Bab 22 Apa Salahku?

1125 Kata
Aku satu kos dengan Dahlia, namun dia di lantai dua yang mana ruangannya lebih luas dengan fasilitas AC. Sepertinya semalam dia melihatku pulang diantar oleh Rivan. Suasana kelas masih sepi, ia menghampiri tempatku duduk. "Kamu ada hubungan apa dengan Pak Rivan? Tidak aku sangka kamu perempuan seperti itu." Tatapan Dahlia seperti menuduhku melakukan hal yang tidak-tidak. Aku balas menatapnya dan menjawab. "Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Pak Rivan. Kami tidak sengaja bertemu di jalan, dan dia menawarkan diri untuk mengantarku pulang." Beberapa orang di kelas pun memperhatikan kami, aku yakin mereka mendengar dengan jelas perbincangan aku dan Dahlia. Dahlia mendekatkan wajahnya padaku. "Aku menyukai Pak Rivan. Jadi jangan coba-coba menggodanya," ancamnya. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba memendam rasa kesalku karena dituduh yang bukan-bukan seperti itu. "Aku tidak menggodanya, Dahlia." "Ya. Seharusnya kamu sadar diri." Dahlia kemudian berbisik padaku. "Kamu hanya gadis sebatang kara, Falisha. Jangan kira aku tidak tahu apa-apa tentangmu." Dahlia memelankan suaranya, berbisik padaku. Kemudian ia menarik wajahnya dariku, melipat kedua tangannya di d**a dengan sombongnya, dan berbalik mengibaskan rambutnya kembali menuju tempat duduknya. Memangnya apa yang salah dari seorang gadis sebatang kara? Aku tidak habis pikir. Jangan karena dia kaya dan memiliki segalanya lalu bisa merendahkan aku begitu saja. Aku memang sebatang kara tapi aku tetap seorang manusia dan seorang perempuan yang memiliki harga diri. Ingin aku meluapkan protesku di depan wajahnya, namun aku tahan karena tidak mau mempunyai masalah. Satu hal yang pasti, mulai kini aku harus menjauhi Rivan. Aku tidak mau terlibat masalah seperti saat di Sekolah Menengah Atas. Kuliah hanya untuk emperebutkan laki-laki? Yang benar saja. Dan lagi, aku juga tidak memiliki rasa sama sekali terhadap Rivan. Aliyah dan Safiyah terlihat memasuki ruang kelas bersamaan. Mereka berdua melihatku tengah menatap benci pada Dahlia pun terheran-heran. Si Kembar itu saling menatap dan melemparkan pertanyaan tanpa suara, menyadari hal itu aku segera mengatur napasku dan mengendalikan amarahku. "Kamu kenapa, Fal?" tanya Safiyah lebih dulu. "Tidak apa-apa," sahutku seraya mengambil buku dari dalam tasku. Daripada aku meladeni Dahlia, lebih baik aku menyibukkan diri membaca buku, lebih bermanfaat. Safiyah terlihat membuka mulut untuk kembali bertanya padaku, namun ku lihat Aliyah melarangnya, memberikan kode dengan menggelengkan kepalanya pelan pada kembarannya itu. *** "Kamu kerja disini rupanya?" Nada Dahlia terdengar mengejek. "Iya. Mau pesan apa?" Aku mengeluarkan catatan dan pulpen, bersiap untuk mencatat pesanan Dahlia dan teman-temannya. "Tak ku sangka hidupmu malang sekali, Fal." Kembali aku dengar ejekan Dahlia. Sebenarnya aku punya salah apa padanya? Kenapa dia selalu mengejek dan menggangguku? Sebelum aku menjawab, salah satu teman Dahlia menegurnya. "Dahlia, kamu tidak boleh seperti itu." Teguran temannya malah membuat Dahlia berdecak sebal. Setelah mencatat semua pesanan, aku permisi dan memberitahukan pesanan pada Brian. Aku kerja disini hanya mencatat dan mengantarkan pesanan, sedangkan yang meracik kopi adalah Brian sendiri. Sore hari ini, aku kembali berangkat kerja ke Kedai Kopi Temukan Cinta milik Brian, dan tanpa ku duga malah Dahlia datang kemari bersama kedua temannya. Lagi-lagi ia mengejekku, sepertinya dia benar-benar tidak suka padaku. Padahal aku merasa tidak memiliki salah apa pun padanya. Apa karena aku pulang diantar Rivan? Oh ayolah, Rivan yang menawarkan diri untuk mengantarku dan aku menerima tawarannya. Kami tidak ada hubungan apapun. Aku tidak menaruh perasaan padanya. Untuk apa Dahlia marah padaku? Buang-buang tenaga saja. Lagi pula belum tentu juga Rivan mau denganku. Dan yang jelas belum tentu juga Rivan mau dengannya. Apa jangan-jangan jika Rivan tak mau menerimanya, dia akan menyalahkan aku juga? "Fal? Falisha!" Panggilan Brian membuyarkan lamunanku. "I-ya, Kak? Kenapa?" Aku melihat ke depan apa ada pelanggan baru yang datang, namun rasanya tidak ada. "Kemarin kamu pulang dengan selamat kan?" tanya Brian khawatir. Aku mengangguk. "Aku pulang diantar Kak Rivan, katanya ditelepon Kak Brian. Makasih ya, Kak." "Sama-sama. Lain kali jika sudah jam 9 malam, biarpun kedai sedang ramai, kamu tetap pulang. Jangan memikirkan aku, aku bisa menghandlenya. Kemarin aku takut terjadi sesuatu padamu." "Sebenarnya aku hampir diganggu tiga orang laki-laki yang kemarin, Kak. Untung saja Kak Rivan datang tepat waktu." "Wah benar-benar b******k mereka!" umpat Brian. "Lain kali tidak akan aku terima jika minum kopi disini." "Tidak baik menolak rezeki, Kak." "Tapi mereka membuat pegawaiku hampir celaka." "Aku baik-baik saja, Kak." "Kamu selalu mengatakan seperti itu, Falisha. Tapi aku tahu sebenarnya kamu tidak baik-baik saja." Aku tertawa sumbang. "Kakak bisa saja." Satu mobil terparkir di depan kedai, yang aku sudah hapal, itu mobil Rivan. Sesekali dia memang mampir kemari. Apa Dahlia kemari setelah tahu informasi bahwa Rivan sering ke kedai kopi ini? Aku menjadi sangsi bahwa ini sebuah kebetulan. Aku bisa melihat jelas bagaimana Dahlia menghampiri Rivan dan bersikap manis. "Sore, Pak Rivan." "Sore. Maaf, siapa ya?" Aku hampir tergelak karena Rivan bertanya siapa Dahlia. Dahlia terlihat menahan kesal dan menjawab. "Saya salah satu mahasiswi Pak Rivan. Nama saya Dahlia." Ia mengulurkan tangannya. Rivan dengan ragu-ragu menyambut uluran tangan Dahlia. "Oh, iya. Maafkan saya tidak mudah menghafal nama orang. Falisha saja sampai menyebut namanya tiga kali." Rivan menunjukku dengan dagunya. Aku yang ditunjuk pun tersentak. Kenapa Rivan malah membawa-bawa diriku. Sudah pasti Dahlia akan lebih membenciku setelah ini. "Falisha, aku pesan seperti biasa ya!" seru Rivan padaku. "I-iya, Pak!" Aku segera membalikkan badanku, melihat tatapan menghunus dari Dahlia membuatku merinding. Setelah Brian membuatkan pesanan Rivan, aku mengantarkan ke mejanya yang tepat di samping meja Dahlia. Aku ingin berbalik pergi, namun Rivan menahanku. "Duduk dulu, Fal. Kedai sedang tidak ramai kan?" "Saya mau cuci gelas, Pak." Aku mencoba mencari alasan yang masuk akal. "Kok Bapak? Kita kan sedang di luar kampus," protesnya yang hampir membuatku gila. Tidak tahukah Rivan bahwa ada singa yang siap menerkamku, andai aku bisa berkata berhentilah bersikap akrab untuk saat ini saja. "Permisi, Pak." Aku menunduk sopan dan mengabaikan Rivan. Sudah pasti Rivan bertanya-tanya mengapa tiba-tiba aku bersikap seperti ini. Brian sepertinya melihatku bersikap kaku pada Rivan, saat aku sedang mencuci gelas yang padahal baru saja beberapa buah yang kotor, Brian mendekatiku. "Kamu ada masalah apa dengan Rivan? Bukankah kemarin dia telah menyelematkanmu?" Aku menggeleng dan menoleh sesaat ke meja Dahlia, memastikan dia tidak sedang memperhatikanku. Ku lihat ia sedang mengobrol dengan kedua temannya. Aku pun menoleh pada Brian dan memerankan suaraku. "Di sebelah meja Kak Rivan, ada salah satu mahasiswi yang menyukainya." Brian menoleh pada meja yang aku maksud. "Yang mana?" "Yang pakai baju merah muda, dia teman sekelasku." Aku menjawab tanpa menoleh dan terus membasuh gelasku di wastafel. "Dia dan teman-temannya baru saja pergi." Suara yang bukan dari Brian mengagetkanku. Aku berbalik dan menemukan Rivan di belakangku. Brian tertawa puas, kenapa dia tidak memberitahuku bahwa Rivan ada di belakangku. Aku menatap sebentar pada Rivan, apa dia mendengar percakapanku dan Brian sejak tadi? "Dia baru saja kemari setelah teman-temanmu pergi, Falisha. Aku yakin dia tidak mendengar obrolan kita." Brian berucap santai dan pergi meninggalkan kami berdua. Rivan memicingkan matanya. "Obrolan apa yang kalian maksud?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN