Ambrosio menelentangkan  tubuh Sisilia di ranjang dan menahan kedua tangan wanita itu di atas  kepala dengan satu tangan. Kedua kaki Sisilia dikunci dengan kakinya.   Tiap inci kulit mereka bersentuhan tanpa pembatas sehelai pun, membuat  tubuh basah mereka memanas dari dalam.  Ambrosio merangkak di atas  wanitanya. Tubuhnya yang kekar dengan tato besar di punggung, kontras  dengan tubuh halus dan lembut milik istrinya itu.
Sisilia meringis,  menggigit bibir bawahnya sendiri dan menatap penuh harap. Sepertinya  sudah saatnya Ambrosio menunjukkan keegoisannya. Tanpa berkata apa-apa  pria itu segera melahap bibirnya.
Ambrosio melebur bibir  Sisilia dalam mulutnya dan sesekali menggigit. Lidahnya bergerak cepat  membelai geligi lalu mendesak masuk hingga menyentuh ujung dalam  langit-langit mulutnya. "Ngghh ...." Kepala Sisilia terdongak menerima  penjelajah itu. Ketika dia hampir kehabisan napas, Ambrosio melepaskan  bibirnya. "Hmmh," mulut pria itu berpindah ke dadanya, mencari puncak  merah muda dan menyesap kuat tonjolan itu hingga terasa sakit mengeras.  "Oh, Ambrosio ...." Punggungnya melengkung dan meliuk lembut. Sisilia  merasakan aliran darah terpompa ke puncak payudaranya. Ambrosio mengisap  sari dari kedua belah puncak itu bergantian, memastikan wanitanya  mengeluarkan suara ASMR* yang menenangkan. 
*{ASMR merupakan singkatan dari Autonomous Sensory Meridian Response atau biasa disebut head tingles yang  kalau diartikan adalah kepala yang tergelitik atau kesemutan. Sensasi  yang dirasakan seperti hangat, nyaman, geli dan menyenangkan. Sensasi  ini dimulai dari puncak kepala dan akan menyebar ke seluruh tubuh, diri  sendiri maupun pada pasangan, disertai perasaan tenang dan rileks.}
Pikirannya sudah  melayang jauh. Sisilia tidak dapat mengendalikan suara maupun gerakan  tubuhnya sendiri. Pandangannya kabur menatap lampu yang bercahaya di  langit-langit. Sejak kapan lampu itu menjadi menyilaukan. Di mana pria  itu? Yang biasanya muncul dihadapannya seperti bayangan gelap, tetapi  melindunginya dari cahaya yang membutakan mata. Sisilia menjadi sedikit  lega ketika Ambrosio melepaskan tangannya, memberikan kesempatan  untuknya meremas rambut pria itu ketika kepalanya bergerak ke bagian  bawah pusarnya. Matanya terpejam dan tubuh menggeliat seakan sesuatu  dalam tubuhnya ingin keluar. Pegangan di rambut Ambrosio menjadi  penolongnya untuk bertahan agar tidak lumer. Akan tetapi pegangannya  terlepas. 
"Ah, Ambrosio, ah,  tidak!" pekiknya lemah ketika Ambrosio mengangkat pinggulnya lebih  tinggi dari kepalanya. Kedua belah pahanya dibuka selebar-lebarnya dan  lengan kekar itu menahan pahanya, memposisikan lubang di selangkanya  serupa mulut cawan. "Apa yang kau lakukan?" rengek Sisilia dengan posisi  kepala nyaris terbalik.
"Memakanmu, tentu saja,"  jawab Ambrosio sambil menggeram. "Aku lapar rasa jusmu," katanya lagi,  membuat Sisilia memejamkan mata rapat-rapat dan tangannya mencengkeram  sprei di sisi kepalanya. Ketika Ambrosio menggigit bibir empuk di  selangkangannya itu, matanya terbuka lebar tetapi pandangannya gelap.  "Amano-san, kurutte iru! Imaimashī!" Amano, kamu gila! Sialan!  pekiknya sambil tertangis. "Aaaahhhh ...." Dia menangis karena rasa yang  meletup-letup dalam dirinya. Ambrosio memakan dirinya seperti menikmati  potongan besar semangka yang ranum, matang dan manis, dengan air yang  melimpah. Ambrosio menggigit sana sini area dalam pahanya Pria itu tidak  memedulikan erangan dan isakannya. Ia sangat menikmatinya hingga hanya  suara mengecap rakus yang terdengar. Lidahnya, giginya, sentuhan  bibirnya, semuanya memberikan rangsangan yang tak kenal ampun.
Ini sangat memalukan.  Sisilia meratap  sambil meremas wajahnya sendiri. Memalukan karena  rasanya terlalu enak dan dia sangat menikmatinya, tak bisa ditahan. Tak  terhitung sudah berapa kali semburan itu terjadi hingga rasa itu meluap  melebihi kapasitasnya.
Ambrosio mengangkat  kepala dari belahan lembut di s**********n Sisilia dan mengusap cairan  di sekeliling bibirnya yang menyunggingkan senyuman penuh kemenangan.  Wajah wanitanya itu memerah meski ditutupi, ia bisa melihat dari  sela-sela jemarinya. Sisilia merintih lembut. Telunjuk Ambrosio  menyusuri lekukan di organ feminin itu. "Lucu rasanya, kau menutupi  wajahmu sementara di sini ...," Ambrosio membuka celah basah itu dengan  dua jarinya, "... megap-megap tak tahu malu." 
Sisilia merengek sambil  gigit jari. "Ah, Ambrosio, kau mengejekku, huhu ...." Sisilia  membenamkan wajahnya ke samping dan berniat menarik kakinya, tetapi  Ambrosio menahannya. 
"Hei, mau ke mana kau?  Aku belum selesai, jangan mentang-mentang kau sudah 'keluar' lalu kau  mau meninggalkanku. Tidak semudah itu, Sisilia!" protes Ambrosio. Ia  berdiri memposisikan batang keras miliknya di muara 'cawan' Sisilia dan  mendorong masuk perlahan. "Ughh!" Ambrosio mendesah berat. Meskipun  Sisilia sudah dibuat basah, pertemuan mereka yang terselang beberapa  bulan membuat lubang itu rapat dan otot-ototnya meremas kuat miliknya,  Ambrosio sampai mengatup rahang dan menambah tenaga dorongannya. 
"Enghhh ...." Sisilia  meringis sebentar lalu mengembuskan napas lega ketika seluruh milik  Ambrosio memasukinya. Sisilia menggigit bibirnya sendiri. Kelopak  matanya bergetar halus ketika merasakan rongga di bawah pusarnya  berdenyut-denyut dan sesak. Ambrosio belum bergerak, dia sudah merasa  gelisah. Pinggulnya bergerak sendiri, menggoyang benda di dalamnya.
"Ah, Sisilia-chan ...," desah Ambrosio dengan kepala terdongak. "Wakarimasen ka? Muchūninaru made anata ga inakute sabishīdesu."  Tidakkah kau mengerti? Aku sangat merindukanmu sampai aku jadi gila  rasanya, ucapnya dengan suara parau. Ia menatap nanar wanita di bawahnya  yang terengah sambil menggeliat dan ia mulai bergerak menyelaraskan  diri. "Jadi, kata-kata sepele itu sangat berarti bagiku, untuk membuatku  tetap waras. Kenapa sangat sukar untuk kau ucapkan? Apakah hatimu tidak  merasakannya?"
Sisilia nyaris patah  hati mendengarnya. Pria ini, hatinya kadang bisa begitu lembut dan dia  tahu bisa segila apa Ambrosio. Kebutuhannya akan perhatian dan kasih  sayang mungkin karena trauma ditinggalkan ibunya di usia dini, Sisilia  berasumsi demikian. Lagi pula lomunikasi di pusat penelitian diawasi  server sentral, jadi dia tidak leluasa bicara. Namun otaknya tidak bisa  berpikir jernih saat Ambrosio mulai memompa dalam tubuhnya. "Gomen, Amano-san, tokidoki wakaranai," maaf, Amano, kadang kala aku tidak mengerti, jawabnya tanpa pikir panjang. 
"Sōde wanai, Aka-chan! Kowaikara."  Bukan seperti itu, Merahku! Itu karena kau takut, sahut Ambrosio. Ia  menghujam lebih kuat dan cepat hingga berbunyi bak tamparan-tamparan  kecil akibat tubrukan tubuh mereka yang basah oleh keringat. "Kau takut  aku akan menyakiti hatimu. kau menutupinya dengan bersikap masa bodoh  dan berlagak mencari kepuasan seks semata."
Begitukah penilaian  Ambrosio terhadap dirinya? Sisilia tercenung dalam pikirannya walaupun  tubuhnya tetap bergerak bersama Ambrosio.
"Shinpaishinaide kudasai," jangan khawatir soal itu, gumam Ambrosio. "Aku tidak akan menyakitimu, Sisilia. Aku tidak akan pernah melakukan itu." 
Sisilia memasrahkan  tubuhnya dalam cengkeraman Ambrosio. Pria itu memang bisa memuaskannya  dan menyanjungnya sedemikian rupa dengan membiarkannya memilih pekerjaan  yang disukainya meskipun harus terpisah dari suami dan anak.  Kesetiannya, perhatiannya, pengorbanannya, apa lagi yang yang bisa  dituntutnya dari pria ini coba?
Kadang dia berpikir  Ambrosio berhak mendapat wanita yang lebih baik, tetapi pria ini tetap  memilih dirinya. Mungkin sudah saatnya dia membuka selubung keangkuhan  dalam hatinya dan menerima seutuhnya pria ini sebagai kekasih, agar  ucapan sayang dan rindu bukan sekadar basa-basi di mulut saja atau  karena sedang 'ingin', melainkan karena cinta, rasa memiliki dan takut  kehilangan. 
Sisilia menatap suaminya  yang sedang terengah dan titik peluh menumbuk dirinya. Pria itu  membungkuk padanya. Dia menggapai wajah Ambrosio lalu mengecup lembut  bibirnya yang terkatup rapat.
"Amano-san, kimi ga koishi," aku rindu padamu, cintaku, Amano, isaknya. "Hontoni koishi."  Sangat, sangat rindu. Ambrosio membalasnya dengan ciuman dalam dan  batang lelakinya melesak semakin dalam dan membesar. Selama beberapa  detik rasa itu terbendung akhirnya terlepas serupa ledakan besar yang  meletup berkali-kali. Teriakan Sisilia dan geramannya teredam oleh  ciuman mereka.
Setelah ledakan itu  usai, Ambrosio berusaha mengatur napasnya yang memburu. Tampangnya  berseri-seri, menatap Sisilia. Sementara wanita itu melirik ke berbagai  arah, seakan mencari persembunyian. Namun dia tak bisa ke mana-mana  karena tubuhnya masih bertaut di tubuh Ambrosio. Ia membelai pipi  Sisilia yang bersemu. "Katakan lagi, Sisilia," pintanya.
"Hah?" Sisilia mendelik  dan merengut. Seharusnya dia tidak terpancing arahan Ambrosio. Oh, dia  seharusnya menyadari. Sikap manja pria itu tidak akan cukup dengan  sekali ucapan mesra. 
"Kau tidak mau? Baiklah,  jangan salahkan aku." Ambrosio membalik tubuh Sisilia dan membuatnya  menungging. Sebelah tangannya melingkar di pinggul Sisilia. p****t  wanita itu ditampar-tamparnya hingga berwarna merah muda. Plak, plak,  plak!
"Ambrosio, apa yang kau lakukan? Itu sakit." Sisilia terisak.
"Pantatmu seperti bakpao  persik, dan aku menyukainya," ucap pria itu. Sisilia sempat berpikir  Ambrosio bercanda, ternyata dia salah. Ambrosio benar-benar memakan  pantatnya. 
"Kyaaah, kau gila Ambrosio, kau gila, oh ... Ah ...." 
Kelaminnya belum  mengeras lagi, tapi itu tidak menghalanginya untuk bersenang-senang.  Ambrosio kembali memainkan jarinya dengan lihai, memeras jus dari dalam  tubuh istrinya.
***
BERSAMBUNG....