Rora kembali dengan perasaan bahagia, dia tidak pernah berbelanja dengan seseorang selain Gaston. Rora memang tertutup tidak memiliki banyak teman ataupun kenalan. Gaston dan Rora sama-sama berasal dari panti asuhan. Hanya Gaston yang Rora miliki sedari dulu.
Rora bersenandung dia masuk ke kediaman utama keluarga Brown yang kini menjadi miliknya. Rora dan Gaston sebenarnya tidak di sukai beberapa pelayan bahkan memilih berhenti karena muak dengan kenyataan jika mereka menjalin hubungan di belakang nona Shafir Adella Brown.
"Tolong siapkan air hangat aku ingin berendam, juga tolong ambilkan wine aku ingin menikmati waktu bersantai ... Ini juga bawa belanjaanku ke ruang ganti dan tata ..." Ujar Rora yang menyerahkan semua barangnya lalu berjalan masuk menuju kamar.
Wanita itu menanggalkan semua pakaiannya dan menuju ruangan spa dia berjalan dengan santai hanya dengan mengenakan jubah mandi saja.
Kemewahan ini Rora anggap sebagai buah dari kesabaran atas segala penderitaan yang ia rasakan, terserah jika di di katakan jahat, karena hidup memang tentang di singkirkan atau menyingkirkan, di injak atau menginjak, hidup atau mati. Dia tahu apa yang dia lakukan pada Shafir tidaklah benar. Namun, dia lakukan untuk kehidupannya, Rora benci hidup dalam kemiskinan dan di tertawakan, ia sudah tidak lagi percaya pada Tuhan Karena sekeras apapun dia berusaha Tuhan tidak pernah mengabulkan doanya. Hanya cara ini yang bisa ia dan Gaston lakukan.
Menipu, menyingkirkan dan mengambil milik orang lain. Rora berendam dengan santai matanya terpejam dan ia teringat pada Rubby yang tenyata membuat dia menginginkan seorang teman. Rora memutuskan menghubungi wanita itu, sekedar mengajak bicara.
"Halo,"
"Halo?"
"Ini aku, Rora ...."
"Oh, Nona Rora. Ada apa kau menghubungiku? Ada yang bisa aku bantu?" Tanya Shafir dengan nada lembut dan ramah.
"Tidak ada aku hanya sedang ingin bicara dengan seseorang," jelas Rora
"Anda bisa bercerita kepadaku, aku akan dengarkan, walau tidak bisa sepenuhnya membantu mungkin, tapi saya pendengar yang baik ...." Rayu Shafir.
Rora tertawa kecil dia menceritakan berbagai hal dan beberapa kali menyinggung soal, Gaston. Shafir hanya mendengarkan dia tidak berkata apapun karena dia seberang sana dia menunjukan ekspresi mematikan.
"Aku merasa kesepian, kekasihku sibuk bekerja dan aku tidak punya teman, beruntung aku sekarang punya kau ..." Jelas Rora.
"Bagaimanapun, kekasihmu itu begitu mencintai dirimu, hingga rela melakukan apapun demi membahagiakanmu ... Di mana lagi menemukan lelaki sebaik itu?" Ucap Shafir dengan nada menusuk.
"Demi kau dia rela membunuh aku, menghancurkan aku juga merenggut segalanya, karena kau ...." Batin Shafir
"Kau benar, kekasihku sangat baik dan tampan," ucap Rora tersipu.
"Tapi, Nona Rora. Bolehkah aku bertanya satu hal, aku harap kau tidak marah." Ujar Shafir pelan.
"Apa itu? Katakan?"
"Bukankah, kekasihmu adalah tunangan dari putri keluarga Brown? Mereka akan menikah jiak tidak ada kecelakaan itu." Rora terdiam, wanita itu sedikit terkejut dengan pertanyaan Shafir. Sedangkan di seberang sana Shafir menunggu jawaban apa yang akan di berikan oleh wanita itu kepadanya.
Apa alasan yang akan dia buat untuk menyelamatkan nama baiknya? Orang ketiga dalam kehidupan seseorang yang bersikap seperti tidak pernah merusak apapun.
"Gaston, tidak pernah mencintainya ..." Jawab Rora jujur.
Shafir tersentak dengan jawaban berani Rora.
"Mereka bertunangan bukan?"
"Aku dan Gaston saking mencintai sedari lama, lebih lama dari yang orang lain pikirkan, bisa di katakan Shafir adalah orang ketiga di antara kami ... Dia merebut Gaston, menggunakan kemalangan untuk mengikat lelaki itu, Gaston tidak pernah mencintainya, lelaki itu hanya kasihan kepadanya ...." Ujar Rora menegaskan.
Shafir tercekat, dia tidak bisa berkata-kata dengan apa yang sudah Rora katakan, wanita ini memang mengerikan, dia tidak merasa bersalah atas apa yang dia lakukan malah berpikir jika dirinya yang berhak.
Shafir meremas tangannya dia menahan kesal, dia ingin meledak tapi ini masih terlalu awal untuk menunjukan dirinya.
"Benarkah, maaf jika aku menanyakan hal yang terlalu pribadi,"
"Tidak masalah, aku sudah terbiasa seperti itu, terlebih kau orang pertama yang bertanya langsung, biasanya mereka hanya bicara di belakang ... Kisah di depanku mereka akan diam," jelas Rora.
"Kalau begitu, aku akan memutuskan panggilan ini, ada pekerjaan yang harus aku lakukan ... Maaf aku harus akhiri panggilannya." Jelas Shafir.
Wanita itu menutup panggilan telepon dia menutup matanya yang terasa panas. Shafir memegangi dadanya yang terasa begitu sesak dan berat. Black Jerico yang sedari tadi duduk di sana mengamati gelagat wanita itu, dia meletakan kopinya lalu memangku tangannya.
"Kau mendekati Rora? Kau baik-baik saja berada di dekatnya dan bicara' dengan dia semanis itu?" Tanya lelaki itu dengan mengulas senyum tipis.
"Aku haru terbiasa, aku harus melakukan ini demi pembalasan dendam." Jelas Shafir.
"Bagaimana bisa orang-orang begitu tidak tahu malu? Dia tidak merasa bersalah atas apa yang dia lakukan, mereka bahkan sudah merencanakan ini terhadapku sedari awal ... Kenapa? Kenapa harus aku yang selalu menderita? Aku sudah kehilangan banyak hal karena orang-orang seperti mereka yang melakukan dosa tapi malah hidup tenang tanpa rasa penyesalan sedikitpun, seolah tidak ada yang tejadi!" Ucap Shafir dengan nada marah.
"Kehidupan memang seperti itu, kejam dan menyakitkan." Ujar Black Jerico. "Di dunia ini manusia adalah mahluk yang paling tidak bisa kau pegang ucapannya ... Dalamnya samudera bisa di ukur tapi tidak dengan hati seseorang ..." Jelas lelaki itu.
"Apa yang kita lakukan pasti akan menjadi karma bagi diri kita sendiri, tidak ada manusia yang bersih, Shafir. Bahkan kau yang merasa dirimu korban, mungkin saja kau pernah menjadi penjahat di kehidupan orang lain." Sambung Black Jerico
Mata Shafir menatap tajam lelaki itu, dia tidak suka di katakan penjahat.
"Aku?"
"Kau seorang Nona besar dulu, hidup dalam kemewahan, kau pasti ingat bagaimana kau memperlakukan orang di sekitar dirimu?"
Ucapan Black Jerico membuat Shafir terdiam. Dia merasa tertampar oleh perkataan lelaki itu, dia sadar Bagaimana sikapnya dulu. Sekarang ia terduduk di hadapan kenyataan jika apa yang ia lakukan juga bukanlah hal baik.
"Aku tidak mengatakan apa yang tejadi
Padamu adalah hal yang benar, tapi aku hanya mengingatkan, jangan merasa kau selalu menjadi korban ...." Jelas Black Jerico sebelum lelaki itu bangkit dan pergi meninggalkan Shafir sendirian.
***
Black Jerico menatap langit-langit kamarnya, lelaki itu diam termenung dalam keheningan dini hari. Hatinya berkutat pada Shafir, wanita itu dan niat balas dendam yang wanita itu rencanakan.
Black Jerico menatap sebuah foto di dompetnya, foto yang ia miliki beberapa tahun lalu dan mengubah kehidupannya sekarang. Semau orang berubah, begitu juga dirinya dalam tiga tahun terkahir ia menjadi Black Jerico yang berbeda.
Black Jerico merasa tidak bisa tidur ia memilih untuk berjalan-jalan keluar. Lelaki itu pergi untuk mencari udara segar tapi dia melihat sekelebat bayangan yang berjalan di antara pohon di halaman belakang.
Black Jerico curiga, siapa itu yang terbangun di jam segini? Lelaki itu mencoba mengejar dan dia mendapati sosok itu berdiri tidak jauh dari sana, gaun putih di bawah lutut dengan rambut tergerai oleh hembusan angin semilir yang cukup membuat Black Jerico meremang.
"Siapa dia sana?" Ujar Black Jerico yang tidak dapat melihat lebih jelas siapakah orang itu.
Wanita itu menoleh mereka saling menatap dengan wajah bingung, Black Jerico menghela nafasnya, dia tidak berpikir jika Shafir masih akan terbangun di jam segini.
"Kenapa kau belum tidur?" Tanya Lelaki itu mendekati Shafir.
"Kau sendiri?" Jawab wanita itu dengan nada acuh.
"Aku tidak bisa tidur ...." Jawab Black Jerico.
"Sama ...." Sahut Shafir.
Mereka berdua kembali terdiam sebelum akhirnya Shafir terkejut melihat Shela yang keluar dari mansion. Wanita itu melihat ke arah mereka berdua membuat Shafir langsung berbalik badan dan menarik Black Jerico pergi dari sana.
Shela yang pandangannya masih samar refleks memekik karena berpikir mereka berdua adalah pencuri. Shafir terus berlari terlebih saat teriakan Shela membuat seisi kediaman Black Jerico terbangun. Black Jerico tidak mengerti mengapa dia harus ikut berlari kenapa tidak diam saja dan biarkan mereka tahu, lagi pula dia tidak ada apapun.
Shafir menarik masuk Black Jerico ke paviliun seni, tempat di mana lelaki itu menyimpan karya lukisnya.
"Sht ...." Ucap Shafir sambil menutup mulut Black Jerico.
Lelaki itu melepaskan tangan Shafir dan nampak kesal.
"Kenapa kita berlari? Untuk apa? Lebih baik kita kembali sekarang ...." Ucap lelaki itu mencoba berdiri tapi Shafir malah menahannya.
"Bahaya jika Shela melihat aku dan kau di tengah malam seperti tadi, mereka akan berpikir yang tidak-tidak. Entah rumor apa yang akan dia sebarkan ...."
"Mana berani mereka menyebarkan rumor tentang majikan mereka." Jelas Black Jerico santai.
"Bukan kau, tapi aku ... Mereka tidak berani dengan kau tapi siapa aku? Aku hanya pelayan yang di anggap sebagai tukang cari muka!" Ujar Shafir kesal. "Tidak bisakah dia sebentar!" Tegasnya.
Saat itu pandangan mereka bertemu, jarak mereka dekat dengan suara nafas yang dapat terdengar di antara satu sama lain. Saat mereka menyadari jarak itu begitu intim, jantung berdebar tatapan dan wajah memerah, terasa panas. Shafir menelan salivanya dia menatap rahang tegas dan bibir seksi Black Jerico benar-benar membuat dia mabuk kepayang.
Suara para pelayan yang terdengar riuh refleks membuat Black Jerico menarik Shafir mendekat padanya, Shafir terdiam wanita itu menunduk karena gugup.
Tangan Shafir menahan tubuh mereka agak ada sedikit jarak diantara mereka.
"Apakah, mereka sudah pergi?" Ucap Shafir berbisik sambil terbata.
"Entahlah," Black Jerico masih belum menyadari jika mereka kini sudah begitu dekat dan dapat di katakan berpelukan.
"Bisakah, kau lepaskan aku?" Tanya Shafir terbata. Black Jerico refleks melepaskan wanita itu dan membuang wajahnya karena malu.
Shafir berdiri dia keluar mengendap-endapan mencoba melihat situasi di luar sana. Sedangkan di belakang Black Jerico mengikuti dengan berjalan santai.
"Aman?" Tanya lelaki itu.
"Sepertinya," jawab Shafir.
Mereka berdua keluar pelan-pelan tapi suara deham Kepala pelayan Suesan membuat keduanya tersentak kaget.
"Jadi kalian?" Ujar kepala pelayan Suesan dengan tatapan datar.
Shafir menunduk, sedangkan Black Jerico memasang wajah tanpa ekspresi.
"Aku, aku ... Aku--"
"Tidak ada apapun. Kembalilah, ke kamarmu ...." Ujar Black Jerico sambil berlalu pergi, entah untuk siapa ucapan itu yang pasti kini Shafir hanya merasa tidak enak hati, karena dia takut jika Kepala pelayan Suesan salah paham kepadanya.
Shafir tidak mengatakan apapun, dia hanya berjalan mengikuti Kepala pelayan Suesan, sedangkan kepala pelayan Suesan hanya diam tidak mengatakan apapun.
"Masuklah, ke kamarmu ..." Ujar kepala pelayan Suesan.
"Baiklah ...." Ujar Shafir.
"Shafira ...." Panggil Kepala pelayan Suesan.
"Iya ...."
"Tidak ada ...." Ucap wanita dengan nada pelan dan senyum yang tipis. Wajah Shafir memerah dia langsung menutup pintu kamarnya. Shafir masuk ke dalam selimut dia menatap langit-langit kamar dan diam memikirkan Black Jerico yang begitu dekat dengannya Sebelumnya.
Pipi Shafir terasa panas dia mengingat bagaimana suara berat nafas dan aroma lelaki itu yang masih melekat di tubuhnya. Sungguh Shafir turun mengira dirinya akan jatuh dalam pesona lelaki itu.
Di sisi lain, Black Jerico baru saja sampai di kamarnya, lelaki itu duduk dan mengambil segelas bir dari pendingin di kamarnya. Lelaki itu langsung menenggak sampai habis sebotol bir itu. Pikirannya kacau kala dia malah terhanyut sesaat dalam polosnya tatapan wanita itu.
Shafir biasa saja, tidak ada yang menarik dari wanita itu baginya, tapi kenapa dia berdebar? Kenapa dia merasa ada sesuatu sensasi saat dia mendengar helaan nafas wanita itu.
Ini gila, dirinya pasti sudah terlalu lama tidak dekat dengan wanita sampai-sampai wanita seperti itu saja membuat dia berdebar.
Akhirnya, malam itu berlalu begitu saja, tidak ada di antara mereka yang tertidur hingga pagi harinya.
***
Gaston memeluk tubuh Rora, akhirnya setelah beberapa hari di abaikan wanita itu mau di sentuh olehnya lagi, Gaston mencium pipi wanita yang masih tertidur lelap itu, permainan cinta semalam membuat Rora tidak kuat dan kelelahan.
Bukan hanya sekali tapi 3 kali pelepasan ia lakukan di dalam rahim wanita itu. Rora menggeliat, dia mereka Pipinya geli karena bulu halus di rahang Gaston.
"Emh, hentikan ... Aku lelah ..." Ujar Rora sambil berusaha melepaskan pelukan Gaston. Tapi Lelaki itu malah memeluk Rora semakin erat.
Setelah cukup lama akhirnya Rora bangun, wanita itu bangkit tanpa sehelai kain apapun di tubuhnya, dia berjalan menuju kamar mandi yang mana Gaston langsung mengikuti wanita itu.
Namun, belum sempat ia masuk ponsel Rora berbunyi, membuat Gaston yang masih di luar mengangkat panggilan itu.
"Halo ...." Ujar Gaston saat tidak mendengar apapun dari seberang sana.
"Halo?" Ujarnya sekali lagi. Shafir terdiam saat mendengar Gaston yang mengangkat panggilan itu dia menarik nafasnya dan mencoba tetap santai.
"Halo, ini aku Shafira Alodia Rubby ..." Gaston terdiam sesaat dia tahu jika pernah mendengar nama itu. Setelah mengingat di mana dia langsung tertuju pada wanita penari yang ia lihat di pesta Black Jerico.
"Kau!"
"Iya, ini aku .... Shafira ...." Ujar wanita itu dengan senyuman yang menyeringai.
Gaston memutuskan panggilannya dia menatap sejenak nomer itu dan menutup ponsel Rora. Walau hati tidak tenang dia berusaha untuk tidak terlihat canggung.
Walau dalam pikirannya sedang berpikir bagaimana bisa wanita itu memiliki nomer ponsel Rora dan bagaimana bisa mereka saling mengenal.