Rora mengguncang tubuh Gaston kuat, hingga lelaki itu perlahan-lahan tersadar dan membuka matanya. Ia terkejut mendapati dirinya sudah berada di kamar.
"Bagaimana aku bisa di sini?" Tanya Gaston yang kini membangunkan dirinya, dia masih merasa pusing karena terlalu banyak minum.
"Seorang pelayan mengantarkan kau pulang, kau mabuk di pesta? Ada apa hingga kau sampai mabuk? Tidak biasanya kau seperti itu!" Ujar Rora dengan wajah tegang dan menahan kesal.
"Entahlah, aku hanya ingin minum apa yang salah? Lagi pula kau tidak perlu kesal hanya kerena hal itu, bukan? Berisik di tengah malam hanya karena aku pulang dengan keadaan mabuk, kau terlalu kolot, kau pikir aku ibuku? Nenekku?" Ucap Gaston yang menjadi kesal karena ocehan Rora
Rora marah dia meninggalkan lelaki itu dan pergi ke kamarnya sendiri. Dia jalan mendengar lelaki itu menyebutkan nama Shafir, apakah Gaston merindukan shafir ataukah Lelaki itu diam-diam memiliki perasaan untuk wanita itu.
Rora merasa tidak tenang, ia hanyut dalam pemikiran yang buruk. Jika Gaston jatuh cinta pada Shafir maka bagaimana nasib dirinya. Dia sudah menunggu lama untuk semua ini tapi jika lelaki itu meninggalkan dirinya maka pengorbanan akan sia-sia.
Rora harus memikirkan cara agar Gaston tidak lari darinya atau lelaki itu berniat meninggalkan dirinya.
"Kau hanya milikku, Gaston. Tidak ada yang boleh memiliki dirimu selain aku, hanya aku." Guman Rora.
***
Black Jerico memeriksa beberapa berkas, lelaki itu nampak serius dengan setiap kali berkutat dengan perkejaan.
Tidak lama kemudian, asisten pribadi lelaki itu datang, dengan membawa beberapa laporan terbaru tentang Gaston dan Rora. Sebelumnya dia gagal mendapatkan hal yang lebih jauh tentang dua orang itu, hingga membuat dia mereka gagal atas tanggung jawab yang Black Jerico berikan.
"Tuan, saya membawakan beberapa data penting tenang Gaston dan Rora," jelas lelaki itu
Black Jerico menurunkan kaca matanya lalu menatap ke arah asistennya itu.
"Kau benar-benar tidak menyerah ...." Guman Black Jerico dengan senyuman tipis.
"Perintah anda adalah kewajiban saya, jika gagal maka saya akan merasa sangat malu, saya menyuap bagian intelejen untuk mendapatkan segala data pribadi rahasia milik mereka." Ujar lelaki itu.
Black Jerico, tertawa kecil. Baiklah dia akui anak buahnya tidaklah mudah menyerah.
"Baiklah, letakan saja datanya di Mejaku." Ujar Black Jerico. "Dan beli beberapa saham BTB Grup, dari beberapa orang. ..." Sambung lelaki itu.
Setelah mendengar perintah itu lelaki bernama Felix itu pergi meninggalkan ruangan Black Jerico.
Black Jerico, mengalihkan layar laptopnya terhubung dengan jaringan cctv di kediamannya, dia mencari keberadaan Shafir dan ternyata wanita itu berada di dapur sedang membantu chef memasak dan memotong bahan. Black Jerico tersenyum tipis dia dapat melihat bagaimana wanita yang tadinya merengek-rengek kini terlihat kuat dan tegar.
Sedangkan di sisi lain.
Shafir menikmati kegiatan barunya, yaitu memasak. Dia suka sekali mencium aroma hidangan yang di buat hari ini.
Shafir bersemangat hingga tanpa sadar wanita itu memegang panci yang masih panas.
"Aww ...." Pekik Shafir yang langsung mencuci tangannya dengan air yang mengalir.
"Kau baik-baik saja?" Tanya chef pada Shafir.
"Aku baik-baik saja." Ujar wanita itu sambil tersenyum tipis. para pelayan lain terlihat sinis, mereka merasa jika Shafir bersikap sok polos dan kuat untuk menarik simpati para pria tampan di rumah ini. Seperti Alex, Chef Tim dan Mungkin berikutnya Asisten Tuan Black Jerico yaitu , Felix.
Mereka mencibir Shafir bahkan sengaja menyandung langkah wanita itu hingga Shafir jatuh ke lantai.
"Lain kali, hati-hati!" Ucap pelayan bernama Shela, salah satu pelayan terlama setelah kepala pelayan Suesan.
"Kau sengaja," ujar Shafir tidak terima, tentu dia buka orang bodoh yang menerima perlakuan seperti ini.
"Kau menuduhku?" Ujar Shela dengan wajah mengintimidasi.
"Kau memang sengaja!" Ujar Shafir bangkit dan marah. Shela tidak mengira wanita ini akan begitu berani membentak dirinya di depan pelayan lain.
"Ada apa ini? Keributan apa yang kalian lakukan di dapur?" Tanya Kepala pelayan Suesan yang paling tidak suka jika terjadi keributan di rumah ini.
"Dia menuduh aku menyandung kakinya, untuk apa aku lakukan itu kepala pelayan Suesan? Aku memiliki banyak pekerjaan tapi dia bersikap seolah-olah aku tidak memiliki pekerjaan lain dan menyandung kakinya ..." Ujar Shela. Kepala pelayan Suesan menatap Shafir dengan tajam. Shafir menunjukan wajah tidak bersalah karena dia memang tidak salah.
"Minta maaf kepada, Shela. Dia tidak sengaja ..." Ujar kepala pelayan Suesan.
"Tidak sengaja? Dia sengaja!" Geram Shafir. Kepala pelayan Suesan mejadi kesal karena suara Shafir yang meninggi saat bicara' kepadanya.
"Cukup! Shafira ... Kau sepertinya lupa dengan siapa kau bicara? Kenapa merasa hebat dan berbeda dari yang lain! Semua pelayan di sini sama. Kau, Shela dan siapapun tidak ada yang spesial atau di perlakukan sepesial!" Ujar Kepala pelayan Suesan.
Shafir tidak mengatakan dirinya spesial, tapi dai hanya berusaha mengatakan jika dia tidak bersalah. Untuk apa minta maaf saat dia tidak melakukan kesalahan apapun, tidak masuk akal.
Shafir hanya diam dan pergi meninggalkan dapur, di tidak meminta maaf, membuat stigma dirinya di kalangan pelayan menjadi rusak. Begitu juga kepala pelayan Suesan yang nampak kecewa dengan sikap Shafir.
Shafir duduk di taman, dia diam-diam menangis sambil menahan perih karena luka bakar yang ada di tangannya. Dia merasa di rendahkan, seumur hidup dia tidak pernah di perlakukan seperti itu di depan banyak orang.
Ego Shafir tidak bisa menerima semua itu. Harga dirinya menolak untuk meminta maaf apa lagi jelas-jelas dia lah yang menjadi korban.
Wanita itu menenangkan dirinya, berusaha agar tidak larut dalam perasaan ini.
Alex yang baru saja datang dari mengambil barang datang dan duduk di samping Shafir.
"Ada apa Shafira? Kenapa kau berada di sini?" Tanya Alex heran. "Kau menangis? Apakah terjadi sesuatu?" Alex mengamati Shafir badan terkejut saat melihat tangan wanita itu memerah dan melepuh.
"Kau terluka, Shafira ...." Lelaki itu nampak panik dan cemas.
"Ini hanya luka kecil, tapi ini akan meninggalkan bekas jika tidak cepat di obati!" Tutur Alex.
"Sudah aku obati, jadi tenang saja." Jawab Shafir dengan nada lemas. Dia benar-benar tidak dalam mood yang baik untuk di ajak bicara.
"Bisakah kau tinggalkan aku sendiri? Kumohon, Alex. Aku sedang ingin sendirian saja." Pinta Shafir.
Alex mengangguk paham, lelaki itupun pergi meninggalkan Shafir sendirian. Dari kejauhan kepala pelayan Suesan mengamati mereka dengan wajah datar dan nafas yang pelan-pelan berhembus.
"Lihat, dia menggunakan wajah lugu itu untuk menarik perhatian lelaki," guman Shela yang tenyata menyusul Kepala pelayan Suesan.
"Jangan mengurus hal yang bukan pekerjaanmu, kau bilang kau sibuk, bukan? Lalu untuk apa kau di sini, lakukan saja pekerjaanmu!" Tegas kepala pelayan Suesan. Wajah Shela memerah karena malu, dia akhirnya pergi dan kembali mengerjakan pekerjaannya.
Setelah beberapa waktu dan persaaannya kembali tenang Shafir masuk kembali ke dalam, saat itu para pelayan lain mengacuhkan dirinya dan tidak menggubris apapun yang Shafir katakan.
Ia di diskriminasi akibat ucapan tidak berdasar Shela yang menyebarkan fitnah membaut pelayan lain membenci Shafir.
"Tuan Black Jerico, sudah datang .... Siapkan makan malam." Ucap Kepala pelayan Suesan, semua mengambil pekerjaan masing-masing dan tidak ada yang memberikan Shafir kesempatan mereka sengaja untuk menyisakan tumpukan piring kotor untuk wanita itu seorang, sebelumnya tidak ada yang bersikap seperti ini, tidak ada diskriminasi atau perasaan di bedakan di rumah Black Jerico, hanya saat Shafir datang semua mulai bergunjing. Kepala pelayan Suesan pun merasakan perubahan pada Tuan-nya tapi dia tidak berniat ikut campur hanya saja tanggung jawab dapur dan segala pelayan adalah pekerjaannya. Dia harus menyelesaikan masalah sepele ini sebelum menjadi besar
Makanan sudah tersaji di meja, kepala pelayan Suesan juga sudah meneliti satu persatu makanan, agar di pastikan layak di hidangkan.
Black Jerico datang dia duduk di ruang makan yang begitu besar dan menikmati makan itu seorang diri. Sedangkan Suesan dan Koki selalu siaga menunggu jika lelaki itu membutuhkan sesuatu.
Para pelayan meninggalkan dapur, seperti biasa setelah ia makan malam semua aktivitas pekerjaan akan berhenti walau hanya di rumah utama, sedangkan lara pelayan memiliki dapur dan ruang makan mereka sendiri.
"Kau bersihkan semua piring kotor, jangan malas atau merengek!" Ujar Shela dengan nada remeh. Para pelayan lain meninggalkan Shafir mereka menatap sinis ke arah wanita yang hanya diam saja itu.
Shafir menghela nafasnya, tidak ingin di katai malas dan merengek, Shafir menyanggupi semua tugas itu.
Di malam yang dingin dengan tangan yang memerah karena iritasi dan luka bakar, Shafir tetap mencuci semua piring itu.
Ini bukan Kisah Cinderella tapi fakta jika kehidupan memang berubah begitu drastis dan tanpa peringatan. Beruntung tempat cuci masih tertutup ruangan.
Hanya saja, tangan Shafir yang terluka dan terpapar sabun terasa semakin perih.
Kelapa pelayan Suesan hanya bisa melihat semua itu dalam diam, dia mengendap-endap dan meletakan salep di kamar wanita itu.
Shafir sudah menyelesaikan pekerjaannya, wanita itu berjalan gontai menuju kamarnya, ia membuka pintu dan mendudukkan dirinya di kasur dia menatap ke arah nakas dan terdiam saat melihat salep luka sudah tersedia di sana.
Wanita itu menatap luka di tangan, nampak tidak baik kondisinya. Wanita itu diam dan menangis begitu saja. Seketika dia merindukan kehidupannya yang dulu, tidak pernah di merasakan hal seperti ini. Shafir terisak dalam kesunyian, mencoba menekan suaranya agar tidak terdengar oleh siapapun.
Dadanya terasa sesak, sampai kapanpun dia mungkin masih belum bisa sepenuhnya menerima keadaan saat ini. Hanya mencoba kuat dan bertahan. Dulu sempat berpikir dunia ada di bawah kakinya, tanpa pernah tahu bumi yang ia pijak itu bulat, dapat membuat dia terjatuh ke bawah salam sekejap.
"Ibu, ini sakit ...." Guman Shafir seperti anak kecil yang bersedih. Dulu setiap kali dia sakit selalu merengek manja kepada ibunya. Sekarang bahkan untuk berkata sakit dia tidak memiliki siapapun yang mengerti dirinya.