Bab 7 Ambil Uang Anda

1651 Kata
Joseph berusaha tidak terpengaruh oleh ledakan emosi itu. Tatapannya tenang, dingin, dan penuh kendali. Wajahnya yang tampan tanpa ekspresi itu seperti tembok batu yang tak bisa ditembus oleh kata-kata Elaine. “Mari kita bicarakan ini di tempat lain,” katanya dengan lebih rendah, tapi tetap penuh otoritas. Elaine terdiam, nafasnya masih tersengal oleh kemarahan. Meski hatinya menolak, dia tahu tidak ada gunanya membuat keributan di sini. Orang-orang sudah mulai memperhatikan mereka. Dengan tatapan tajam, dia mengangguk pelan, meskipun dalam hatinya bergolak. Mereka kemudian berjalan menuju mobil Joseph, suasana di sekitar mereka seperti berhenti sejenak. Elaine bisa merasakan tatapan heran dari beberapa orang yang lewat, tetapi dia mengabaikannya. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran, bagaimana pria ini berencana untuk “menyelesaikan” masalah yang telah menghancurkan kehormatannya. Di sisi lain, Joseph menatap lurus ke depan, langkahnya tetap teratur, meski ada sedikit ketegangan di tubuhnya. Ini harus diselesaikan. Tidak ada jalan lain. Dia membuka pintu mobil untuk Elaine, kursi penumpang di sebelah pengemudi, lalu dia berjalan memutar untuk duduk di belakang kemudi. Di dalam mobil yang bergerak perlahan meninggalkan halaman parkir rumah sakit, Joseph melirik ke arah Elaine yang duduk diam di sampingnya. Mereka baru beberapa beberapa menit berada di jalan raya dan telah terjebak macet. Biasa di jam-jam pulang kerja. Cahaya matahari sore yang lembut menyorot masuk melalui jendela, menerangi wajahnya yang cantik, dengan kulit halus yang sempurna dan garis wajah yang tegas namun feminin. Rambut cokelat gelap yang dikuncir, menyisakan anak-anak rambut yang jatuh membingkai wajah, dan mata cokelatnya yang tajam memancarkan kekuatan, meski ada keletihan dan amarah tersembunyi di dalamnya. Ada sesuatu yang menawan dari cara Elaine menjaga ketenangan di tengah kemarahan yang membara di dalam dirinya. Namun, kebencian itu terlihat jelas, membuat jarak tak kasat mata di antara mereka. “Kita cari tempat yang lebih tenang?” Tawar Joseph. “Tidak perlu, Tuan. Bicara saja di sini.” Elaine menjawab sambil menggeleng tegas. Joseph menurut, tidak memaksakan diri menyadari tembok permusuhan yang berdiri tegak di antara mereka. Dia menatap lurus ke jalan macet di depannya, kebingungan harus memulai dari mana, sambil mencoba menahan gejolak perasaan bersalah yang kembali menyerbu dirinya. ‘Apa yang telah kulakukan?’ Pikirnya. Jari-jarinya mencengkeram kemudi dengan kuat. Di balik topeng pria dingin yang selama ini dikenakannya, ada rasa bersalah yang mendalam, meskipun tak diungkapkan dengan kata-kata. “Apa yang ingin Anda bicarakan, Tuan?” Elaine bertanya, tidak sabar. Joseph menarik napas panjang, mencoba menimbang-nimbang kalimat yang harus dia ucapkan yang setidaknya tidak akan terdengar menyakitkan di telinga gadis dengan wajah pucat di sampingnya. Namun tidak akan ada kalimat yang baik untuk situasi mereka. Joseph menyerah, dan mulai berbicara, "Dokter Wellis, saya ingin menyelesaikan masalah ini... dengan cara yang terbaik." Suaranya tetap dingin dan tegas seperti biasanya, tapi ada sedikit keraguan yang muncul di akhir kata-katanya. Elaine, di sampingnya, hanya mengangkat kedua alis alaminya yang tebal dan melengkung cantik. Dia menunggu penjelasan Joseph lebih lanjut. Joseph mengeluarkan sebuah kartu ATM Prioritas, menyerahkannya kepada Elaine dengan gerakan hati-hati. "Sebagai permintaan maaf saya..." Kata-kata Joseph tertahan oleh perasaan canggung, melihat bagaimana Elaine memalingkan kepalanya perlahan, menatap kartu itu, lalu menatap matanya langsung. Sejenak ada kilatan terkejut di matanya, sebelum tatapan itu berubah menjadi dingin. Dengan tangan gemetar, dia menolak kartu tersebut tanpa menggerakkan bibirnya. Joseph terdiam. Ini bukan reaksi yang dia duga. Dalam pikirannya, uang selalu menjadi solusi bagi banyak masalah. ‘Bukankah semua orang butuh uang?’ pikirnya. Namun, apa yang terjadi selanjutnya tak terduga. Elaine akhirnya berbicara, suaranya bergetar oleh emosi yang ditekan. "Anda berniat membayar kehormatan saya? Anda salah besar!" Setiap kata yang keluar dari mulutnya penuh dengan penolakan yang tegas, bibirnya gemetar karena amarah yang ditahannya. Matanya menatap Joseph tajam, tanpa sedikit pun rasa takut atau tunduk. "Saya tidak menjual diri saya demi uang. Jangan kira harga diri saya semurah itu." Joseph terkejut. Ia tak pernah bertemu seseorang yang menolak tawaran semacam ini—terlebih dengan nada yang begitu tegas. Bingung bagaimana harus menanggapi, ia hanya bisa menatap Elaine dengan lidah kelu. Joseph tidak siap dengan reaksinya yang seperti ini. Elaine melanjutkan, suaranya semakin keras, namun tetap terkendali. "Ambil uang Anda," ia menepis kartu itu, mendorongnya kembali ke tangan Joseph dengan kasar. "Dan jangan mengganggu saya lagi." Hening menyelimuti mobil itu. Joseph, meskipun wajahnya tetap tenang, bisa merasakan dinginnya penolakan yang begitu menusuk. Joseph bisa merasakan kebenciannya. Untuk pertama kalinya, dia merasakan ketidakberdayaan dalam situasi ini, sesuatu yang jarang ia hadapi dalam hidupnya. Elaine menatap tajam ke arah pria di sampingnya. Dia merasa sangat terhina. ‘Kenapa aku harus ikut dengan dia?’ pikirnya dengan penuh penyesalan. Joseph tetap diam, matanya tertunduk, tapi kemudian ia berkata dengan suara yang terdengar lebih lembut, "Saya minta maaf." Elaine tercengang. Ini yang kedua kalinya dia mendengar kalimat maaf itu, namun kali ini caranya mengucapkan berbeda, membuat Elaine menoleh, menatapnya. "Saya sedang dalam pengaruh obat perangsang malam itu," lanjut Joseph dengan nada yang terdengar hampir putus asa. "Seseorang menjebak saya." Elaine mengangkat alisnya, rasa curiga menyelimutinya. ‘Apakah ini hanya alasan?’ pikirnya. Ia memang ingat bahwa ada yang aneh dengan perilaku pria itu pada malam mengerikan itu—seperti ada sesuatu yang mempengaruhi kesadarannya. Tapi, apakah itu cukup untuk memaafkan pria di hadapannya ini atas semua yang terjadi? Elaine menggelengkan kepala, berusaha membersihkan pikirannya. Tidak! Dia tetap penjahat. Pria ini akan selalu menjadi sosok yang dikenang karena kesalahannya. Baginya, apa yang sudah terjadi tak bisa dihapus begitu saja dengan penjelasan sederhana. Namun, Joseph tidak menyerah. Dengan wajah tegang, dia kembali menjejalkan kartu ATM Prioritas dengan saldo sangat besar itu ke tangan Elaine. "Ini memang tidak akan bisa memperbaiki apapun, tapi saya tahu, ini akan berguna di tangan Anda," ujarnya tegas. Elaine menatap kartu di tangannya dengan jijik, lalu mengibaskan tangannya keras, hingga kartu hitam itu jatuh ke lantai mobil. "Tolong, jangan ganggu saya lagi," ucapnya, suaranya penuh ketegasan dan amarah. Joseph menatapnya dengan sorot mata putus asa. Namun, sebelum dia bisa mengatakan apapun lagi, Elaine dengan cepat membuka pintu mobil, tidak peduli bahwa mereka sedang terjebak macet di tengah jalanan kota yang ramai. Dia turun dengan gerakan cepat, tanpa melihat ke belakang. Joseph hanya bisa menatap dengan bingung saat sosok Elaine berjalan menjauh dengan langkah cepat, hampir setengah berlari di antara deretan mobil-mobil yang berhenti. Sosoknya kecil namun teguh, seakan melawan dunia yang tidak adil kepadanya. Joseph memutar kemudi perlahan, simpul macet sangat kuat, jadi mobilnya hanya bisa beringsut perlahan seperti siput. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa membiarkan Elaine pergi. ‘Apa gadis itu benar-benar tidak peduli soal uang?’ tanyanya dalam hati, merasa tak habis pikir. Biasanya, orang-orang akan langsung menerimanya—bahkan merasa beruntung. Tapi Elaine berbeda. Dia malah menunjukkan kebencian yang sangat jelas. Joseph menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, merasakan perasaan kesal yang tidak bisa diabaikan. Dia menghela napas panjang, menutup matanya sejenak. ‘Bodoh!’ batinnya, merasa kecewa pada dirinya sendiri. Dia tahu bahwa menawarkan uang adalah kesalahan besar. Tapi apa lagi yang bisa dia lakukan? Itu satu-satunya cara yang terpikir olehnya untuk menyelesaikan masalah tanpa melibatkan emosi lebih lanjut. Namun, reaksi Elaine yang begitu tajam membuat Joseph sadar bahwa masalah ini jauh dari selesai. Gadis itu tidak hanya menolak uangnya, tapi juga memandangnya dengan kebencian yang mendalam. Itu bukan sekadar penolakan, melainkan pernyataan bahwa dia takkan pernah melupakan atau memaafkan apa yang terjadi malam itu. Dan hal itu membuat Joseph semakin tertekan. Dia tidak ingin kesalahan sesaat ini terus menghantui hidupnya atau berdampak buruk di masa depan. Pikiran Joseph terus melayang ketika ponselnya tiba-tiba berbunyi, memecah keheningan. Dia meraih ponsel di sakunya, melihat nama yang muncul di layar. Sebuah panggilan dari luar negeri. "Ya, ada apa?" jawabnya dengan nada tegas setelah menghubungkan panggilan itu. Suara dari ujung telepon menjelaskan bahwa perusahaannya di luar negeri sedang menghadapi masalah mendesak. Sesuatu yang tidak bisa diabaikan dan membutuhkan kehadirannya secepat mungkin. “Baiklah. Saya akan segera ke sana.” Jawab Josep singkat dan tegas. Joseph menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. Dia lalu menghubungi asistennya, "Siapkan keberangkatan saya untuk besok pagi-pagi sekali.” Ujarnya lalu menutup telepon. Dia memandang keluar jendela, pikirannya masih penuh dengan Elaine meskipun masalah lain kini menuntut perhatiannya. ‘Masalah ini belum selesai,’ gumamnya dalam hati. Tapi untuk sementara waktu, dia harus fokus pada urusan bisnis yang mendesak ini. *** Elaine mendorong pintu kosannya dengan keras, membiarkan suara decit engsel yang menusuk itu memenuhi lorong sempit di luar kamarnya. Perasaan marah menguasai seluruh tubuhnya, membuat setiap gerakannya terasa berat dan dipenuhi amarah. Dia menutup pintu dengan kencang dan berdiri di tengah ruangan, tangan mengepal di sisi tubuhnya. Napasnya tersengal, sementara pikirannya penuh dengan cemoohan terhadap pria itu. ‘Pria kaya itu... dia pikir uang bisa memperbaiki segalanya?’ batin Elaine. Dia berjalan mondar-mandir di kamar kecilnya, tangannya bergerak gelisah. Wajah pria itu, dengan sikap angkuh dan sombongnya, terus terbayang di pikirannya. Meskipun pria itu menawarkan permintaan maaf yang terdengar seperti kalimat yang dipaksakan, semuanya terasa kosong. Elaine tahu bahwa apa yang terjadi padanya lebih dari sekadar "kesalahan." Pria itu telah merenggut sesuatu yang tak bisa dikembalikan dengan uang—kehormatannya. “Aku tidak butuh uangnya! Aku tidak akan pernah menjual diriku seperti itu! Dasar pria bajingann!” Rutuk Elain kesal. Dia menendang kaki meja dengan frustrasi, meskipun tahu itu tidak akan merubah apapun. Kemarahan yang membara di dalam dirinya semakin kuat seiring dengan munculnya rasa benci yang terus bertambah. Setiap kali dia mengingat bagaimana pria itu memandangnya, menawarkan uang seolah-olah itu bisa menyelesaikan semuanya, Elaine merasa seakan harga dirinya diinjak-injak. Dia duduk di tepi tempat tidurnya, menutupi wajah dengan kedua tangannya. Semua kebencian dan rasa jijik memenuhi dirinya. Dia tak tahu siapa pria itu selain bahwa dia kaya raya. Orang-orang seperti dia memang selalu berpikir bahwa mereka bisa membeli apapun, termasuk kehormatan manusia lain. ‘Dasar laki-laki mesumm sialann!’ Elaine menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di ujung matanya. ‘Pria itu... dia pantas mendapatkan kebencianku. Aku tak akan pernah lupa apa yang dia lakukan.’ Batinnya sakit hati. Lebih baik pria itu tidak mencarinya, dari pada sekarang semuanya kembali terasa begitu perih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN