Sunyi, Zeron tak segera menjawab pertanyaan Sonya yang tampak khawatir tentang permintaannya. Hal itu dapat dibuktikan dengan dinginnya tangan Sonya dalam genggaman Zeron.
"Tentang yang semalam-"
"Iya, sudah saya maafkan." Secara alami, lidah Sonya angkat bicara dan mendahului ucapan Zeron seketika.
Hal itu terjadi lantaran dia kesal atas permintaan maaf pasca merenggut kesuciannya tadi malam.
Padahal, yang ingin Zeron katakan bukan hal itu. "Bukan, bukan itu yang ingin saya katakan."
"Terus apa?"
"Apapun itu, tolong jangan mengadu ... baik pada ibumu, ataupun pada mama."
Sonya terdiam sesaat, dia menarik kesimpulan bahwa suaminya ini memiliki ketakutan tersendiri kepada orang tua, terkhusus mama.
Cukup mengejutkan juga, ternyata pria yang digadang-gadangkan sebagai kulkas empat pintu itu merupakan golongan anak mama.
Andai saja dia membocorkan rahasia ini pada teman-temannya, bisa dipastikan seorang Zeron Athariz akan menjadi topik pembicaraan mereka selama berminggu-minggu, bahkan mungkin hingga masa magang selesai.
Menghadapi hal ini, Sonya bersikap tenang meski dia merasa lucu dan berusaha menahan tawa.
"Selain karena ini termasuk privasi kita berdua, apa yang saya lakukan bisa jadi petaka dan besar kemungkinan Mama akan marah."
"Hem, tenang saja kalau soal itu ... saya juga tahu," ucap Sonya menanggapi dengan wajah datar.
Perlahan, dia menarik pergelangan tangannya yang sedari tadi masih Zeron genggam. Entah nyaman atau takut dia melarikan diri, Sonya juga tidak mengerti.
Dia juga enggan memikirkan hal semacam itu lebih lama, dan kini fokus pada yang menjadi kewajibannya.
Mencuci piring kotor dan membuang sampah-sampah bekasnya. Setelahnya, Sonya merapikan sedikit bagian dapur kecil yang sebenarnya sudah begitu bersih sejak awal Sonya menginjakkan kaki di tempat ini.
Sesuai dengan citra yang digambarkan tentang sosok Zeron di kantor, pria itu perfeksionis. Semua barangnya tertata, sangat rapi dan sedikit berbanding terbalik dengan penataan kamarnya.
Meski sebenarnya dipengaruhi oleh interior yang memang terlihat megah dan mewah, tapi kembali lagi ke penghuninya jika memang jorok, maka jorok saja.
"Rapi banget, wajar laporan buatanku waktu itu dia robek begitu saja," gumam Sonya pelan, senyum tipis terbit di wajah cantiknya tanpa sadar.
Masih dia ingat betul tatkala Bu Mega memintanya latihan membuat laporan untuk diserahkan secara langsung pada Zeron, dan berakhir dirobek tepat di depan matanya.
Tak ayal, Sonya bahkan sampai menitikkan air mata setelah keluar dari ruangan Zeron. Sungguh tak disangka, tadi malam dia akan kembali menangis akibat ulah Zeron untuk kedua kalinya.
"Ehem!!"
Deheman Zeron seketika membuat lamunan Sonya buyar. Dia menoleh dan di sana, Zeron tengah merapikan kemeja juga meraih jas yang tadi sempat dia lepas.
Kemungkinan akan kembali pergi ke kantor, tapi untuk berbasa-basi lidah Sonya terlalu kaku sejauh ini.
Dari tempatnya berdiri, Sonya bisa melihat dengan jelas Zeron mengeluarkan sejumlah uang dari dompetnya untuk dia letakkan di atas meja.
"Nanti malam kemungkinan saya tidak pulang ... ada banyak restoran di sekitar tempat ini atau, kalau kamu tidak kuat jalan delivery saja," ucapnya terdengar seperti perhatian, tapi justru berakhir membuat wajah Sonya memerah.
Kata-kata tidak kuat jalan seolah bermakna lain karena tadinya, Sonya memang kerap kali dibopong seolah tidak bisa berjalan dengan lancar.
Ingin rasanya Sonya membantah, tapi dia memilih mengiyakan agar masalahnya tak kian panjang saja. "Iya, Pak, terima kasih."
Kaku sekali lidah Sonya hanya untuk mengucapkan terima kasih, dan hal itu juga makin menjadi tatkala Zeron mengimbangi sikapnya.
Tanpa banyak bicara, Zeron kemudian benar-benar berlalu pergi. Meninggalkan Sonya yang seketika terduduk lemas dengan wajah yang kian memanas.
Beberapa lembar uang tunai di atas meja adalah alasan dia sampai bersikap demikian. "Jadi makanku masih dia tanggung ceritanya?"
Sonya sungguh tak percaya, matanya berbinar dan ketika menghitung sejumlah uang untuk makan hingga nanti malam itu, dia semakin menggila.
"Gi-la, dia salah ngasih atau gimana sebenarnya?" Sonya kembali memastikan berapa jumlahnya, dan dia yakini tidak salah.
Uang untuk makan yang Zeron berikan cukup untuknya satu bulan, jumlah yang fantastis bagi seorang Sonya yang bahkan sayang mengeluarkan uang untuk makan sepotong ayam.
Seketika itu, mata Sonya berembun. Dia tak habis pikir dengan kehadiran pria asing yang semudah itu mengeluarkan sejumlah uang untuknya.
Padahal, di sisi lain ayah kandungnya saja tidak bersedia membayar setengah dari yang semesterannya dengan alasan Kania, saudara tirinya juga kuliah.
"Siapapun kamu, terima kasih ya," ucapnya lembut sembari menatap lukisan wajah Zeron yang dipajang cukup besar di ruangan itu.
.
.
Zeron memberikan sejumlah uang untuknya makan dengan alasan dia tidak bisa pulang.
Namun, Sonya justru menggunakan uang itu untuk yang lain. Memang benar untuk makan, tapi tidak sendirian melainkan ibunya.
Tidak ada drama tidak kuat jalan seperti yang Zeron katakan. Karena pada faktanya, ke rumah sakit yang jarak tempuhnya lumayan, Sonya bahkan jalan kaki sendirian.
Jika ditanya alasannya, jelas karena dia terbiasa. Dibesarkan dengan penderitaan, kurang kasih sayang sejak kedua orang tuanya bercerai dan seolah tak punya ayah lagi sejak ayahnya resmi menikah lagi dengan janda anak satu yang merupakan penyebab utama Sonya menjadi anak broken home.
"Kamu kok ke sini? Bukannya harus magang, Nak?" Suara lembut ibunya mengunus tepat di hati Sonya.
Usapan lembut di puncak kepalanya terasa begitu menenangkan, tapi juga menyakitkan.
Wajah pucat ibunya tak henti-hentinya membuat Sonya terluka, dan karena wajah itulah yang membuat Sonya sampai nekat menjadi istri bayaran Zeron.
"Ehm, hari ini aku pulang cepat, Bu, sengaja ... oh iya, aku bawa buah-buahan banyak!!"
"Uang dari mana, Sayang? Kamu kerja sampingan lagi sekarang?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir pucat Nirina, sang ibu.
"Ih, ibu kok lupa sih ... aku 'kan sudah menikah."
"Aduh." Wanita paruh baya itu tampak menepuk jidat. "Maaf ya, ibu lupa kalau putri semata wayang ibu ini sudah menikah."
Hanya senyum tipis yang Sonya berikan sebagai respon. Meski demikian, di balik itu ada luka mendalam karena semakin hari, dia menyadari daya ingat ibunya kian melemah.
Hal itu menunjukkan bahwa penyakit ibunya kian parah, tapi Sonya tak menyesal sedikit pun tentang apa yang dia lakukan.
"Oh iya, suamimu mana? Dia tidak ikut?"
"Ehm, masih sibuk, Bu, mungkin lain kali beliau bisa jenguk." Begitu hati-hati Sonya bicara, tak ingin sampai membuat ibunya khawatir dan menerka-nerka.
Anggukan Nirina berikan sebagai jawaban, disertai helaan napas panjang beberapa saat setelahnya.
Tatapannya berpindah ke langit-langit kamar, ada harapan yang dia layangkan seiring dengan usapan lembut di puncak kepala putrinya.
"Onya ...."
"Iya, Bu? Kenapa?"
"Boleh ibu tanya sesuatu?"
Sonya mengangguk mantap, tanpa keraguan meski dia tidak tahu apa pertanyaan yang akan dilayangkan ibunya. "Apa suamimu memperlakukanmu dengan baik?"
Pertanyaan jebakan, dan Sonya harus menjawab dengan penuh kehati-hatian.
"Iya, Pak Zeron memperlakukanku dengan baik, Bu."
"Pak?"
"Iya, aku memanggilnya Pak karena dia memang atasan di kantor tempat Onya magang, Bu." Sama seperti menjelaskannya untuk pertama kali, Sonya begitu sabar menghadapi sang ibu.
Sejak dulu dia sudah membiasakan diri, dia tidak marah meski ibunya bertanya berulang kali.
"Oh begitu."
"Iya, Bu, begitu ceritanya."
"Tapi ...." Suara wanita itu terdengar berbeda, dan Sonya sudah sangat siap mendengar kelanjutannya. "Apa tidak terlalu membahayakan, Nak?"
"Hem? Membahayakan gimana, Bu?"
"Menikah dengan laki-laki kaya, akan berpotensi membuatmu dibuang begitu saja ... seperti ibu contohnya."
Jantung Sonya berdetak lebih cepat tatkala mendengar ungkapan hati sang ibu. Sedalam itu luka ibunya, di saat dia melupakan segala hal di dunia, otaknya bahkan tetap ingat bagaimana dia dibuang mantan suaminya, ayah Sonya.
Dan, tentang ini, Sonya tetap punya cara untuk meyakinkan, sama seperti yang telah dia lakukan sebelum-sebelumnya.
"Bu, tentang ini Ibu tenang saja ... aku sudah pernah jelasin sama ibu, Pak Zeron berbeda, dia tidak seperti ayah kok."
"Benar begitu?"
"He'em, Pak Zeron bahkan nggak punya pacar ... dan dia menikahiku memang karena sudah butuh istri, begitu katanya, Bu," ungkap Sonya disertai senyum hangat.
Alih-alih mengadu seperti yang Zeron takutkan, Sonya bahkan rela berbohong bahkan membuat citra Zeron sebaik itu di mata sang ibu.
Senyum hangat di wajah Nirina terukir indah, dan hal itu cukup menenangkan bagi Sonya.
Mereka berbagi cerita cukup banyak, bahkan hari mulai berganti. Dan, sebagai balasan karena tadi malam dia tak menemani ibunya, malam ini Sonya berencana untuk tidur di rumah sakit.
"Perlu izin nggak ya kira-kira? Tapi kalau misal izin lewat mana? Kan aku nggak nyimpen nomor pribadinya ... kalau lewat Mas Boby, nanti dianggap berlebihan kan ini masalah pribadi." Sonya tampak frustrasi, dia menatap ponselnya berkali-kali dan menimbang keputusan.
Cukup lama Sonya mondar-mandir di depan ruang rawat ibunya, sampai pemilik wajah ayu itu menarik keputusan segera. "Ah sudahlah, lagian dia juga nggak pulang ... besok, aku pulang pagi-pagi saja, dia kan nggak akan tahu kalau aku nggak bilang."
"Iya-iya, begitu saja deh." Begitu keputusan Akhir Sonya sebelum kemudian kembali masuk ke ruangan rawat ibunya.
Saat masuk, harta paling berharganya itu sudah terlelap dan Sonya masuk dengan hati-hati.
Beberapa saat menunggu, dia merebahkan tubuh di sofa dan sudah siap untuk tidur karena memang cukup lelah.
Tak disangka, tepat ketika dia hendak menutup mata ketukan terdengar dari luar dan beberasa saat setelahnya, pintu terbuka.
Rasa kantuk Sonya seketika musnah, dan matanya membulat sempurna tatkala menyadari siapa yang kini berdiri tepat beberapa meter tepat di hadapannya.
"P-pak Zeron?"
.
.
- To Be Continued -