Devin menarik tangan gadis itu menuju ruang kerjanya, kemudian membuka sebuah pintu yang tertutup lukisan besar.
Ada ranjang single bed di ruangan berukuran tiga kali tiga meter. Benar-benar ruangan yang aneh. Apa gunanya ruangan demi ruangan itu dibuat menyatu dan keluar hanya lewat satu pintu. Kamarnya terkesan sangat rahasia, berada di dalam ruang kerja.
"Kamu bisa tidur di sini jika mamaku datang dan menginap. Jika beliau tidak ada, kamu bisa tidur di kamar bawah. Tanya sama Mbok Darmi, kamar mana yang bisa kau tempati."
Devin melangkah keluar sambil merogoh ponsel yang berdering di saku celananya. Meninggalkan Kamalia begitu saja. Gadis itu bingung hendak bagaimana.
Beberapa saat setelahnya segera bergegas menuruni tangga mewah setengah melingkar hingga ke lantai bawah.
"Lia, ya? Mari saya tunjukkan kamarnya." Wanita setengah baya itu tersenyum ramah padanya. Kamalia mengangguk dan mengekori Mbok Darmi menuju kamar bagian belakang.
"Ini kamarmu. Sudah bersih. Istirahat saja dulu, besok baru mulai kerja. Tuan sudah memberitahu tadi, untuk mengajarimu bekerja di sini. Panggil saja aku Mbok Darmi. Dan panggil Tuan pada Tuan Muda."
"I-iya, terima kasih, Mbok. Katanya hari ini saya langsung bisa kerja."
"Oh, begitu. Tuan Muda yang bilang?"
Kamalia mengangguk.
"Ya, sudah. Tunggu perintah Tuan di sini saja sambil istirahat."
Mbok Darmi keluar kamar sambil menutup pintu. Kamalia melangkah ke arah jendela yang terbuka. Hawa dingin dan aroma wangi teh langsung menyambutnya. Ia juga takjub saat menyaksikan pemandangan di luar sana. Hamparan kebun teh yang asri dan beberapa pohon buah-buahan.
Tempat itu laksana surga. Villa megah berdiri di tengah kebun teh. Jauh dari pemukiman penduduk. Bahkan untuk mencapai tempat ini harus melewati hutan pinus dengan jalan yang menanjak dan berkelok.
Dikejauhan tampak sebuah gudang dan beberapa rumah. Mungkin itu tempat tinggal para pekerja. Sebab kemarin kakaknya sempat bilang, ada puluhan orang yang bekerja di perkebunan milik Devin. Di antara mereka terdiri dari pasangan suami istri.
Di bawah sana dekat dengan pagar pembatas antara rumah dan kebun, ada sederet tanaman bunga. Ada mawar, lili, melati, dan peony. Di pojok ada bunga bougenville yang marak dengan bunganya yang berwarna putih dan jingga.
Mungkin akan menyenangkan bekerja di sini. Meski tanpa gaji dan jauh dari kerabat.
Kerabat? Apakah mereka masih bisa dibilang kerabat? Jika selama ini memperlakukan dirinya dan sang kakak tidak seperti layaknya manusia. Setelah kepergian orang tuanya, pada saudara itu berebut untuk mendapatkan harta, dengan dalih akan menjaga dirinya dan Eva dengan baik. Tapi kenyataannya ... sungguh miris.
Jika sekarang ia harus terbelenggu di villa ini sebagai pembayar hutang tidak apa-apa. Setidaknya ia bisa menempati kamar yang layak untuk merebahkan badan. Mungkin juga bisa menikmati makanan yang enak dan layak untuk dimakan manusia.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan. Lia bergegas membuka pintu. Mbok Darmi menyodorkan kotak ponsel kepadanya. "Dari Tuan, untukmu."
"Untukku?"
"Iya. Kata Tuan, ponsel ini jangan sampai ditinggalkan. Harus ikut kemana pun kamu pergi. Jika sewaktu-waktu Tuan butuh apa-apa, kamu bisa langsung menyiapkannya."
Kamalia mengangguk.
Setelah kepergian Mbok Darmi, ia duduk di ranjang sambil memperhatikan benda pipih yang cukup mahal itu. Ia pernah melihat harganya di etalase kounter yang terbesar di kota ini. Tidak menyangka ia bisa menggunakannya, meski hanya dipinjami.
Sebuah panggilan masuk dengan nama Tuan Muda tertera di layar. Lia mendadak gugup untuk menerima panggilan, nada deringnya adalah lagu kesukaannya. Ah, pasti hanya kebetulan saja.
"Ha-hallo."
"Siapkan bajuku untuk acara malam ini. Semi formal. Aku hanya mau kemeja dan celana bahan warna hitam."
"Iya."
"Jangan isi ponsel itu dengan nomor orang lain. Hanya ada nomorku dan nomor rumah ini."
"I-iya."
Panggilan diakhiri.
Kamalia termenung sejenak. Kemudian ia segera bergegas menuju lantai dua. Ponsel masih dipegangnya dengan tangan kiri.
Langkahnya terhenti saat melihat Devin tidur terlentang di kamarnya dengan bertelanjang d**a. Kakinya masih memakai sepatu dan celana jeans itu telah terbuka kancingnya.
"Kenapa diam di situ? Masuklah!"
Tergesa Kamalia masuk ke ruang penyimpanan baju. Dadanya masih berdebar melihat pemandangan baru saja. Apakah pekerjaannya tidak akan semudah bayangannya?
Kamalia mematung di depan lemari pakaian, bingung hendak memilih kemeja warna apa. Terlalu banyak baju di sana. Akhirnya ia mengambilkan kemeja warna biru langit dan celana bahan warna hitam.
"Apakah Anda suka memakai ini?" tanya Kamalia sambil menunjukkan pakaian yang masih tergantung di hanger.
"Letakkan di situ. Aku akan memakainya," jawab dingin Devin tanpa memandang gadis itu.
Kamalia meletakkan baju di sisi pembaringan. Kemudian ia melangkah keluar.
'Orang kaya memang aneh, habis mandi langsung ambil sendiri baju yang sesuai selera kan lebih mudah. Kenapa harus meneleponnya segala.'
Kamalia menggerutu sambil melangkah turun, dari jendela kaca besar ia melihat ada bangunan paviliun di samping rumah. Ada seorang satpam dan dua orang suster sedang menunggu wanita yang duduk di taman bunga.
Rasa penasaran membuatnya melangkah ke dekat jendela kaca. Wanita yang memakai piyama warna jingga itu tampak bicara dengan boneka yang dipegangnya. Tersenyum lantas menangis. Dari sikapnya seperti orang terganggu kejiwaannya.
Kamalia bergegas ke dapur, di sana ada Mbok Darmi dan gadis seusianya.
"Lia, kenalkan ini Sumi."
Gadis berkulit gelap itu menyalami Kamalia sambil tersenyum ramah.
"Mau puding? Ayo, makanlah!" Sumi menyodorkan sepiring puding buah mangga yang telah di potong kecil.
"Apakah ini jam makan?"
Sumi tersenyum. "Ayo, makan aja! Nggak usah lihat ini jam berapa?"
"Biasanya di rumah orang kaya ada banyak peraturan, walaupun hanya sekedar makan."
"Mungkin itu berlaku di rumah lain, di rumah ini tidak. Tuan orangnya sangat baik."
Baik? Semoga saja begitu.
"Ayo, duduk sini." Sumi menarik kursi buat duduk Kamalia. Sedangkan Mbok Darmi masih sibuk menyusun piring bersih di lemari kaca.
Kamalia meraih garpu kecil yang telah tertancap di potongan puding, lalu meyuapkan ke mulut. Perutnya sebenarnya memang belum terisi sejak pagi tadi. Namun ia sudah biasa menahan lapar.
"Oh ya, aku tadi melihat ada seorang wanita dijaga dua suster di paviliun sebelah. Siapa dia?"
Sumi memandang Mbok Darmi.
"Nanti saja kami cerita, Lia," jawab wanita setengah baya itu.
"Habiskan dulu pudingnya, sebelum Tuan memanggilmu lagi." Sumi menggeser puding ke depan Kamalia.
Next ....