Ayo kita berteman

1169 Kata
Janna segera menyambar tas nya dan bergegas memakai sepatu karena ia merasa dirinya sudah terlambat untuk berangkat bekerja. Tadi malam ia tak bisa tidur, akhirnya menghabiskan waktu untuk bersujud dan memohon ampun dalam tahajudnya. Hatinya terus menerus gelisah, kehadiran Jeffry ternyata memukul mentalnya. Setelah mengeluarkan isi hatinya dan berdoa untuk diberikan jalan keluar yang terbaik, pagi ini hati Janna merasa tenang dan lega. Ia baru menyadari bahwa Jeffry telah menunggunya diruang tamu sambil membaca. “Kamu sudah siap?” tanya Jeffry seolah menjadi pertanyaan template untuk dirinya saat bertemu Janna. Janna pun hanya mengangguk dan berjalan terburu-buru memasuki mobil, sedangkan Jeffry bertugas untuk membuka dan mengunci pintu rumah mereka. Lagi-lagi tak ada pembicaraan selama perjalanan, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba kesunyian itu terganggu dengan dering handphone Jeffry. Panggilan itu dari Sarita. Karena menghubungkannya ke bluetooth, Janna jadi mendengar percakapan suami dan kekasihnya itu. “Assalamualaikum,” suara Sarita terdengar begitu lembut dan menenangkan. “Waalaikumsalam, sayang …” jawab Jeffry tanpa sungkan. “Dimana kamu mas?” tanya Sarita lagi. “Aku sedang dijalan menuju kantor bersama Janna, hari ini adalah hari pertamaku mulai bekerja di kantor papa. Sedang apa kamu? Mengajar pukul berapa hari ini?” tanya Jeffry dengan suara lembut. “Sebentar lagi … ya sudah kalau begitu, hati-hati dijalan ya mas … sampaikan salamku pada mbak Janna. Jika ada waktu luang, hubungi aku ya,” pinta Sarita. Tak lama komunikasi itu pun terputus. Jeffry mencoba mencuri pandang pada Janna untuk melihat reaksinya, tapi perempuan itu hanya diam saja tak bergeming dan tetap menolehkan wajahnya keluar jendela seolah tak mendengar apa-apa. “Janna …” “Waalaikumsalam … mas mau menyampaikan salam dari Sarita bukan?” potong Janna cepat tanpa mengalihkan pandangannya. Jeffry kembali diam, sebenarnya bukan itu yang ingin ia tanyakan tapi Janna sudah bereaksi lebih dulu sehingga Jeffry memutuskan untuk diam. “Mas,” panggil Janna tiba-tiba saat mereka berdua hening cukup lama. “Mulai hari ini, jika Sarita menghubungi bolehkah kamu mengangkatnya secara langsung sehingga aku tak perlu mendengarkan pembicaraan kalian,” pinta Janna perlahan. “Maafkan aku,” jawab Jeffry menyadari bahwa sikapnya menyakiti dan membuat Janna merasa tak nyaman. Janna hanya diam tak menjawab permintaan maaf Jeffry. Saat ini hatinya sudah ikhlas dan tak lagi berharap apapun dari suaminya. Walau ia merasa lega dan ikhlas, tapi rasa sakit itu masih sedikit terasa. Tapi Janna sadar, cepat atau lambat ia akan segera sembuh dari rasa sakit yang ada. Ia mungkin hanya merasa kecewa karena menjadi seseorang yang tak berarti oleh Jeffry. Sesampainya di kantor, semua karyawan menyambut kehadiran Jeffry dengan mengadakan acara syukuran sederhana sebagai tanda adanya pemimpin baru pengganti Naresh diperusahaan itu. Terbiasa menahan perasaan dan bertahan dari sakit, membuat Janna dengan mudah mengganti wajah murungnya dengan raut wajah bahagia dan berdiri dengan anggun disamping Jeffry sebagai istrinya. Hanya Badra yang menyadari raut palsu Janna. Semakin ia melihat Janna tersenyum manis dan berkata riang, ia bisa merasakan betapa Janna berusaha menahan perasaannya. Jika Jeffry bukanlah sepupunya, betapa inginnya Badra memukuli pria itu. Seharusnya Jeffry tak perlu sampai menikahi Janna, pernikahan mereka merusak mental dan kebahagiaan seorang perempuan dan akan memberikannya trauma seumur hidup. Setelah acara penyambutan, Janna segera menyibukan diri dengan memberitahu Jeffry semua hal yang harus diambil alih oleh suaminya. Sampai tak terasa waktu makan siang pun tiba. Saat menyadari waktu telah menunjukan pukul 12. 30, Janna segera melompat dari tempat duduknya dan membuat Jeffry kaget dengan sikapnya. “Sudah setengah satu! Aku mau makan siang dulu!” pamit Janna tiba-tiba seolah tak ingin kehilangan waktu makan siangnya yang berharga. “Ayo kita makan siang bersama Janna!” ajak Jeffry tiba-tiba segera menarik tangan Janna agar pergi meninggalkan ruangan. “Aku bawa makan siang untuk kita,” ucap Jeffry lagi menarik tangan Janna agar kembali duduk di kursi di hadapannya. “Apa?” tanya Janna tampak bingung mendengar Jeffry membawa bekal makan siang untuk mereka berdua. Jeffry segera mengeluarkan dua buah kotak makan yang cukup besar dari tas yang tadi pagi di jinjing Jeffry. Janna pikir di dalam tas itu adalah kebutuhan Jeffry untuk di kantor. “Kamu tuh pelit, irit atau tengah menerapkan pola hidup frugal living sih mas?” tanya Janna spontan tak percaya dengan pemandangan matanya saat melihat Jeffry mengeluarkan kotak makan dan menyajikannya dimeja. “Hush ah, sebenarnya makanan ini aku buat untuk kita sarapan, tapi kamu keluar kamar begitu lama sehingga aku membawanya. Makanan ini cukup membuat perut kita kenyang sebagai makan siang. Maafkan aku, tapi maukah kamu makan siang bersamaku dan menghabiskan sarapan kita ini?” pinta Jeffry sambil memamerkan sandwich dan salad roll yang tampak menggiurkan. Janna pun mengangguk dan kembali duduk dihadapan suaminya. Jeffry tersenyum senang melihat reaksi Janna, ia segera menyajikannya untuk Janna. Bahkan ia sengaja ke pantry untuk mengambilkan air putih untuk Janna. “Tak usah kamu bawakan mas, aku bisa mengambilnya sendiri,” ucap Janna saat melihat Jeffry membawakannya segelas air minum untuknya. “Tak apa, aku merasa senang karena kamu mau makan siang bersamaku,” ucap Jeffry sembari pindah duduk ke samping Janna agar mereka bisa makan berdampingan. Janna terdiam, tiba-tiba ia merasa iri pada Sarita karena ia yakin pasti perempuan itu lebih dimanjakan oleh suaminya. “Kamu tak melakukan ini untuk membujukku memberikan ijin untuk berpoligami bukan?” tanya Janna mencoba mengalihkan rasa gugupnya saat Jeffry duduk terlalu dekat, sehingga ia bisa mengambil jarak tanpa membuat Jeffry tersinggung. “Tentu tidak! Seperti aku bilang kemarin, aku paling senang jika makan bersama atau ada yang menemani,” jawab Jeffry cepat. “Maafkan aku jika ucapanku tentang poligami menyakiti perasaanmu … kali ini aku tak ingin menambah bebanmu lagi, kita akan bahas itu nanti. Aku hanya ingin hubungan kita baik, Janna… aku tahu pasti berat untukmu membuka hati untuk berteman denganku … tapi saat ini kita tak bisa kemana-mana dan harus terus bersama …” “Kita tak pernah bisa berteman mas,” “Janna…” “Aku tak ingin berteman denganmu sebenarnya, tapi aku setuju, saat ini kita tak bisa kemana-mana sampai akhirnya kita berpisah atau aku mendapatkan pekerjaan baru. Tenang saja, aku akan selalu bersikap baik sebagai karyawan dan istri palsu selama di kantor. Saat dirumah mas Jeffry tak perlu khawatir padaku, kita hidup masing-masing saja. Semakin jarang kita bertemu, semakin baik untuk kita,” ucap Janna perlahan tapi pasti. Jeffry hanya diam dan mengunyah makanannya perlahan. “Apapun yang kamu inginkan katakan saja padaku kecuali satu, perceraian. Kita tak bisa membahas itu sekarang, demi papa.” Janna hanya bisa mengangguk dan menghabiskan makanannya dengan cepat. “Dari kemarin semua makanan buatanmu enak mas,” puji Janna tulus setelah menghabiskan semua porsi makannya. Jeffry pun tersenyum senang dan mengedipkan sebelah matanya pada Janna. Melihat senyuman manis dan mendapat kedipan mata membuat Janna segera menolehkan wajahnya karena dadanya berdegup dengan kencang. Akh, sial! Ia kecolongan! caci maki Janna didalam hatinya pada dirinya sendiri. Ia hampir lupa, bahwa dulu ia pernah jatuh cinta pada Jeffry karena sikap-sikap kecilnya. Kini pria itu tanpa sadar melakukannya lagi dan membuat Janna kembali merasa sedih, karena semua sikap manis itu bukan miliknya. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN