Bab 5.

1720 Kata
Jenita sedang memandangi langit sore dari jendela besar saat pintu kamar perawatan sang papa dibuka oleh seseorang. Wanita itu menoleh dan mendapati Tian masuk dengan menenteng sebuah kantung plastik berlogo makanan cepat saji. "Makan dulu." Tian meletakkan makanan yang ia bawa di atas meja.  Jenita bergeming di tempatnya. Ia memilih menatap kembali langit sore yang beraneka warna. Sebagian berwarna kelabu, sebagian lagi berwarna jingga yang begitu memesona. Jenita suka sekali warna jingga yang terlukis di langit. Dulu, ia sering kali menghabiskan waktu bersama mamanya di balkon rumah mereka sembari bercengkerama. Mamanya, meski ia tahu, menyimpan jutaan kepedihan, tak pernah sedetik pun abai pada tumbuh kembang Jenita.  Sentuhan lembut di bahu Jenita membuat wanita itu menoleh. Didapatinya wajah Tian yang menatapnya begitu lekat. "Apa yang kamu pikirkan?" tanya Tian tanpa menurunkan tangannya dari bahu Jenita. "Mama." Tian mendesah. Ia sejujurnya tidak suka mendapati wajah murung Jenita seperti saat ini. Tetapi, ia sendiri tidak bisa melakukan sesuatu untuk menghibur wanita di hadapannya. Tian menyadari dia tercipta sebagai lelaki kaku yang cenderung dingin. Kisah percintaannya juga selalu berakhir menyedihkan. Mantan-mantan kekasihnya dulu memutus hubungan dengannya karena tak tahan dengan sikap Tian yang kaku dan kurang perhatian. "Sebaiknya kamu makan dulu," bujuk Tian lagi. "Besok saya akan mengantar kamu ke makam Ibu sekaligus ke apartemen. Sudah saatnya kamu keluar dari hotel." "Biarkan saya tinggal di sini saja kalau begitu. Toh, waktu saya lebih banyak dihabiskan di sini. Percuma Abang menyewakan apartemen untuk tempat saya tinggal tapi tidak saya tempati. Buang-buang duit." Jenita melirik sinis pada Tian. "Dan ngomong-ngomong, apa tangan Abang akan selamanya bertengger di bahu saya?" Tian bergegas menurunkan tangannya dari bahu Jenita begitu mendapatkan teguran semacam itu. Lelaki itu tersenyum tipis. Meski kadang, perkataan yang terucap dari bibir Jenita terbilang ketus. Namun, Tian lebih menyukai hal tersebut ketimbang Jenita mendiaminya. Seperti selama seminggu ini, tersebab peristiwa tengah malam kala itu. "Jika boleh, saya bersedia." "Apa?" Tian terkekeh, melihat wajah syok Jenita. "Tangan saya di bahu kamu. Jika boleh selamanya berada di sana saya bersedia." Semburat merah di kedua pipi Jenita seketika tercipta. Mengutuk pada hatinya yang berdebar kurang ajar, Jenita memalingkan pandangannya dari wajah usil Tian yang tengah menggodanya. "Sama sekali tidak lucu,” kesal Jenita. "Saya memang sedang tidak melucu. Saya serius." Jenita menatap kembali Sebastian yang juga sedang menatapnya. Wanita itu mencoba menyelami tatapan lembut yang terpancar dari manik lelaki berperawakan tinggi besar tersebut. "Saya mau makan." Jenita memilih menghindar dari percakapan sensitif itu. Sedikit gugup Jenita membuka bungkusan makanan yang dibawakan Tian. Berulang kali wanita itu meyakinkan diri agar tidak terjebak dalam kebaperan yang diakibatkan oleh perhatian Tian.  Suapan pertama ditelannya dengan susah payah, saat Tian kini duduk di hadapannya. Mengambil jatah makanan milik lelaki itu dan menyuapkannya dengan santai. Keduanya makan dalam keheningan. Sesekali saling melampar tatapan, lantas kembali fokus pada makanan masing-masing. "Biar saya yang bereskan." Tian mencegah Jenita yang akan membereskan bungkus-bungkus makanan begitu mereka selesai menyantapnya."Sebaiknya kamu siap-siap, malam ini Nyonya Wigati mengundang kamu ke rumah," terang Tian. "Apa? Eyang mengundang saya?” tanya Jenita syok.  “Ya.” “Tapi ....” "Tidak ada tapi, Jenita." Tian selesai membereskan bungkus makan mereka dan kini kembali duduk hadapan Jenita. "Untuk apa?" Ya, untuk apa. Setelah sekian lama ia menghilang. Dan, setelah sekian minggu ia berada di rumah sakit. Mengapa baru sekarang sang nenek mengundangnya ke Rumah Besar? . . Tetapi pada akhirnya, Jenita memang menuruti ajakan Tian menuju ke kediaman sang nenek. Rumah megah bernuansa klasik. Bagian depan bangunannya ditopang empat pilar tinggi yang memberikan kesan betapa kokohnya rumah tersebut, sekaligus mempertegas jika penghuni rumah itu bukanlah sembarang orang. Wigati—ibu dari Saiful Hirawan. Seorang wanita paruh baya diumurnya yang kini menapaki angka tujuh puluh lima tahun, masih terlihat cantik dan modis. Harta peninggalan sang suami Jamali Hirawan berupa sebuah perusahaan tambang batu bara dan properti membuatnya menjadi wanita sosialita yang tak pernah merasakan kekeringan uang. Jenita masih menatap bangunan di depannya dengan pandangan kosong. Sebagian hatinya mengingatkan untuk pergi dari tempat itu saja. Tetapi sebagian hatinya lagi mengingatkannya untuk tetap berada di sana. Ya, setidaknya saat ini Jenita sedang berupaya menjadi anak yang berguna untuk sang papa di kala orang tua itu terbaring sakit. "Sudah siap?" Tian bertanya pelan dengan tatapan prihatin pada wanita di sampingnya. Tian sangat paham, tidak mudah bagi Jenita menginjakkan kaki di kediaman Hirawan, mengingat perlakuan semena-mena mereka pada Jenita sejak dulu. Jenita mengangguk lemah. Tidak ada kata mundur. Ia harus berada di sana setidaknya untuk membuktikan pada sang nenek jika Jenita bukan lagi anak kecil yang bernyali ciut hanya dengan lemparan tatapan tajam dari keluarga besar papanya. Membuang napas pelan, Jenita akhirnya membuka pintu mobil. Kaki jenjangnya yang berbalut wedges ia pijakkan di halaman rumah mewah sang nenek yang telah lama tak dikunjunginya itu. Tian lantas menghampiri Jenita. Mengangguk samar, meminta Jenita untuk segera memasuki rumah tersebut. Tiba di teras rumah berlantai marmer, seorang pelayan rumah tersebut, menyambut mereka dengan senyum ramah. "Selamat malam Pak Tian dan ...." Wanita berpakaian pelayan mengamati Jenita. Ingatan wanita itu dipaksa untuk berputar mengingat wajah familier namun tak diingat namanya. "Nona Jenita. Puteri dari Tuan Saiful Hirawan," terang Tian. "Gusti Nu Agung. Ini teh Nona Jenita?!" Seru wanita baya tersebut seraya menyentuh bahu Jenita dengan kedua tangannya. Sementara Jenita masih bergeming. Bibirnya terkatup rapat, tetapi jelas terlihat oleh Tian, netra Jenita mulai berkabut. "Non, non lupa sama Bi Irah?" "Bibi yang sudah lupa sama saya." Jenita menjawab dengan suara parau.  Bi Irah tersenyum dibarengi dengan air matanya yang merembes keluar dari kedua sudut matanya. Wanita itu memeluk Jenita. Menumpahkan segala kerinduan pada puteri majikannya, yang sudah ia anggap layaknya anak sendiri itu. "Ya Allah, Non. Bibi sama sekali nggak lupa sama Non Jen. Bibi cuma kaget." Tangan Bi Irah dengan lembut mengusap punggung Jenita yang berbalut blouse satin berwarna mocca. "Bibi kira tadi salah lihat. Ya Allah, berapa tahun kita nggak ketemu, Non. Bibi kangen."  "Saya juga kangen dengan Bibi." Bi Irah mengurai pelukannya. Kali ini jemarinya menyusuri wajah Jenita yang dirias make up tipis. "Non Jen masih tetap cantik. Ya Allah, Non." "Bibi juga cantik kok." "Ah, si Non bisa aja. Bibi mah udah tua." Bi Irah tersenyum lalu beralih menatap Tian yang sejak tadi terdiam bosan mendengar basa basi ke dua wanita di hadapannya. "Saya titip Non Jenita, Pak." "Bi, saya ...." "Sudah menjadi tugas saya." Tian menjawab cepat, memotong perkataan Jenita. Jenita menatap tidak suka pada Tian. Dia enggan dianggap seperti anak kecil yang perlu pengawasan ekstra. Dulu, dia memang Jenita lemah yang di akhir kunjungannya ke kediaman sang nenek diakhiri dengan tangisan. Namun, waktu dan kesakitan yang telah mendera Jenita, telah berhasil mengubah sosok Jenita menjadi pribadi tangguh. Kali ini, Jenita tidak akan menjadi lemah. "Ayo, yang lain sudah menunggu." Tian mengabaikan tatapan protes Jenita. Lelaki itu lebih dulu melangkah, memasuki rumah megah tersebut. "Selamat malam," Tian menyapa dengan senyum profesional pada anggota keluarga Hirawan.  Suasana ruang keluarga yang sejak tadi riuh dengan pembicaraan hangat antar keluarga, mendadak hening ketika sosok Jenita memasuki ruangan tersebut. Seluruh pasang mata menyorot pada Jenita yang berdiri dengan mencoba untuk kuat. Tidak ada senyum di wajah Jenita. Hanya sebuah tatapan datar yang ia tampilkan pada sosok-sosok yang duduk mengitari sofa berdesain membentuk setengah lingkaran. Jenita mengamati sosok-sosok yang berada di ruangan yang sama dengannya. Di sofa singgel dengan sandaran tinggi, duduk seorang wanita paruh baya dengan senyum misterius, yang tak lain adalah neneknya.  Di sisi kiri sofa, telah diisi oleh kedua tantenya, adik dari sang papa beserta suami dan anak-anak mereka. Sementara di sisi kanan sofa ... Jenita menghela napas. Sesak secara tiba-tiba mengimpit d**a ketika pandangannya pada akhirnya jatuh pada sepasang suami istri pencetus luka menganga di hatinya. Hanya sekian detik Jenita menatap sepasang suami istri itu. Karena setelahnya ia memilih sofa yang tak berpenghuni di bagian tengah untuk dirinya duduk diikuti Tian. "Bagaimana kabarmu Jenita?" Suara sang nenek menyapanya dengan lembut tetapi ada senyum misterius yang ditampilkan wajah ber make-up tebal tersebut. Jenita menatap lurus sang nenek yang juga tengah menatapnya dengan tatapan meremehkan. Seperti dulu. Sepanjang dua puluh tahun Jenita bernafas. Dan tidak berubah hingga kini, setelah dua belas tahun mereka tidak bertatap muka. Dalam hati kecil Jenita, selalu bertanya-tanya. Apa alasan di balik sikap tidak bersahabat dari keluarga besar sang papa? Apa yang membuatnya tidak disenangi keluarga itu? Hingga kini, jawaban dari pertanyaannya selama ini masih terkunci rapat. Dan entah sampai kapan misteri itu terpecahkan. "Saya baik." Jenita tersenyum saat menjawabnya. Tatapan mengintimidasi dari keluarga besar sang papa, tidak akan membuatnya lemah kali ini. Dua belas tahun, hidup di negara orang. Bekerja demikian keras menghidupi dirinya, berhasil menempa mental Jenita. Mungkin tidak setangguh sang mama yang tetap diam di tempat meski sudah dikhianati. Tetapi sekali lagi, untuk kali ini Jenita tidak akan kalah. Wigati menganggukkan kepalanya sembari tersenyum. Bibirnya sudah sedikit terbuka untuk mengucapkan kata selanjutnya, sebelum akhirnya tertutup kembali begitu mendengar pertanyaan Jenita. "Apa tujuan Eyang mengundang saya?" tanya Jenita tidak ingin berbasa basi. "Mohon maaf saya tidak memiliki cukup banyak waktu karena harus kembali ke rumah sakit."  "Yang sopan kamu, Jenita!" teriak Yeli—salah satu adik Saiful yang menganggap ucapan Jenita kurang ajar. Terlebih hal itu ditujukan kepada Wigati. "Saya hanya ingin pertemuan ini segera berakhir." Lagi-lagi Jenita menjawab dengan tenang. Ia sama sekali tidak mengindahkan tatapannya dari sang nenek. "Dasar anak ...." "Yeli, cukup!" Wigati menginterupsi puterinya yang rupanya sudah tersulut emosi oleh jawaban Jenita. "Jenita, berapa lama kamu meninggalkan Indonesia?" Wigati kembali bertanya pada Jenita. "Untuk apa saya menjawab pertanyaan tidak penting itu, Eyang? Bukankah Eyang sendiri sudah tahu jawabannya.” Tian memijat pelipisnya mendengar jawaban Jenita. Jenita dan keras kepalanya memang tidak bisa dipisahkan. Seharusnya Jenita cukup paham bagaimana menghadapi sang nenek. Jenita hanya cukup menjawab semua pertanyaan Wigati dengan tenang, dan mereka bisa lepas dari sangkar emas tersebut. Namun, yang dilakukan Jenita justru seolah menyambut bendera perang yang dikibarkan Wigati. Tian tahu, ini akan menjadi rumit untuk ke depannya. "Jawab saja, bodoh!" Yeli mengumpat kesal. Sementara anggota keluarga lainnya menatap Jenita dengan sorot tajam, seolah ingin menguliti wanita itu.  Oh tidak, Diana dan Elang tentu saja menatap Jenita dengan tatapan prihatin. Terlebih Elang, baru kali ini ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Jenita diperlakukan oleh keluarga besar sang istri. Pantas saja, dulu sewaktu mereka dekat, ia sering menemukan mata Jenita sembab. Mungkin inilah salah satu penyebabnya. Dan berengseknya, ia justru turut andil menjadi pencetus sembab pada netra wanita itu.   Bersambung                                          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN