Pendidikan jasmani dan olahraga adalah salah satu mata pelajaran yang paling Raya tunggu di saat-saat lalu, tapi tidak dengan sekarang.
Sekolah Pamannya Kemal ini memang mengajarkan kedisplinan yang tinggi. Jika di beberapa sekolah lain, para guru hanya menyerahkan bola kepada muridnya jika pada mata pelajaran olahraga, dan membiarkan para muridnya untuk melakukan apapun yang mereka mau lakukan. Namun, di sekolah Pamannya, Raya di paksa harus ikut bertanding bermain bola Volly, dan diawasi secara langsung oleh gurunya.
Dan Raya, mau tidak mau harus ikut bermain volly. Sebenarnya bagi Raya itu bukanlah masalah besar. Papanya Afka sudah mengajarinya bermain berbagai bola, mulai bola kaki, kasti, volly, basket hingga billiard. Tapi yang jadi masalahnya, yang sedang berdiri di tengah lapangan ini adalah Raya si nerd, Raya yang tidak bisa melakukan apa-apa, alias payah. Jadi mau tidak mau, Raya akan memperlihatkan seperti apa Raya nerd bermain.
Untuk perempuan, guru olahrganya memerintahkan mereka untuk bermain bola Volly, dan laki-laki bermain bola basket.
Dan baru saja Raya ketahui, bahwa Will dan Bima ternyata sekelas dengannya. Dan dengan bangganya pula Raya mengatakan tadi bahwa ia ada kelas pada Bima, untuk mengelak ajakan pria itu.
Keberuntungan masih berpihak pada Raya, karna saat di perjalanan, ia bertemu dengan Kemal, om nya. Kemal sedari tadi mencarinya untuk mengatakan agar Raya tidak boleh pulang dulu, alias ia harus menghabiskan waktu minggunya di rumah Opanya. Karna berhubung hari ini adalah hari terakhir sekolah, dan biasanya setiap di hari jumat sore, para murid akan pulang dan kembali ke rumah masih-masing.
“Oy, bengong aja lo”
Raya tersentak saat seseorang berteriak di samping telinganya.
Matanya terbelalak, terkejut.
“Lo bisa main volly kan?” Karin, salah satu teman sekelas Raya menatapnya garang.
Dengan gugup, Raya menggeleng pelan.
“Gue enggak mau tau. Lo harus main. Kalau sampai kita kalah, lo berati penyebabnya.” Final Karin seenaknya.
Menghembuskan nafasnya pasrah, akhirnya Raya mengangguk singkat.
Permainan volly akhirnya di mulai. Untuk pertama, Raya berada di posisi sebagai spiker/smasher. Walau tubuhnya yang pendek, hal seperti ini sudah biasa Raya lakukan. Namun berbeda kali ini, ia berkali-kali menghindar bola yang mengarah padanya. Berteriak saat bola akan menabraknya. Dan bukannya memukul bola, Raya malah lari kemana-mana. Belum lagi saat bola lari keposisi orang lain, Raya sok-sokan mau memukul, alhasil orang yang seharusnya mendapat bola itu, tidak jadi maju.
Raya juga berusaha untuk melakukan servis yang berantakan. Alhasil, bola yang ia lempar, bukannya mengarah ke lapangan lawan, malah nyerong ke belakang. Sungguh akting yang hebat, dan Raya bangga akan itu.
Skor 21 : 15
Babak pertama di menangkan oleh tim lawan. Saat mereka tahu bahwa Raya payah dalam bermain volly, mereka selalu melempar bola ke arah Raya, membuat tim Raya semakin kalah jauh dengan tim lawan.
“Lo tau kalau kalah apa hukumannya?” desis Karin.
Raya menggeleng pelan. Jari-jarinya saling meremas. Tingkahnya terlihat seperti gugup dan takut.
“Yang kalah bakal beresin lapangan. Kalau sempat kita kalah, lo sendiri yang beresin lapangan. Cam kan itu!” setelah mengatakan itu, Karin kembali ke posisinya yang semula.
Sedangkan Raya, gadis itu menggeram dalam hati, dan berusaha menyabarkan dirinya. Ia berjanji, nanti, di saat waktu yang tepat, Raya akan menghabisi Karin.
Menghembuskan nafas beratnya, Raya kembali ke posisinya.
Sedangkan di lapangan seberang, Beny menatap gadis itu dengan kawatir.
^^^
Permainan selesai. Dan sesuai prediksi, tim Raya kalah di pertandingan kali ini.
Sudah sepuluh menit yang lalu, teman-teman sekelasnya kembali ke kelas dan meninggalkan Raya di lapangan sendirian. Sesuai perjanjian, Raya lah yang akan membereskan lapangan seorang diri.
Mata gadis itu memandang ke sekitarannya. Ada banyak perlengkapan olahraga yang berantakan. Mulai dari bola basket, voly, matras dan banyak lagi.
Sepertinya, ia akan terlambat masuk ke dalam kelas selanjutnya kali ini.
Menghembuskan nafasnya pasrah, Raya mulai berjalan dengan keranjang di tangannya, mengutip beberapa bola yang berserakan di lantai.
“Nih” sebuah bola basket masuk ke dalam keranjangnya.
Raya mendonggakan kepalanya, dan melihat Beny kini berdiri di hadapannya dengan seragam sekolah. Sepertinya, laki-laki itu tadi menyempatkan diri untuk mandi terlebih dahulu.
“Ray, lo memang enggak bisa main volly ya?” tanya Beny.
Mengerutkan keningnya, Raya memandang Beny bingung.
“Iya, soalnya aku perhatikan, kamu dari tadi habis di marah-marahin Karin karna enggak bisa main dan buat tim kalian kalah” jelas Beny.
Raya terbahak-bahak.
Dilepasnya keranjang bola yang ia pegang ke atas lantai. Raya mengambil salah satu bola volly dari keranjang.
Tanpa kesusahan sama sekali, Raya melakukan shooting bola voly dari jarak 15 meter.
Hap
Bola voly itu masuk dengan mulus ke dalam ring.
Raya mengangkat kedua bahunya, terlihat seperti ingin bersikap songong. “Lihat sendiri. Gue bisa ngelakuin apapun” ucapnya songong. Bola volly aja bisa ia masukkan ke dalam ring basket, apalagi bola basket.
Berdecak, Raya kembali berucap, “Sepertinya lo masih belum kenal teman baru lo ini ya?” tanya Raya. “Nah, kalau begitu, kita ketemu di mall besok. Gue perlihatkan seperti apa gue” ujar Raya final.
Beny memilih bungkam. Ia tak tau harus mengatakan apa.
Raya kembali melakukan tugasnya, mengutip beberapa bola yang berserakan. Sesekali gadis itu mengeluh kelaparan. Jam istirahat untuk makan siangnya, lagi-lagi harus di lewatkan.
“Kamu belum makan Ray?” Beny kembali bersuara.
Raya menganguk, mengiyakan ucapan Beny dengan lemas. Ia kehabisan energi karna berteriak-teriak tadi.
“Pasti stok makan siangnya sudah keburu habis” guman Raya pelan, namun masih bisa di dengar oleh Beny.
“Yasudah, beli aja Ray” sahut Beny. Laki-laki itu sedari tadi memilih berdiri dan memandangi Raya yang mondar mandir untuk berberes. Ia sama sekali tidak berniat ingin membantu.
“Enggak punya uang Ben” jawab gadis itu lesuh.
“Yasudah, aku yang traktir. Uang jajan aku juga masih full kok” ucap Beny.
Raya membelalakan matanya tidak percaya. Sehemat apa Beny sampai tidak membeli apapun selama semingguan ini.
“Seriusan lo?” tanya gadis itu serius.
Beny mengangguk, mengiyakan.
“Hebat lo” Raya bertepuk tangan heboh. “Gue aja dikasih jajan buat seminggu dari hari minggu, hari selasanya sudah habis. Dan terpaksa puasa sampai hari jumat” ucap gadis itu masih dengan takjub.
Beny tertawa. Untuk pertamakalinya, saat ia bertemu dengan Raya
^^^
Meregangkan badannya, Raya kembali melanjutkan perjalanannya menuju kamar asramanya.
Sekolah mereka mulai terlihat sepi, karna beberapa siswa sudah pada berpulangan. Raya baru saja kembali dari rumah Pamannya untuk minta makan, seperti biasanya.
Dan sekarang, ia harus bersiap-siap karna harus pulang ke rumah Opanya. Kedua orangtua dan kembarannya sudah menunggu kedatangan gadis itu di rumah Opa James.
Bam
Raya baru saja menutup pintu kamarnya dengan sedikit kencang.
Tersentak, Raya terkejut saat melihat pemandangan kamarnya.
Seperti dejavu, Bima kembali mendatangi kamar gadis itu.
Ada smirk mengerikan tercetak pada bibir Bima, membuat laki-laki besar itu semakin mengerikan.
“Mm—aau apa lo?” tanya Raya takut.
Bima bangkit dari single sofa yang berada di kamar Raya, dan berjalan dengan langkah pelan menuju gadis itu, membuat Raya semakin terpojok.
Mengelus rambut kepangan Raya, Bima berbisik di telinga gadis itu.
“Gue enggak suka kalau milik gue berdekatan dengan orang lain” ucapnya lembut, namun berbeda dengan ekspresi Bima yang tampak mengeras.
Merinding, bulu kuduk Raya berdiri serentak. Bima benar-benar mengerikan sekarang.
Menelan ludahnya susah payah, Raya mendonggakan kepalanya, menatap manik mata laki-laki itu.
“Maksudnya?” tanyanya.
Bima menjauhi tubuhnya dari gadis itu. Matanya memandang Raya dengan tajam.
“Kalau lo enggak suka hidup lo terusik, cabut sekarang pelet lo” desis Bima.
Allahuakbar.
Pelet lagi, pelet lagi.
Raya frustasi. Kenapa dia tuduh pakai pelet?
Andai saja menyantek dan menjampi orang, halal bagi agama, sejak awal ia bakal menyantet Bima, dan bukannya memelet pria itu agar menyukainnya.