Airin meringis kesakitan pada bagian perutnya, kepalanya menunduk ke bawah di mana cairan merah mengalir di kakinya. Maura telah meninggalkan unitnya dan membiarkannya sendiri. Airin mencoba melangkah ke dalam mengambil ponselnya untuk menghubungi Arkan. Dengan langkah gontai, Airin berhasil mencapai dapur di mana dia meletakan ponselnya tadi. Tangannya mencari nama suaminya dengan gemetaran. Dia menempelkan benda pipih itu ke telinganya, bersamaan dengan air mata yang menetes di pipinya. Dia takut. Takut terjadi sesuatu pada janinnya. “Halo, Sayang.” Terdengar suara bariton yang sudah sangat siap hafal. “Om, tolong aku ...,” ucapnya merintih kesakitan. “Airin! Apa yang terjadi?!” Suara Arkan terdengar meninggi. “Aku gak tau, bisakah Om pulang?” pintanya. Suaranya sudah tercekat.

