7. Meet Again

1228 Kata
Airin sedang bersiap untuk berangkat ke cafe sore itu, bersamaan dengan ponselnya yang berdering. Dia pikir Bara yang akan menghubunginya, karena pria itu belum membalas pesannya sejak tadi pagi. Airin yakin sekali kalau Bara marah padanya. Sementara untuk menghubunginya, Airin merasa ragu karena khawatir akan mengganggu pekerjaan pria itu. Nama ibunya tertera di layar ponselnya. Gegas Airin mengangkat panggilan tersebut, dia juga penasaran dengan kabar ibu dan ayahnya saat ini mengenai rencana rujuk mereka. “Halo, Ma?” sapanya pada ibunya di seberang sana. “Apa kabar, Sayang?” Airin memutar bola matanya. Sejak kapan ibunya bisa memanggilnya semanis ini. Entah kapan terakhir dia ingat ibunya memanggilnya dengan sebutan ‘sayang', dia lupa. “Aku mau berangkat kerja, Ma. Bagaimana perkembangan hubungan mama dan papa?” tanyanya tanpa ingin basa-basi. “Lancar sih, tapi ....” Elsa menggantung kalimatnya. “Tapi apa, Ma?” tanya Airin tak sabaran. “Wanita itu tidak setuju kalau mama dan papa rujuk. Namun, Papa keukeuh mau kami rujuk.” Airin menghela napas panjang, kemudian dia duduk di atas ranjangnya. Dia sudah bisa menebak hal itu, istri ayahnya pasti tidak akan semudah itu memberi izin ayahnya untuk rujuk kembali dengan ibunya. “Papa sering pulang kok, ke rumah kita. Terkadang ke rumah sana, tapi lebih sering ke mama.” Airin manggut-manggut saja mendengar cerita ibunya yang sepertinya memang membutuhkan teman untuk curhat. Lalu, dengan baik hatinya Airin menjadi pendengar setia. “Ma, nanti lagi, ya. Soalnya Airin mau berangkat kerja sudah hampir telat nant-” “Kok, kamu kerja sih, Rin?!” “Lho, memangnya kenapa, Ma?” tanya Airin heran. “Kan papa sudah katakan sama kamu, kalau kami rujuk kamu gak harus kerja lagi. Mama akan minta papa buat transfer uang ke rekening kamu, jadi gak perlu kerja lagi.” Airin memejamkan mata sembari menggaruk kepalanya yang tiba-tiba saja gatal. Niat ayah dan ibunya sangat baik sekali, tapi sekarang ini dia lebih suka bekerja dan mendapatkan uang sendiri. Setelah dua tahun banting tulang dan menghidupi dia dan ibunya, Airin merasa sangat bangga pada dirinya sendiri karena dia benar-benar bisa melakukan itu semua. “Ya sudah, nanti kita bicarakan lagi, Airin sudah telat banget. Dah, sayang Mama!” Airin mematikan sambungan teleponnya secara sepihak, karena dia sudah sangat telat untuk berangkat kerja. Sementara itu Sandra pun belum pulang sejak tadi malam. Temannya itu sudah mengabari kalau sedang berada di luar kota menemani sugar Daddy-nya. Pukul tujuh belas lewat lima belas menit, Airin baru sampai di cafe. Dia langsung berlari cepat masuk ke ruang ganti, khawatir kalau dia akan kena marah managernya. Tiba-tiba saja tubuhnya bertubrukan. “Sorry-sorry," katanya dengan kepala menunduk seraya menangkup kedua tangan di depan wajahnya, memohon maaf. Dia sangat takut kalau dia terkena tegur managernya karena sudah datang terlambat ditambah dia menabrak pelanggan cafe. ”Tidak apa-apa," balas suara orang yang ditabraknya. Airin sontak merasakan Dejavu. Suara itu ... tiba-tiba saja membuat tubuh Airin menegang. Suara yang sangat tidak asing di telinganya, meski semua sudah lewat dua tahun lamanya. Airin masih sangat mengenali suara itu. “Kamu baik-baik saja?” tanya pria itu lagi, karena Airin hanya terdiam di tempat masih dengan kepala menunduk dan hanya memperhatikan sepasang sepatu yang dikenakan oleh pria itu. “Arkan!” panggil suara di belakang mereka. Airin tahu siapa yang memanggil itu, si pemilik cafe ini, alias bosnya. “Yo!” Pria itu menyahut pada Gaston yang memanggilnya. Dia kembali menatap gadis di depannya yang masih menunduk dan sepertinya tidak ingin mengatakan apa pun lagi. “Arkan?” ucapnya lirih tanpa terdengar oleh pria yang masih berdiri di depannya. Arkan pun berlalu meninggalkan Airin yang masih tertunduk. Setelah kepergian pria itu, Airin pun memutar kepalanya dan memandangi punggung lebar pria bernama Arkan itu. “Ternyata bukan, tapi dia mirip sekali dengan ....” ”Airin! Kamu belum bersiap juga?!” Mata gadis itu membelalak mendapat teguran dari managernya. Gegas dia pun kembali mempercepat langkahnya ke ruangan khusus pegawai untuk berganti seragam. Airin mulai bekerja sore itu, hingga menjelang malam. Dia mengambil istirahat dua puluh menitnya, dan terduduk di kursi ruang ganti. Dia masih memikirkan suara pria tadi yang terdengar sangat akrab di telinganya. Sudah dua tahun berlalu, tetapi suara pria itu masih sangat dia kenali. Airin tidak akan pernah melupakan suara apa lagi wajahnya yang sangat membuat hatinya tenang. Terdengar notifikasi dari ponselnya, sebuah pesan masuk. Airin melihat siapa yang mengirim pesan, siapa tahu Bara, karena dia sangat mengharapkan pria itu membalas pesannya. Ternyata Mona yang mengirimkan pesan dan menanyakan kabarnya. Airin pun langsung menghubungi Mona, dia butuh teman bicara. “Lagi istirahat?” tanya Mona di seberang sana. Mona sudah mengetahui kalau Airin bekerja di cafe & Bar atas rekomendasi Sandra. “Iya. Apa kabar, Mon? Aku kangen,” katanya jujur. “Kalau kangen sini pulang!” Airin terkekeh. Dia yakin kalau saat ini Mona sedang menggerutu kesal padanya, karena dia tidak menepati janji. Satu minggu dan dia masih berada di Jakarta. Sejujurnya Airin masih beradaptasi di kota ini, belum bisa dikatakan betah, hanya saja tempatnya sedikit berbeda dari Surabaya, dan dia menyukainya. “Mon,” panggilnya. “Apa?!” sahut Mona dengan nada ketus. “Masa aku kangen si Om itu.” “Nah loh! Bara gimana, Rin?!” Jelas saja Mona sudah paham dengan yang dikatakan oleh Airin. Selama ini Airin selalu berbagi cerita dengan Mona tentang lelaki itu. “Aku dengar suaranya, suara orang lain yang mirip sama dia. Namun itu bukan dia.” “Kalau suatu saat kamu ketemu sama dia, apa yang akan kamu lakukan?” Airin malah tidak tahu apa yang akan dia lakukan bila kembali bertemu dengan pria itu lagi. “Fokus ke Bara saja, Rin. Kamu sudah jujur kan ke dia tentang masa lalu kamu.” Airin menggigit bibirnya. Dia memang sudah jujur pada Bara, perihal dirinya yang sudah tidak suci lagi. Namun, dia tidak menceritakan tentang menjadi seorang sugar baby. Dia terlalu takut untuk mengatakannya. “Jadi, kamu belum jujur sama Bara, Rin?!” cecar Mona lagi. Airin mengembuskan napas pendek. Sepertinya jam istirahatnya sudah habis dan dia harus kembali bekerja. “Mon, nanti kita sambung lagi, ya. Aku mesti lanjut kerja. Sayang kamu.” “Love you too.” Sambungan teleponnya terputus, Airin pun memasukan ponselnya ke dalam tas yang dia simpan di lokernya. Gadis itu kembali ke kitchen untuk melanjutkan pekerjaannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, masih ada satu setengah jam lagi dia selesai kerja. Dan, hingga saat ini Bara masih belum juga memberinya kabar. Airin menjadi bertanya-tanya, apa semarah itu hanya karena dia menolak ajakan ke hotel? Tidak mungkin bila Bara bersikap kekanakan seperti itu. Selama ini Bara selalu bersikap dewasa. Airin berjalan membawa nampan yang berisi gelas kosong pengunjung menuju dapur, karena terlalu banyak melamun memikirkan Bara dia tidak sengaja kembali menabrak punggung seseorang, sehingga menyebabkan gelas yang berada di bakinya jatuh dan pecah di atas lantai. “Aduh! Maaf-maaf!” Airin lantas berjongkok memunguti pecahan beling. Pria yang ditabraknya pun menoleh ke belakangnya dan seketika ikut berjongkok membantu Airin memunguti pecahan gelas tersebut. “Jangan, Pak, biar saya saja!” larang gadis itu pada pria yang ikut berjongkok di depannya. “Tidak apa-apa, santai saja,” katanya. Sontak saja Airin menghentikan gerakan tangannya. Suara itu lagi. Lalu dia menatap wajah pria di depannya. Tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang. Pria itu pun juga menatapnya. “Airin Shandy.” “Om Auriga?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN