimakasih dan permintaan maaf dari anggota KKN yang dijawab oleh perwakilan dari satu pejabat setempat dan satu penduduk sekitar. "Wah hebat ya, masih gadis tapi sudah bisa mengendalikan anak-anak. Memang kalian ini sangat cocok menjadi guru teladan. Lihat, anaknya jadi sangat nyaman," ucap Pak Kades setelah acara selesai. Aku masih menggendong anak tuyul ini sambil duduk. Kami dijamu makan di rumah penduduk yang dekat dengan lokasi acara. "Ah, bapak bisa aja, dia tidur nyaman karena capek," jawabku sungkan. Ck, guru teladan apaan, apa mereka gak tahu kalau tanganku sebentar lagi kram? "Iya ih, aku gak nyangka lho, Nov! Ternyata kamu punya sisi keibuan juga ya?" timpal Indana sambil tersenyum. Aku tersenyum garing, "Hehe iya kali." Bibirku manyun seketika tanpa sepengetahuan mereka. "Pertahankan jiwa keibuannya ya, Nov!" ujar Riaz yang kuhadiahi pelototan. Dia malah meleletkan lidah, asem! Kami kembali ke posko untuk beres-beres. Besok kami akan pulang. Bahkan si centil Aufa katanya mau dijemput malam ini sama papinya. "Barang kamu sudah saya simpan di mobil, bawa Moza sekalian!" Aku menoleh, tada ...! Pak Michael sudah berdiri di belakangku. Ia memasukkan tangan ke dalam saku celananya. "Tapi Pak, saya pulangnya kan besok?" "Masuk mobil sekarang, Clara! Bisa dengar kan?" jawab Pak Michael lagi. Hih, kenapa sih mulutnya pahit semua? Manis dikit kek ngajaknya! Aku kan udah bantuin gendong buntelan bulat titisan darah dagingnya yang berat ini! Tanpa menunggu jawaban dariku, Pak Michael pamit ke Yoga yang sedang menggulung tikar spon di ruang tengah. "Yoga, Clara sekalian pulang sama saya. Kebetulan kami satu arah," ucapnya. Bukan satu arah lagi, serumah woy! "Oh, baik, Pak. Terimakasih sudah membimbing kami selama ini," ucap Yoga sambil mengangguk hormat. "Iya, sama-sama. Ya sudah saya berangkat dulu!" "Sorry ya gaes, gue duluan cabut!" ucapku sebagai tanda pamit. "Ya udah sono pergi! Eh, abis ini mau gue kirim tukang pijat? Gue punya kenalan dukun beranak yang bisa memijat badan juga! Mayan kan," ucap Riaz sambil nyengir. Kalau saja tidak ada Pak Michael, rasanya aku ingin menyumpal mulut cabenya dengan b****g si Moza. *** Aku memutar-mutar lengan sambil sedikit memijat bahuku. Pegelnya makin terasa. Anehnya, Moza tak bangun sama sekali saat kupindahkan ke kamarnya. "Sini!" ucap Pak Michael sambil menarik tanganku. "Eh, mau kemana, Pak?" "Berbaringlah!" perintahnya lagi. "Apa?! Anda mau apa?!" tanyaku panik sambil menyilangkan kedua tangan di depan d**a. Tingkatkan kewaspadaan! Alarm bahaya mulai berbunyi di otakku. "Ck, punggungmu pegal kan?" Aku melongo, lalu mengangguk kaku. "Makanya berbaring saja! Saya akan mengobatinya!" "Oh, gitu toh, bilang dari tadi dong, Pak!" jawabku. Lah, siapa yang gak curiga coba? Narik ke kamar lalu nyuruh berbaring? Apalagi kalau bukan ngajak ehem-ehem kan? Entah otakku aja yang sedikit err... m***m! Tapi seriusan deh, semua wanita kalau di posisiku pasti berpikiran sama! Aku menurut berbaring dengan posisi telungkup. "Buka bajunya!" "Ha? Kenapa dibuka baju? Anda mencurigakan sekali!" "Mencurigakan apanya? Ayo buka bajumu!" Aku beringsut bangun dan mundur. "Jangan, Pak! Saya mohon!" Pak Michael menyeringai, ia malah mendekat dan menarik pinggangku merapat padanya. "Buka bajumu, Clara!" bisiknya dengan suara berat. "Pak nyebut, Pak! Tolong jangan lakukan khilaf yang terasa nikmat itu! Sumpah, saya belum siap! Saya mau melakukannya dengan orang yang saya ci-hmph!" Gila, anjir! Pak Michael menciumku, menyesap dan menikmati bibirku atas bawah bergantian. But without tongue! Meski begitu, berani dikutuk jadi kaya raya, aku jamin, ini ciuman terwow dari yang kualami (iyalah, ciuman pertamaku dilakukan dengan Pak Michael saat pertama bertemu). "Khilaf yang seperti ini maksudmu?" tanya Pak Michael setelah menyudahi aksi heroiknya. Aku megap-megap. Nafasku memburu. "Ja-jangan, Pak!" Tetiba Pak Michael tertawa geli, "Saya jadi curiga, sebenarnya yang m***m itu kamu, bukan saya!" "A-apa?" "Coba kamu pikir buat apa saya nyuruh buka baju?" Glek, kok nelen ludah aja berasa seret ya? "Bu-buat gituan kan?" "Ck, gimana caranya saya ngolesin balsem ini ke bahu kamu? Kalau bajumu masih menempel? Memangnya balsem dioles di atas baju? Kenapa kamu berpikir sangat jauh?" Tik-tok Tik-tok Njir, kenapa tidak terpikir? Please! Aku malu! Detak jarum jam bahkan serasa sedang menertawakan! "Ta-tapi kenapa Anda mencium saya tadi?" tanyaku gak mau kalah. Enak aja dibilang m***m! "Saya hanya memberi contoh khilaf yang terasa nikmat. Itu baru pembukaan! Ah, atau kamu mau contoh klimak khilaf yang nikmat itu?" Aku menggeleng cepat, busyet deh, berurusan sama daddy beranak satu penuh resiko ternyata!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN