"Kita pakai mobil saya." Ucap Dika, saat mereka sampai di lobi.
Bukan pertama kali, tapi sering. Hanya saja, Lana masih belum terbiasa berada di dalam satu mobil yang sama bersama lelaki itu. Rasanya masih tetap sama. Canggung.
"Dari sana, nanti balik lagi kesini. Kalau pakai kendaraan terpisah, nggak praktis." Ucapnya lagi, saat menyadari ke enggnana Lana.
"Saya bisa pakaia ojek online." Satu tangan Lana menyebtuh pintu mobil. Niatnya hendak masuk. Meski menolak, tapi ia tidak akan melewatkan berdua bersama Dika di dalam mobil.
Ya ampun! Memiliki teman yang otaknya terkontaminasi film dewasa sungguh merepotkan. Lana yang tadinya sangat tabu dengan hal-hal seperti itu, kini sering kali memikirkan hal-hal yang bisa membuat wajahnya bersemu merah.
"Kalau naik ojek online, nggak jamin tampang kamu ini masih terselamatkan." Tunjuk Dika pada kening Lana.
"Rambut kamu pasti sangat berantakan." Lanjutnya.
"Saya nggak suka lihat orang berantakan."
Dahi Lana mengkerut. Selama ini terkadang mereka bertemu dalam momen yang kurang mengenakan. Misal, Lana baru bangun tidur yang hanya mengenakan setelan tidur pendek dan jangan lupa rambutnya yang berantakan seperti habis terkena badai. Pernah suatu hari, Lana keluar kamar dengan kondisi menyedihkan, yaitu ketika ia harus mengambil air minum saat wajahnya tertutup masker. Lana yakin, saat itu Dika pasti langsung ilfil melihatnya.
"Setelah ini kamu mau kemana?" Tanya Dika, setelah beberapa saat keduanya berada di dalam mobil.
"Ada janji makan siang." Balas Lana.
Setelah punggungnya menyentuh sandaran Mobil, tidak hentinya Lana merapikan rambut, hingga riasan yang menempel di wajahnya. Masih aman, tapi tetap saja ia merasa tidak percaya diri. Apalagi setelah ucapan Dika tadi.
"Mau di antar, atau di drop?"
Lana menoleh. Nggak salah dengar kan?
Dika bilang mau di antar atau drop?
"Nggak usah. Nanti saya naik ojek." Tolak Lana.
"Saya juga bawa sisir, kaca dan make up cadangan. Jadi, penampilan saya nggak akan berantakan." Lanjutnya cepat.
Dika tersenyum samar, senyum yang nyaris tidak terlihat karena hanya sebentar dan sekilas saja.
"Nggak apa-apa, nanti aku antar."
Lana menyibukan diri dengan ponsel, setelah obrolan terakhir mereka. Cuaca hari ini memang sangat cerah, bahkan cukup terik. Sama halnya dengan raut wajah Dika. Wajah lelaki itu nampak sumringah.
Mungkinkah keberhasilan Dika mencapai Big O di tempat Sarah membuatnya suasana hatinya ceria?
Bahkan jarang-jarang lelaki itu menawarkan diri mengantar Lana. Biasa juga cuek.
Aji dan Nata pernah bilang, bahwa suasana hati lelaki mudah berubah setelah mereka merasakan kepuasan dan mendapat Big O. Apa itu Big O?
Entah, Lana tidak tau. Dia belum merasakannya.
"Kamu sudah menyiapkan keperluan untuk hari ini?" Dika kembali membuka percakapan.
"Jangan sampai ada drama barang ketinggalan dan semua selesai tepat waktu."
Ucapan Dika membuat Lana seperti amatir. Lana tidak pelupa, Lana juga sudah menyelesaikan pekerjaan yang menurut Dika tidak bagus itu.
"Sudah." Jawab Lana sebal.
Lana memang sudah menyiapkan segalanya, termasuk agenda balas dendam yang sudah direncanakan dengan baik dan sempurna. Dika harus tau bagaimana kinerjanya. Mungkin dalam masalah lain Lana memang belum berpengalaman, tapi dalam dunia kerja kemampuannya tidak bisa disepelekan. Termasuk oleh Dika, seorang atasan yang har sekali di perlakukan buruk olehnya. Tapi sesekali Dika harus tau bagaimana Lana di dunia kerja. Mendapat pengakuan dan pujian rasanya tidak berlebihan untuknya. Sukur-sukur Dika tidak lagi mengkritik habis-habisan usaha dan pekerjaannya.
Lana sudah terbiasa melakukan persentasi. Sejak awal memasuki dunia kerja, Lana sudah terbiasa dengan hal-hal berbau persentasi. Meyakinkan klien bukan hal sulit untuknya. Selama ini tidak ada yang pernah meragukan kemampuannya, baik di kantor Lana sekalipun. Hanya Dika yang terkesan meragukan kemampuannya.
Konsep iklan seperti produk kosmetik tidak sulit. Hampir semua wanita di muka bumi ini memuja barang tersebut untuk menutupi dosa di wajah mereka. Dari kalangan muda Samapi yang tua, semuanya menyukai kosmetik. Jadi, Lana tidak akan mengalami kesulitan, karena dia pun salah satu penggunanya. Meski tidak seperti Lala yang hampir memiliki semua jenis kosmetik dari yang memiliki ukuran sekecil kelingking bayi, sampai sebesar telapak tangan.
Seperti yang sudah di duga, klien nampak menyukai konsep yang dipaparkan Lana. Dika pun tidak menunjukan tanda-tanda penolakan. Beberapa kali lelaki itu menganggukan kepalanya. Itu, konsep pertama. Konsep revisi yang di komentari habis-habisan oleh Dika. Tapi Lana sudah menyiapkan satu kejutan lain untuk Dika. Yaitu, Lana menyiapkan konsep iklan lain secara diam-diam.
Konsep yang sempat dikomentari Dika habis-habisan. Lana kembali mempersentasikan iklan kedua dan seperti dugaannya, klien menyukai konsep iklannya kali ini. Bahkan baru beberapa detik Lana selesai bicara, tanpa ragu Klein langsung setuju dengan iklan kedua.
Lana harus berterimakasih pada Andra karena lelaki itu yang memberinya ide untuk kejutan mendadak kali ini. Andra memang menyarankan Lana untuk tidak mendebat Dika, tapi Andra membrikan ide lain untuk memberontak secara halus. Dan hasilnya memuaskan. Lana tidak berani menoleh ke arah Dika, ia masih fokus pada penyelesaian persentasinya. Lana tau, senyum di wajah Dika berganti dengan tatapan tajam permusuhan. Tapi Lana tidak perduli karena pada akhirnya klien justru memilih konsep iklan cadangan miliknya.
"Kamu sengaja melakukan ini, kan? Kamu sudah merencanakannya, kan?" Cerca Dika, saat mereka sudah berada di tempat parkir.
"Melakukan apa? Saya hanya memberi opsi agar klien bisa memilih. Kalau pada akhirnya mereka memilih konsep kedua, jangan salahkan saya dong!" Ingin rasanya Lana berteriak kegirangan karena berhasil membuat Dika kalah telak.
"Ide iklan pertama itu jelek!"
Kali ini Lana tidak marah saat Dika menyebut pekerjaannya seperti itu.
"Tidak ada kesepakatan iklan yang saya buat tidak akan dipersentasikan hari ini. Pak Dika bilang jelek, tapi klien justru suka mau gimana lagi?" Lana memasang wajah tanpa dosa.
"Kamu pasti sengaja!"
Lana menghela. Kenyataan Dika tidak mau didebat memang benar. Lelaki itu benar-benar marah, karena konsep iklan cadangan yang akhirnya di pilih klien. Seharunya Dika tidak perlu marah berlebihan, karena pada akhirny Klien setuju dan masalah selesai. Tapi ternyata tidak semudah itu mengatasi sifat buruk seorang Marvel Dika Pratama. Hampir sepanjang jalan Dika terus memuntahkan kekesalalannya pada Lana. Boro-boro ingat bahwa wanita yang tengah diomeli itu adalah istrinya.
"Berehnti!" Teriak Lana. Beruntung situasi jalanan tidak terlalu ramai saat Dika menginjak rem mendadak.
"Pak Dika ini cerewet sekali. Masalah klien sudah selesai, tapi masih saja ngomel." Lana membuka sabuk pengaman yang melilit tubuhnya.
"Telinga saya panas denger Pak Dika marah-marah terus." Lana menatap ke arah Dika.
"Saya turun disini." Lana membuka pintu mobil lantas keluar.
"Ini untuk Bapak!" Lana memberikan permen lunak rasa stroberi untuk Dika.
"Anak kecil suka premen kalau lagi marah." Lanjutnya lagi, lantas ia pun menutup pintu mobil. Ingin rasanya Lana membanting pintu mobil dengan sekencang mungkin, tapi mengingat harga mobil itu tidak murah, Lana mengurungkan keinginannya. Ia tetap menutup pintu mobil dengan perlahan.