Bab 4. Rencana Pernikahan

1375 Kata
Meskipun hati Bara terasa seperti dililit belenggu berat, ia tahu keputusannya untuk menikahi Alexa adalah satu-satunya jalan untuk menebus kesalahannya. Ia telah menodai kehormatan Alexa dan kini, tuntutan tanggung jawab mendesaknya untuk bertindak sebagai seorang pria sejati. Sisi lain cerita, Alexa yang sepenuh hati mencintai Bara, merasa tercekat dengan dilema yang dihadapinya. Harapan untuk bersanding dengan Bara, kini tertimbun keraguan mendalam. Tangisannya pecah saat mendengar ultimatum dari ayahnya yang mengharuskan mereka berdua meninggalkan rumah setelah pernikahan. "Pa, apa Papa benar-benar udah nggak sayang lagi sama aku? Kenapa Papa tega mau mengusir aku?" isak Alexa, perasaan terluka memenuhi suaranya. Alex, ayah Alexa, menyampaikan dengan nada tegas yang tidak bisa dibantah, "Alexa, ini bukan tentang sayang atau tidak sayang. Setelah menikah, kamu akan berada di bawah tanggung jawab suamimu. Memang sudah sepantasnya kamu meninggalkan rumah ini." Di tengah situasi yang menyayat hati, Alexa merasa dirinya seperti diadili oleh takdir. Sedangkan Bara berjuang melawan rasa bersalah yang menggurita, keduanya terperangkap dalam jalinan nasib yang ironis. "Tapi Pa, tidak seperti itu juga caranya!" Delia menahan isak sambil berusaha menjelaskan kebenaran kepada suaminya, Alex. "Mama tahu, Papa sebenarnya tidak tega melakukan hal ini terhadap Lexa dan Bara. Papa hanya sedang marah terhadap mereka, 'kan? Lagi pula, Mama tidak akan bisa hidup jauh dari Lexa. dia anak kita satu-satunya, Pa," serunya dengan mata yang berkaca-kaca. "Ma, sudahlah, anak kita sudah dewasa. Bahkan, dia sudah bisa melakukan kesalahan di luar batas," tukas Alex dengan suara tegas, namun terdengar kesal. "Tapi, kami sudah mengakui kesalahan itu. Maafkan kami, Pa. Aku dan Om Bara juga akan bertanggung jawab atas kesalahan yang sudah kami perbuat," kata Alexa, dengan suara bergetar mencoba menahan tangis. "Papa dengar itu 'kan? Bara tidak akan meninggalkan Alexa. Alexa juga sudah cukup dewasa untuk menikah, tidak ada yang salah dengan itu." Delia mencoba membela putrinya, namun Alex sudah memiliki keputusan yang tidak tergoyahkan. "Sudahlah, keputusan Papa sudah bulat. Sekarang kita langsung rencanakan saja pernikahan mereka dan setelah itu mereka harus keluar dari rumah ini." Alex memotong pembicaraan dengan nada yang keras dan tanpa kompromi, sebelum dia berlalu meninggalkan mereka bertiga. Alexa hanya bisa terduduk lemas, air matanya tak dapat terbendung lagi hingga mengalir deras. "Ma, gimana ini? Papa marah banget sama aku. Papa sudah mengusir aku dari rumah, Ma." Alexa terisak, keputusasaan menyelimutinya seperti awan gelap yang tak bisa dihindari. "Maafkan Mama, ya, Sayang. Sejujurnya, Mama juga tidak setuju dengan keputusan Papa, tapi Mama merasa tidak berdaya untuk saat ini," ucap Delia dengan perasaan bersalah. "Kalian berdua juga tahu, kalau Papa sudah mengambil keputusan, sangat sulit untuk dibantah, apalagi saat ini Papa masih dikuasai emosinya. Jadi, jalani saja dulu, ya. Mama janji akan selalu membantu jika kalian merasa kesulitan." "Kak, terima kasih, ya. Walaupun aku tahu aku sudah membuatmu kecewa, tapi kamu tetap memberi dukungan untuk hubungan kami," ucap Bara dengan tekad kuat. "Aku janji, setelah menikah, aku akan selalu menjaga dan melindungi Alexa. Aku tidak akan mengecewakan Kak Delia atau Bang Alex lagi." Delia menatap Bara, lalu menjawab dengan tulus, "Kakak percaya sama kamu, Bara. Memang, semuanya sudah terlanjur, jadi kita harus jalani saja ke depannya." Alexa, yang tak kuasa menahan perasaannya, berkata dengan suara tersekat, "Makasih, ya, Ma." Ia lalu menangis di pelukan sang ibu. Delia mengelus kepala Alexa dengan lembut dan berusaha memberi dukungan. "Sayang, sudah ya, jangan menangis lagi. Tapi, sebelum itu, ada hal yang ingin Mama tanyakan," ucapnya dengan ragu, menggantungkan kata-katanya. "Memangnya, Mama mau tanya soal apa?" Alexa merasa penasaran. "Apakah kamu mencintai Bara? Apakah kamu mencintai Om kamu ini?" Tanya Delia yang sebenarnya sudah mencurigai perasaan Alexa sejak lama. Alexa menelan ludah, merasa terdesak dengan pertanyaan yang diajukan oleh Delia. Namun ia tahu tak bisa menyembunyikan perasaan ini lagi, harus berkata jujur kepada orang tuanya. "Iya, Ma. Aku memang sudah lama mencintai Om Bara, tapi dia selalu menolak karena tidak mau mengecewakan Mama dan Papa." Air mata Alexa mulai menetes. "Kalian sudah menganggapnya sebagai adik dan artinya aku adalah keponakannya. Tapi apa yang terjadi malam itu, benar-benar tidak sengaja, Ma," ucapnya penuh penyesalan. Delia menatap Bara, lalu bertanya kepadanya, "Kamu bagaimana, Bara? Jujur dengan perasaanmu." Bara menghela napas berat. "Kak, aku minta maaf. Tapi untuk saat ini, aku sendiri bingung harus menjawab apa." Delia terdiam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terungkap. "Sudahlah, saya mengerti sekarang. Ya sudah, lebih baik kita langsung saja membahas rencana pernikahan kalian. Lebih cepat, akan lebih baik," ucapnya tegas. "Iya, Kak. Aku setuju," sahut Bara. Alexa tak bisa lagi berkata-kata. Hatinya tercabik-cabik. Ia menyetujui keputusan tersebut karena memang itu adalah yang terbaik untuk mereka berdua dan keluarga mereka. Tetapi dalam hati kecilnya, ia merasa kehilangan sesuatu yang berharga, tak ingin merasa terpaksa dan ingin sejenak menikmati rasa cinta yang mereka jalani bersama. Tapi bagaimana? Nasib telah memisahkan jalan mereka, yang tersisa hanya keputusan yang harus diambil untuk kebahagiaan bersama. "Ada apa denganmu, Alexa? Bukankah kamu sendiri yang meminta Bara untuk menikahimu, setelah apa yang terjadi? Kamu juga sangat mencintai Bara, tapi kenapa sekarang Kamu seolah ragu?" batin Alexa, mencari-cari jawaban dari dalam hatinya sendiri. *** Tak memerlukan waktu yang lama bagi Bara dan Alexa untuk mengatur segala rincian rencana pernikahan mereka. Sementara itu, Alex masih dibayangi rasa marah dan kecewa yang mendalam, ia memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali, menegaskan hukuman atas kesalahan yang telah mereka buat. "Pa, apa Papa benar-benar tidak akan membantu sama sekali? Misalnya memberi bantuan berupa uang? Yang mau menikah itu anak kita, Pa," ujar Delia, suaranya bergetar, berusaha meruntuhkan keputusan keras kepala sang suami. "Papa sudah katakan, biarkan mereka bertanggung jawab atas kesalahannya sendiri," sahut Alex dengan nada tegas yang tidak tergoyahkan. "Tapi ini sangat berlebihan, Pa! Oke, kalau Papa tidak mau membantu, tapi jangan mencegah Mama untuk memberikan bantuan kepada mereka," seru Delia, raut wajahnya penuh ketegangan. "Terserah Mama, tapi jangan paksa Papa. Papa hanya cukup hadir dan menikahkan mereka," ucap Alex, sikapnya tetap tak berubah. Delia hanya bisa menghela napas kesal, merasa kecewa atas keteguhan hati suaminya yang seperti tembok yang tak tergoyahkan. Ia meninggalkan ruang kerja Alex, menuju ke ruang keluarga dimana Bara dan Alexa berada, berharap bisa memberikan setidaknya sedikit hiburan dan dukungan yang mereka perlukan. "Bagaimana persiapan pernikahan kalian, Bara, Alexa?" tanya Delia dengan nada yang penuh kekhawatiran. "Sudah hampir 85%, Ma. Rencananya, aku dan Om Bara nggak akan mengadakan pernikahan besar-besaran," jawab Alexa dengan suara bergetar, mata berkaca-kaca. "Aku yakin pasti hal ini akan mengejutkan banyak orang, apalagi aku menikah dengan Om Bara. Aku nggak mau pernikahan ini malah akan membuat Papa semakin malu dan marah." Alexa merasakan sebuah kepedihan yang dalam, sesak yang mencekik di dadanya. Pernikahan, yang seharusnya menjadi momen paling bahagia dan terjadi sekali seumur hidup, terasa berat baginya. Terlebih, menikah dengan pria yang dicintainya namun dengan cara yang demikian, tidak mendatangkan kebahagiaan yang diidamkannya. "Maafkan Mama karena tidak bisa berbuat banyak untuk rencana pernikahan kalian. Tapi percayalah, Mama akan membantu sekuat tenaga," ucap Delia, mencoba menyembunyikan kesedihannya dan memegang tangan Alexa dengan erat. "Mama juga minta maaf, Papa masih keras kepala dan tidak mau mendukung kalian. Tapi, jangan salah sangka, sebenarnya hati Papa sangat baik, Sayang." Kata-kata Delia seolah menjadi nyanyian penghiburan yang menyayat hati, tetapi juga berat, menandakan bahwa dalam mengarungi kehidupan ini, terkadang kita harus berjalan di atas reruntuhan harapan yang pahit. "Sebenarnya, Papa hanya belum siap untuk menerima kenyataan ini, karena dia menaruh harapan besar terhadap kalian," lanjut Delia. "Kak, sebenarnya aku yang harus minta maaf. Aku sudah mengecewakan Bang Alex dan Kak Delia. Tapi, aku juga bingung harus bagaimana sekarang selain melanjutkan semua rencana yang sudah jadi keputusan kita bersama," ucap Bara. "Iya, Ma, aku juga nggak ingin seperti ini. Tapi semuanya sudah terjadi, dan aku minta maaf ya karena udah mengecewakan Maama dan Papa," timpal Alexa lalu memeluk Delia. Di luar dugaan mereka, ternyata Alex sedang berdiri di samping pintu ruang keluarga, menangkap setiap kata yang terucap. Hatinya berkecamuk antara marah, kecewa dan sedih, namun ia merasa sulit untuk menghapus perasaan kecewanya. Bahkan, dengan berat hati, ia rela membiarkan Alexa dan Bara menerima hukuman yang diberikan. Prang! Ketika Alex ingin pergi dari situ sebelum kehadirannya diketahui, ia malah tak sengaja menyenggol vas bunga yang ada di meja samping pintu ruang keluarga, sehingga menimbulkan suara pecahan yang cukup keras. Alexa, Bara dan Delia terkejut, menoleh ke arah pintu untuk melihat sumber suara tersebut. Sejenak, ketegangan menyelimuti ruangan. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN