Bab 3 Tetap Kuat

992 Kata
Elaine diselimuti kesedihan dan perasaan terhina. Dia berpikir untuk melaporkan kejadian itu pada pihak berwajib, tetapi dia ingat konsekuensi yang akan mengikutinya. Pria yang melakukan ini padanya adalah seorang pria kaya dan sepertinya memiliki kekuatan besar, yang tentu saja tidak akan membiarkan reputasinya terancam. Orang-orang dalam kelompok itu adalah orang-orang yang tidak tersentuh. Selain itu, dalam kasus seperti ini, biasanya yang akan menerima konsekuensi yang paling besar adalah korban, bukan pelaku. Tidak! Dirinya belum siap menerima stigma negatif yang akan disematkan padanya. Bagaimana pun, dia seorang wanita dewasa, dengan tingkat pendidikan tinggi pula, akan menjadi lelucon di luar sana ketika dia melapor sebagai korban rudapaksa. Saat ini dia sedang berusaha menampilkan citra terbaik dirinya. Dia sedang berjuang untuk mendapatkan beasiswa, reputasinya harus tetap tanpa cacat. Jadi Elain memutuskan untuk mengobati dirinya sendiri, lalu melupakan kejadian itu, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia sudah mengambil keputusan, walaupun begitu berat. Masa depannya lebih penting, dan dia akan terus berjuang untuk itu. Elaine Wellis tidak akan menyerah. ** Entah berapa lama dia tertidur, Elaine terbangun oleh panas sinar matahari yang masuk melalui celah gorden dan tepat jatuh di wajahnya. Refleks dia bergerak cepat meraih ponsel di meja belajarnya yang berada tepat di samping ranjang. Sontak erangan pelan meluncur dari bibirnya. Dia lupa akan kondisinya dan merasakan nyeri di bagian bawah tubuhnya, mengingatkan kembali pada kejadian semalam. Mimpi buruk itu akan terus menghantuinya, mengulangi adegan kelam yang akan mengubah segalanya. Dia memaksa dirinya untuk bangkit dari tempat tidur, mengusap wajahnya dengan tangan bergetar. “Hal mengerikan itu sudah berlalu. Lupakan dan lanjutkan hidupmu, Elaine,” bisiknya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri meski suara hatinya berteriak sebaliknya. Mengalihkan pikirannya, Elaine memeriksa ponselnya. Sudah pukul 08.15 WIB. Dia melihat panggilan tak terjawab dari Marissa dan pesannya yang bernada khawatir. Elaine cepat-cepat mengetik pesan balasan, agar sahabatnya tidak khawatir lagi. [Aku baik-baik saja, Ris. Hanya kelelahan, jadi bangun telat. Aku nanti masuk agak terlambat.] Pesan terkirim dan langsung dibaca. Elaine tersenyum melihat jempol dan emoticon wajah penuh senyum sebagai balasan dari Marissa. Elaine segera turun dari ranjang dan melangkah ke kamar mandi. Cermin di depan wastafel memantulkan gambaran seorang wanita yang terlihat lelah, dengan mata sembab dan bayangan gelap di bawah matanya. Dia menatap dirinya sendiri, berusaha mencari kepercayaan yang dulu mengalir dalam dirinya. “Aku bisa melewati ini,” bisiknya, berjanji pada diri sendiri. Elaine mandi cepat-cepat mengabaikan rasa nyeri. Dia harus fokus pada pekerjaannya karena ini adalah tiketnya untuk naik ke level berikutnya, meraih gelar Dokter Spesialis Bedah Ortopedi. Elaine terlambat sepuluh menit dari jadwal kerjanya yang jam Sembilan pagi. Marissa masih berada di ruang ganti dan menyambutnya ceria. “Ellie! Aku membawa sarapan untukmu!” serunya, memasuki ruangan dengan keceriaan yang kontras dengan suasana hati Elaine. Elaine tersenyum lemah. “Terima kasih, Riss. Kau tahu, aku butuh semua energi yang bisa kudapatkan.” Dia tidak sempat memasak dan berharap untuk sarapan di kantin rumah sakit. Marissa memperhatikan wajah Elaine yang lelah. “Kau terlihat tidak sehat. Apa kau baik-baik saja? Kalau tidak sehat, kamu bisa minta ijin.” Elaine menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air mata yang ingin mengalir. “Tidak apa-apa, Ris. Mungkin karena terlalu lelah saja.” Marissa duduk di sampingnya, memegang tangan Elaine, dia melihat mendung di mata Elaine. Ini tidak biasanya. “Wajahmu pucat, dan kamu terlihat murung. Jangan ragu untuk bercerita kalau ada sesuatu, El. Kamu tahu, aku selalu siap membantumu.” Kata Marissa lembut. Elaine mengangguk, tersenyum. Dia akan bercerita pada Marissa, tapi nanti. Sekarang dia perlu asupan makanan untuk memberinya energi menghadapi hari ini. “Mana sarapan spesialmu, Ris? Perutku keroncongan,” ucap Elaine, mengalihkan tatapannya ke meja sahabatnya. *** Sementara itu, di sisi lain kota. Joseph Morgan terbangun di apartemen mewahnya dengan kepala berat. Pelipisnya berdenyut-denyut, menyebar rasa sakit sebagai efek alkohol dan sesuatu yang ada dalam anggur yang dia minum. Sesaat dia merasa linglung, kebingungan dengan apa yang telah terjadi. Namun samar dia mengingat apa yang telah dia lakukan semalam. Dia mengingat wajah cantik yang ketakutan. Wanita itu melawannya dengan sekuat tenaga. Tapi dia telah dikuasai oleh kegelapan yang dia sendiri tidak kuasa menolaknya. Joseph merasakan hatinya bergetar. Dia telah melakukan sesuatu yang sangat kejam. Tapi dorongan itu begitu kuat. Dia tidak bisa melawannya. Dia ingat, sebelum pulang dia menjamu dua orang rekan bisnis baru di kantornya. Mereka minum anggur, sebagai tanda kerja sama sudah disepakati dan akan segera dimulai. Hanya Wita, manajer marketing yang berada di sana dan menuangkan minuman untuk mereka. Saat kedua rekan bisnisnya pulang, dia merasa sedikit pusing dan buru-buru pulang ke apartemennya. Sialann Wita. Wanita itu pasti yang telah melakukan ini padanya. Pantas saja dia berusaha menahannya dengan terus mengajak membahas rencana kerjanya saat itu. Kemarahan bergejolak di d**a Joseph Morgan. Wanita itu akan mendapatkan bagiannya nanti. Dia mengusap wajahnya resah. Untuk pertama kalinya dia tidak bisa mengendalikan insting primitifnya. Dan wanita itu.. di mana dia? Matanya memindai seluruh sudut kamarnya, tidak ada siapa-siapa. Pintu kamar mandi juga dalam keadaan terbuka, wanita itu pasti tidak berada di sana. Apakah dia sudah pergi? Joseph melempar selimut dan bergegas beringsut turun dari ranjang. Saat kakinya menjejak lantai, pandangannya jatuh ke atas ranjang dengan seprei acak-acakan. Matanya membelalak terkejut melihat noda merah di seprei putih itu. ‘Ya Tuhan!’ Tubuh Joseph menegang. Joseph berlari keluar kamar, terus ke ruang tamu. Sepi. Hawa dingin seketika menyergap punggungnya. Dia melihat sekeliling namun tidak menemukan jejak apapun. Wanita itu telah pergi. Joseph berbalik dan pergi ke kamar mandi dengan langkah lesu. Dia melihat bayangannya di cermin besar. Ada bekas cakaran kuku di dadanya. Wanita itu benar-benar berjuang untuk menyelamatkan kehormatannya. Namun dia telah menghancurkannya. Joseph disergap rasa bersalah, serasa meremas kuat jantungnya, hingga dia merasa sesak napas. Dia adalah seorang pria dewasa terhormat, seharusnya tidak melakukan hal keji seperti ini. Sekarang, apa bedanya dia dengan pria-pria b***t yang memiliki reputasi buruk di tengah masyarakat? Joseph melangkah ke bawah shower, memutar keran dalam kekuatan penuh dan membiarkan tubuhnya diguyur air sedingin es. Dia berharap ini bisa mengembalikan akal sehatnya. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN