"Pokoknya saya janji akan bantu kamu sampai lulus kuliah. Asal kamu mau bekerjasama dengan saya."
Aku masih diam. Agak shock sih. Begitu amat ya niatnya? Tapi gak sepenuhnya nyalahin Pak Michael juga, aku sendiri malah niatnya emang buat mendapatkan nilai kan?
Mungkin aku sedikit goyah saat melihat Om Wisnu dan Pak Leo yang nampak serius menyikapi pernikahan ini. Meski masih siri, tapi keduanya sepakat untuk menikahkan kami secara legal.
Tapi begitu mendengar motif Pak Michael yang sebenarnya sih, aku juga balik lagi ke tujuan awalku. Enak saja aku harus bertahan dan memperjuangkan pernikahan ini sendirian! Gak mau rugi aku mah! Emangnya aku cewek-cewek sok tegar di sinetron favorit emak-emak? Yang ujungnya mewek lagi kan? Ogah!
Lagipula aku masih baik hati kalau harus bersikap lemah dan mewek-mewek, ntar gimana kalau endingnya samaan kek sinetron yang bikin hati bengek itu? Lakinya kalau gak ketabrak terus cacat, struk, mati atau dipenjara! Duh, aku masih berprikesinetronan lah, kasihan kalau Pak Michael berakhir se-tragis itu. Gak lah!
"Oke, deal. Jadi pernikahan ini mungkin akan berakhir saat saya dan Anda mendapatkan tujuan kita masing-masing. Begitu?"
"Ya tergantung."
"Maksudnya?"
"Tergantung kamu. Kalau nanti saya kembali bersama dengan mantan istri saya. Atau saya menemukan ibu kandung Moza dan menikahinya, kalau kamu masih mau jadi istri simpanan saya juga gak masalah. Lagipula kamu cukup lumayan," ucapnya sambil memicingkan mata. Tatapannya udah mirip sinar laser yang sedang memeriksa sekujur tubuh. Sial, tatapannya tertuju pada bagian dadaku.
"Anda lihat apa?!" tanyaku sengit dengan kedua tangan menyilang di depan d**a.
"Ck, kecil aja pake dihalangin! Saya udah lihat kok," ucapnya sambil berdecak tak berselera.
"Enak aja kecil! Kalau kecil mana mungkin saya pakai bra!" ucapku tak mau kalah. Sialan, dia menghina asetku!
"Emang kecil kok, tapi cukup lumayan lah!"
"Apa?! Cukup lumayan?! Jangan pura-pura, Pak! Bilang saja saya tuh cakep! Ukuran aset saya juga proporsional! Inget ya Pak, proporsional! Jadi sesuai dengan tinggi dan berat badan saya. Sayang kan mau lepasin saya?"
"Kamu cakep tapi nyablak! Mulutnya tanpa rem. Saya gak suka."
"Dih, Bapak gak sadar ya? Kan Anda lebih parah? Ngatain saya seenaknya."
"Ck, saya ketularan sama kamu. Nyablaknya kamu bisa nular ternyata."
"Heleh, terus Bapak maunya apa?"
"Ya setiap pria di dunia ini, gak akan ada yang menolak jika punya istri lebih dari satu. Kalau saya bisa punya istri lagi selain kamu, why not?"
"Ogah, saya gak mau. Semuanya balik lagi ke tujuan awal. Saya lulus kuliah, Anda ketemu sama mantan istri Anda atau ketemu sama emaknya Moza -yang entah siapa- maka saat itu pernikahan ini selesai."
Pak Michael mengangguk, "Tapi sebelum kita mencapai tujuan, kamu harus tetap menjalankan kewajiban mengurus Moza sebagaimana saya yang akan tetap menunaikan kewajiban nafkahin kamu sebagai suami."
"Oh, oke. Siapa takut! Saya juga minta syarat."
"Syarat apa?"
"Anda tahu kan, saya ini masih muda. Saya juga punya impian dan cita-cita. Jadi saya tentu harus mencari calon pendamping hidup saya dengan benar. Biar nanti pas kita pisah, kami bisa langsung nikah."
"Kami?" tanya Pak Michael sambil mengerutkan keningnya.
"Iya, kami. Saya dan calon suami saya tentu saja."
"Emang sudah ada?"
"Kan baru mau cari, Pak!"
"Yakin akan ada yang mau nikahin kamu?"
"Pastilah! Saya kan cantik. Pinter juga!"
"Pintar ya? Ya sih, saking pintarnya kamu rela mengejar nilaimu yang kurang dengan minta tolong pada dukun t***l itu!"
"Apa?!"
Aku melongo. Sumpah! Kok dia tahu?!
"Kamu kaget kenapa saya tahu?"
"Ck, bukan kaget! Saya cuma terkejut. Jangan-jangan Anda malah pelanggan setianya ya? Ah, iya bener tuh! Langganan buat pelet cewek-cewek ya? Atau langganan biar dagangannya laris? Atau langganan buat memperbesar Mr.P?! Oh no, sepertinya iya! Saya denger nih ya, Mbah Darsono berhasil menyulap para pria beraset minimalis menjadi the giant! Keren kan? Hayo lho, ngaku aja, Pak?"
Pak Michael mendelik, "Hih, apaan sih kamu?"
"Ck, gak usah malu! Ngaku aja. Tenang, Pak. Rahasia aman tersegel, oke?" ucapku sambil memasang mulut terkatup rapat dan menambahkannya dengan gerakan mengunci.
"Ngaco! Punya saya besar dari sononya, kok!"
"Benarkah? Ah, jangan-jangan beneran pake obat gituan ya?"
"Apa sih kamu? Enggak! Buktinya banyak wanita yang merasa puas kok."
Aku sedikit bergidik, "Ih, berarti Anda bercocok tanam di mana-mana ya? Ngeri saya!"
"Jangan pura-pura polos! Saya yakin, wanita seperti kamu, pasti pernah mencoba main lebih jauh dengan pria kan?"
Anjir! Skakmate! Bahaya! Obrolan mulai melewati batas jalan tol dan sedang menuju gerbang tingkat waspada menjadi awas!
Tapi kalau aku bilang belum pernah, ntar kelihatan begonya kan? Dikira cupu dan gak laku gimana?
Pak Michael tertawa mengejek, "Haha, kamu belum pernah pacaran ya? Kasihan amat! Ngebet pengen cari calon suami! Udah segede gini belum pernah pacaran!"
"Siapa bilang?" Duh, kok jadi bahas ginian ya? Kan aku kalah kalau bahas pacaran! Sumpah, belum pernah sejauh itu. Takut bunting duluan kan berabe! Bisa dipecat jadi ponakan Om Wisnu aku! Lalu luntang-lantung gak jelas di jalanan!
"Hayo, ngaku kamu! Gak laku kan? Iya sih, mulutnya kayak baskom rombeng begitu. Mana ada pria yang tahan sama ocehan kamu yang kayak jalan kereta api itu?"
"Enak saja! Banyak kok yang suka sama saya! Buktinya banyak surat kaleng waktu duduk di kelas 4 SD!"
"Apa?! Haha, apa yang mesti dibanggakan dari dapat surat kaleng di usia kelas 4 SD? Harusnya kamu tuh bersyukur saya nikahin. Daripada nanti jadi jomblo lumutan? Gak enak kan?"
Oke, oke. Tarik nafas, hempaskan! Tarik nafas, hempaskan! Harga diriku mulai terusik.
"Denger ya, Pak! Saya sudah pacaran. Yah, sering malah. Bahkan kami pernah berhubungan sangat jauh. Ya, jauh banget melebihi jauhnya negara api ke negara air dalam film The Legend Of Ang!"
"Masa sih? Kok kamu masih oon?"
"Saya gak oon! Kalau saya belum punya pengalaman, mana mungkin saya berani mencium Anda waktu itu! Padahal kita baru bertemu. Ya kan? Itu menandakan saya sudah berpengalaman! Yah, sama orang tak dikenal saja saya seberani itu. Apalagi sama pacar. Ya kan?"
Pak Michael menaikkan satu alisnya, "Benarkah? Kalau begitu, ayo beri saya bukti nyata!"
"Bukti apalagi sih, Pak?"
"Bukti kalau kamu memang seliar itu."
Pak Michael mendekat, matanya menyeringai, "Malam ini juga tidak apa-apa. Kebetulan saya sudah lama tidak memiliki pacar."
Glek, sial! Aku terjebak omonganku sendiri.
"Kamu takut?"
"Ti-tidak! Siapa takut! Ayo maju kalau berani!"
Mulut bicara begitu, tapi hati mah sudah ketar-ketir. Berasa bentar lagi terjadi serangan meteor!
Pak Michael makin mendekat, hingga jarak kami habis tak tersisa. Mulut dan hidungnya mulai mengendus pipiku lalu perlahan turun ke rahang menuju leherku.
Alarm bahaya terus berbunyi, meski tidak bisa dipungkiri apa yang dilakukannya membuat semua imajinasi liarku bangkit dari alam kuburnya (meski sebenarnya sering bangun juga pas nonton video esek-esek yang berkali aku janji gak nonton lagi tapi malah kembali ngintip dikit-dikit).
Mikir ayo mikir!
"Tapi saya lagi datang bulan. Anda berani lanjut?"
Entah darimana pikiran itu datang. Hingga akhirnya Pak Michael berhenti dan berdecak kesal.
Huft, malam ini aku selamat.