Tak ada satupun di dunia ini yang bisa menjabarkan rasa luar biasa ini ketika bertemu denganmu, mungkin jutaan bunga bertaburan di tamanpun belum cukup untuk mendeskripsikan indah dirimu di antara mereka.
Rasa luar biasa ini lebih dalam dari yang kau mengerti, bila saja aku mampu mengajakmu menyelami dalamnya isi hatiku mungkin saja kamu sudah tahu seberapa besarnya rasa pertama yang tercipta. Hanya untukmu dan hanya padamu aku melakukan banyak hal mustahil.
***
“Ada apa?” tanya Rafael.
“Nggak ada, mas” sahut Nia kalang kabut.
Nia jadi kikuk sendiri setelah ketahuan menatap Rafael selama itu tadi, ia benar-benar lupa kalau Rafael memiliki reflek yang lebih cepat darinya. Nia memalingkan wajah pada ibunya yang masih terlelap tidur, tak tahu lagi harus mengataka apa di depan Rafael.
“Aku udah pesankan makanan, kamu tunggu aja sepuluh menut lagi pasti sampai” kata Rafael, ia memasukkan ponsel ke dalam saku.
“Hemm baiklah terima kasih, aku ke kamar mandi sekarang. Mas Rafa boleh meninggalkan kami, makasih mas udah mau bantu aku jaga ibu hari ini” jawab Nia.
Rafael mengangguk pelan, Nia segera pergi ke kamar mandi dan membersihkan diri. Ia bisa lebih lega karena ibunya sudah terlelap sejak ia belum datang, ibunya biasa akan tidur dua hingga tiga jam setiap sore sebelum bangun untuk makan malam.
Nia menghabiskan sedikit lama di kamar mandi, sejenak ketika ia membasuh wajah tiba-tiba ingatan mengenai bentuk mata Rafael yang begitu mirip dengan seseorang yang ia tahu. Nia kembali membasukh wajahnya perlahan, tak ingin ada keringat atau debu yang masih menempel pada tubuhnya.
‘Nggak mungkin kan, itu cuma kebetulan aja matanya mirip. Toh nggak hanya satu orang yang punya bentuk mata seperti itu’ gumam Nia lagi.
Tak lebih dari sepuluh menit ia menghabiskan waktu di kamar mandi, Nia kembali ke ruangan ibunya di rawat dan betapa terkejut Nia ketika ia melihat Rafael masih duduk di kursi samping tempat tidur.
“Mas? Kok masih disini?” tanya Nia tak percaya.
“Aku nggak tega ninggalin ibu sendiri nggak ada yang jaga, jadi aku nunggu kamu sampe selesai mandi” jawab Rafael, lelaki itu berdiri menatap wajah segar Nia.
“Uh, mas boleh pulang sekarang. Aku akan jaga ibu sampe besok pagi” kata Nia sedikit malu-malu.
“Ini makanan pesanan sudah datang, makanlah dengan ibumu nanti kalo beliau sudah bangun” kata Rafael, ia menyerahkan dua kotak makan malam untuk Nia dan ibunya.
“Beristirahatlah temani ibumu, kalau ada apa-apa telpon saja ya” pesan Rafael.
“Baik mas” sahut Nia.
Rafael berpamitan untuk pulang walau sebenarnya ia tak mau pulang saat ini, ia masih ingin bersama dengan Nia sepanjang hari walau harus melupakan pekerjaannya. Namun sayangnya Rafael tak bisa menolak panggilan Hans untuk pergi ke villa dimana Ellaine berada saat ini.
Rafael menatap dua orang lelaki yang duduk tak jauh dari ruangan ibu Nia di rawat, lelaki itu memberikan kode pada mereka selagi ia meninggalkan ruangan tempat Nia tinggal. Dua dari empat lelaki anak buah Rafael menghampiri tuannya yang sepertinya sudah tergopoh-gopoh setengah berlarian.
“Ada apa tuan muda?” tanya Udin.
“Kalian tetap berjaga disini, aku akan kembali besok pagi” kata Rafael cepat.
“Tuan, saya mendengar villa tempat nona Ellaine tinggal di kepung oleh bawahan Rian. Apa tuan akan pergi kesana malam ini juga?” tanya pengawal satunya.
Rafael berhenti sejenak, ia sama sekali tak mendengar hal ini dari Hans maupun Bryan sebelumnya. Keringat dingin di dahi Rafael menetes perlahan, ia tak menyangka bahwa anak buah Rian akan menemukan tempat persembunyian kekasih Andre itu.
“Tuan?” panggil pengawal di sampingnya.
“Aku akan kembali besok pagi atau secepatnya, tolong pastikan tidak ada seseorang atau anak buah Rian yang mendekati gadisku” ucap Rafael dengan nada penuh gemetar.
“Baik tuan, saya akan mengirimkan regu penyelamat mengikuti anda” kata Udin tak kalah serius.
“Bawa juga beberapa lagi untuk berjaga disini, aku nggak akan pernah memaafkanmu kalau sampai ada luka gores di tubuh gadisku” ujar Rafael.
“Baik tuan” sahut keduanya.
Rafael segera meninggalkan pengawal setianya menuju mobil Hans yang terparkir di depan halaman rumah sakit, jam sudah menunjukkan pukul enam sore dan Rafael benar-benar mengutuk jalanan macet yang akan menghadang mereka menuju villa.
“Kau masih disana sampai larut, Rafael” sapa Hans ketika Rafael masuk ke dalam mobilnya.
“Keadaannya darurat, huh?” sahut Rafael, ia cepat-cepat memakai sabuk pengaman.
“Perjalanan akan sangat menegangkan kali ini, aku akan ngebut dan pastikan nggak ada satupun manusia bawahan Rian yang mengejar kita”
“Kau takut semua ini hanya jebakan mereka, Hans?” tanya Rafael.
“Hanya spekulasi tak berdasar, semua bawahan Bryan sudah tertangkap di Italia. Aku kehilangan kontak dengan Andre maupun Rodd, aku nggak bisa memprediksi apa yang terjadi selanjutnya pada Ellaine bila kita terus menerus lengah seperti ini” kata Hans, ia mulai mengemudikan mobilnya agak kencang.
“Semoga mereka masih belum sampai sebelum kita sampai” kata Rafael.
Hans melirik wajah Rafael yang sedikit muram, “Maaf aku mengacaukan kencan malammu dengan Nia, aku tahu kau berat meninggalkannya tapi..”
“Aku sudah menempatkan empat pengawal di sekeliling ruangan itu, aku mengerahkan lebih dari lima belas bawahanku untuk mengawal kita. Jangan khawatirkan apapun dan fokuslah untuk keselamatan Ellaine maupun semua pegawaimu di villa” kata Rafael penuh ketegasan.
Hans tersenyum lega, meskipun Rafael tak pernah mengatakannya namun Hans paham betul Rafael pula sangat khawatir dengan Ellaine sang sahabat. Hans mengemudikan mobilnya benar-benar amat kencang, ia bahkan melewati beberapa jalan pintas yang jarang sekali di lewati oleh Hans hanya demi menghindari macet.
***
“Nduk?” panggil ibu Nia.
“Iya? Ibu mau air putih?” tanya Nia, ia mengusap mulut ibunya dengan tisu.
“Enggak nduk, ibu mau tanya dimana nak Rafael?” tanya ibunya, ia menyuapkan satu sendok nasi tim jagung lagi ke mulut.
“Oh mas Rafael udah pulang, ada apa memangnya bu?”
Ibu Nia sedikit ragu menceritakannya, “Ibu yakin deh kayaknya nak Rafael bekerja nggak jauh dari sini, dia langsung tahu dimana ibu di rawat dan juga dia yang menyiapkan semua peralatan ini”
Nia melihat semua peralatan kedokteran yang di tunjuk oleh ibunya, “Oh kalo soal itu teman mas Rafael juga kerja disini bu, atasanku nona Ellaine juga pemilik rumah sakit ini jadi wajar saja mas Rafael langsung tahu dimana tempat ibu di rawat” kata Nia, ia menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut.
“Oh jadi begitu ya, kamu nggak tahu nduk nak Rafael kerja dimana?” tanya ibunya.
Nia menggeleng pelan, “Dia nggak pernah kasih tahu aku dimana dia kerja, tapi dimanapun kerjanya Nia yakin dia pasti punya jabatan bagus”
“Benar itu, nduk?”
“Nia nggak yakin sih bu soalnya setahu Nia mas Rafael punya banyak waktu untuk main-main, Nia jadi nggak yakin kalo mas Rafael bakal bekerja dengan baik di tempatnya” kata Nia.
“Hahaha, ya namanya masih muda kan nduk? Apalagi dia bilang ibu dan ayahnya di Amerika, ibu yakin dia pasti punya banyak pekerjaan melebihi Nia” kata ibunya lagi.
“Yah meskipun begitu, dia sudah memberikan banyak waktunya untuk menjaga ibu” gumam Nia sangat pelan.
“Ibu seneng kamu kenal sama orang sebaik nak Rafael, di jaman sekarang ini ibu sedikit trekejut melihat ada orang baik seperti nak Rafael yang mau bantu kita tanpa imbalan apapun” kata ibunya lemah.
Nia segera berdiri membantu ibunya untuk bersandar di bantal, “Dia memang baik bu, hehe”
“Ibu yakin orang tuanya pasti bangga punya anak lelaki yang berhati baik seperti nak Rafael, walaupun anak orang kaya tapi dia rendah hati”
Nia mulai manyun mendengar ibunya terus menerus memuji Rafael, “Ibu, Nia udah dengar ibu berkali-kali muji dia loh”
“Hahaha ibu seneng banget nduk kalo ketemu orang baik, siapapun itu orangnya” kata ibunya lemah.
“Nia punya banyak temen yang baik hati, nanti deh kapan-kapan kita adakan acara makan kayak waktu itu lagi. Nia bakal undang lebih banyak orang untuk makan malam sama kita” janji Nia.
“Hahaha ibu nggak sabar lagi ketemu banyak temen Nia yang baik-baik, pasti seneng banget kalo kita bisa makan dan bercanda dengan banyak orang ya nduk” kata ibunya makin lemah dan di setujui oleh Nia, tak lama kemudian ibunya tertidur kembali akibat obat yang di konsumsi.
Nia cekatan membersihkan makanan ibunya yang masih tersisa, ia melanjutkan makan malam yang di belikan oleh Rafael. Bila di ingat lagi memang banyak sekali jasa Rafael yang tak terhitung ketika membantunya, walaupun Nia tak sekalipun meminta namun Rafael selalu sigap menawarkan diri sepenuh hati.
Ia keluar melihat sekitar taman rumah sakit yang terletak tepat di depan ruangan ibunya, jam menunjukkan pukul tujuh malam dan masih banyak sekali keluarga pasien yang menjeguk anggota keluarga mereka. Nia sengaja ingin berlama-lama di luar sebelum ia masuk kembali dan menemani ibunya tidur, di malam ini entah mengapa hatinya terus mengatakan ia harus berjalan-jalan keluar ruangan.
Nia berjalan pelan ke tengah taman, ia ingat betul saat itu ia menerima bingkisan paket dari lelaki misterius yang membawanya kemari. Nia duduk di kursi dimana lelaki misterius yang ia rindukan memberikan kotak perlengkapan berisi humidifier dan barang yang amat di butuhkan oleh Nia.
Ia menatap sinar rembulan yang kelihatan sangat terang benderang hari ini, entah mengapa awan selalu terlihat menutupi sinar rembulan yang sangat indah itu. Hati Nia terasa kacau seketika, ia merasakan hal yang tak biasa pada dadanya.
“Nyeri banget, ada apa ini?” gumam Nia, ia memegangi dadanya yang berdenyut amat kencang.
Udin dan dua orang berjaga di sekitar Nia sudah ancang-ancang akan menyelamatkan Nia bila saja gadis itu merasa tak enak badan, namun Nia menetralkan posisi duduknya seperti sedia kala. Udin bernapas lega ketika Nia tak mengalami masalah kesehatan atau apapun itu.
“Hei pak, gadis itu apa baik-baik saja?” tanya bawahannya.
“Amati saja dia, jangan sampai lengah” kata Udin.
“Baiklah, sebentar lagi lima orang bantuan pengawal akan datang pak”
“Perintahkan dua orang berjaga di depan pintu, satu orang berjaga di lorong masuk bangsal lalu dua orang berjaga di ujung koridor menuju bangsal lain”
“Siap pak” jawab lelaki itu.
“Empat orang berjaga di sekitar ruangannya menurutku sudah sangat cukup, kalian tetap waspada saja. Dan jangan alihkan pandanganmu pada hal lain, kau dengar tuan muda menyebut dia gadisnya sampai dua kali bukan?” kata Udin lagi.
“Baik pak, siap”
“Satu lagi, berhentilah memanggilku ‘pak’, aku nggak setua itu” omel Udin membuat pengawal Rafael lainnya tertawa
Sedangkan di lain tempat, Rafael melihat banyaknya mobil asing yang tengah melaju kencang mendahului mobil Hans. Mereka seakan mengetahui siapa yang ada di dalam mobil ini, Hans terlihat sangat tenang menjalankan mobilnya sedangkan Rafael sedikit tertekan karena mobil besar hitam di depan mereka seakan menghadang laju Hans untuk segera sampai villa.
“Hans, biarkan aku yang menggantikanmu” pinta Rafael sangat kesal, ia tahu mereka tengah di buntuti..