Part 7

2037 Kata
Halwa masih terdiam di tempatnya. Ia tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Mirza mengajaknya makan bersama? Berdua? Teman kencannya membatalkan janji di detik terakhir? Kapan itu terjadi? Ia tidak pernah melihat pria itu memainkan ponselnya, jadi dia tidak tahu kapan teman kencan atasannya itu mengirim pesan ‘pembatalan’. Ia memandang Mirza dengan tatapan curiga, pria itu mendongakkan kepala dan memandang Halwa bingung. “Kamu gak suka steak?” tanya pria itu tanpa menyadari kekesalan yang Halwa rasakan. “Mau pesan yang lain?” tawarnya yang seketika dijawab gelengan Halwa. “Atau kamu mau makan steak pakai nasi?” tawarnya lagi yang jelas Halwa tahu diniatkan pria itu untuk mengejeknya. Halwa tidak berniat untuk meladeni pria itu, ia pada akhirnya mengangkat pisau dan garpu dan mulai mengiris dagingnya. Mirza bukannya tak tahu kalau Halwa kesal. Ia hanya bisa menduga kekesalan gadis itu karena dirinya sudah mempermainkan gadis itu dengan semua kelakuannya. Mulai dari memintanya untuk membeli daging, membawakan kue dan bahkan memintanya untuk terus membawa kue itu ke apartemennya padahal ia tahu kalau gadis itu sebenarnya sedang kelaparan. Dan sejujurnya, ia suka menggoda Halwa. Terlebih saat gadis itu menunjukkan ekspresi kesalnya. Karena Halwa yang selama ini Mirza kenal tidak pernah menunjukkan ekspresi apapun selain ekspresi datar. Tiga hal dalam diri Halwa yang selama ini Mirza tahu adalah. Satu, kaku. Dua, tidak pernah membantah. Ketiga, bemuka datar. Ya, persis itulah Halwa yang selama ini Mirza lihat. Namun malam ini, ketiga hal itu tampaknya hilang dari diri Halwa. Apa mungkin gadis di hadapannya ini memiliki kepribadian ganda? Tanya Mirza pada dirinya sendiri. Ia juga tidak berniat meralat pikiran asistennya itu yang tentunya menduga Mirza menyediakan semua ini untuk kekasihnya. Saat ia datang ke kontrakan Halwa dan mengatakan dia memerlukan bantuan gadis itu untuk membelikan sesuatu karena ia berjanji akan membuatkan sesuatu untuk seseorang, itu bukan suatu kebohongan. Mirza dalam perjalanan pulang saat mendapat panggilan dari kakak sepupunya—Akara—kalau istrinya, Rianna ngidam untuk makan steak buatan Mirza. Mirza mengatakan kalau dia akan melakukannya meskipun sebenarnya yang ingin dilakukannya adalah pulang dan tidur karena tubuhnya sudah terlalu lelah akibat berpikir dan melakukan rapat yang seolah tak berkesudahan. Namun saat Mirza sedang berada di supermarket dan membeli semua bahannya, kakak sepupunya membatalkan permintaannya karena katanya sang istri ingin makan makanan lain. Baiklah, namanya orang sedang ngidam, ia bisa apa. Tidak mungkin kan Mirza marah-marah pada sepupu dan istrinya. Mirza tahu bahwa seharusnya saat itu juga ia membatalkan acara berbelanja dan mengantarkan Halwa kembali ke kontrakannya. Namun entah kenapa, dia malah ingin terus bersama dengan gadis itu dan menjahilinya. Lagi-lagi karena ia ingin memancing emosi gadis itu. Bahkan untuk cake yang dibelinya pun, itu hanya sekedar alasan Mirza supaya ia bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Halwa. Beruntung bagi Mirza dan malang bagi Halwa saat gadis itu menyarankan toko kue yang berada dekat dengan apartemennya sehingga Mirza punya alasan lain untuk membawa gadis itu masuk ke apartemennya dan menikmati waktu lebih lama untuk mengenal asisten sekaligus sekretarisnya itu. Ya, sepertinya itulah alasan kenapa Mirza ingin berlama-lama dengan Halwa. Mereka sudah bekerjasama cukup lama, namun Mirza tidak pernah menghabiskan waktu berdua dengan gadis itu selain di kantor. Karena untuk urusan pekerjaan diluar kantor, Mirza sudah punya asisten lainnya. Sejujurnya, meskipun seharusnya sebagai atasan ia kesal dengan sikap Halwa, tapi Mirza malah suka saat melihat ekpresi memberengut gadis itu kala berpikir bahwa apa yang dilakukannya saat ini untuk kekasih Mirza. Tidak mungkin ia bisa menjadi playboy jika ia tidak bisa membaca ekspresi atau bahasa tubuh lawan jenisnya bukan? Namun yang jadi pertanyaan Mirza untuk Halwa adalah, apakah gadis itu kesal karena Mirza mengganggu waktu istirahatnya—padahal seharusnya gadis itu tidak boleh merasa demikian karena waktu luangnya sudah Mirza bayar—atau apakah gadis itu saat ini sedang cemburu padanya dan para kekasihnya? “Bagaimana? Enak?” tanya Mirza ingin tahu. Halwa yang tengah mengunyah makanannya menganggukkan kepala. Mirza tersenyum dan turut kembali memasukan daging ke mulutnya tanpa melepaskan perhatiannya dari gerak bibir Halwa yang berlumuran saus. Saat gadis itu menjulurkan lidah kecilnya yang berwarna merah muda untuk menjilat saus yang tersisa, Mirza merasakan sentakan kuat di bagian bawah tubuhnya yang sudah sangat b*******h. Mirza menelan salivanya, memilih untuk mengalihkan perhatian dengan menuangkan champagne ke dalam gelas yang sudah disediakan gadis itu. Saat Mirza memberikan gelas, gadis itu menggelengkan kepala. “Ini tanpa alkohol.” Ucap Mirza lagi. Gadis itu awalnya memandang Mirza curiga namun kemudian menerima gelasnya pada akhirnya dan mulai menyesapnya. Kembali menganggukkan kepala saat ia merasa suka dengan rasa manisnya. “Apa selama ini kamu betah kerja sama aku?” tanya Mirza ingin tahu. Halwa menghentikkan gerak garpunya dan memandang Mirza. Ini memang bukan situasi formal dan Mirza juga mengajaknya untuk bicara non formal. Lantas apakah dia bisa menjawab pertanyaan pria itu sesuai dengan jawaban yang ingin ia kemukakan, atau ia harus menjawab dengan jawaban yang ingin pria itu dengar sekalipun bukan jawaban yang ingin ia utarakan? Halwa menimbang sejenak. Toh sebentar lagi dirinya tidak akan lagi bekerja dengan pria itu, jadi rasanya tak masalah juga kalau ia berkata jujur meskipun akan menyinggung pria itu. “Boleh saya bicara jujur?” tanya Halwa yang dijawab anggukkan Mirza. “Saya suka bekerja di Kralligimiz. Suasana kerja, rekan kerja dan juga gajinya, semuanya sangat saya suka. Saya suka bekerja di bagian administrasi sebelum kemudian HRD mengangkat jabatan saya menjadi sekretaris Anda dan Anda mempercayakan saya untuk menjadi asisten pribadi Anda. Saya tidak munafik kalau gajinya juga sangat menggiurkan, fantastis bukanlah kata yang cocok untuk menggambarkannya.” Ucap Halwa apa adanya. “Tapi?” tanya Mirza karena ia merasa ada keganjalan dari kalimat yang diucapkan Halwa. “Tapi saya tidak bisa mengatakan bahwa saya tidak lelah.” Ucapnya seraya menatap Mirza datar. “Bukan tentang jam kerja saya, tapi tentang menghadapi kekasih-kekasih Anda, Sir.” Lanjutnya yang membuat Mirza terkekeh mendengarnya. Apakah ia boleh menduga kalau Halwa tengah cemburu? Tanyanya dalam hati. “Jangan menduga kalau saya cemburu pada kisah cinta Anda atau iri dengan sikap Anda pada mereka.” Ucap Halwa yang menepis praduga Mirza. “Hanya saja, terkadang saya kewalahan menghadapi mereka dan sikap mereka yang diluar batas.” Ucapnya yang membuat Mirza mengerutkan dahi. “Saya tidak keberatan melakukan pekerjaan pribadi untuk Anda, Sir. Mengurus keperluan pribadi Anda itu bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Membersihkan apartemen, menyewa seseorang untuk mengurus kebutuhan aparteman ini. Memesan hotel atau restoran untuk Anda kencan dan bahkan memilihkan hadiah untuk kekasih Anda entah untk kejutan atau kompensasi putusnya hubungan kalian. Saya tidak keberatan. Hanya saja seringkali saya kewalahan menghadapi sikap kekasih-kekasih Anda. Sebagai playboy Anda tentunya paham kalau wanita itu adalah makhluk yang super sensitif, dan saya pun demikian. Anda tidak pernah tahu bahasa apa yang kekasih Anda lontarkan pada saya sebagai penyaluran kekesalan mereka terhadap Anda.” Ucap Halwa panjang lebar yang membuat Mirza terpukau. Ini kali pertama Halwa mengutarakan isi kepalanya dan ia tida tahu kalau gadis itu bisa menjadi secerewet ini. Mirza kembali mengulum senyum. “Benarkah?” tanya Mirza dengan nada menantang. Ia bukannya tidak tahu kalau ucapan Halwa itu benar, hanya saja ia suka mendengar ocehan gadis di depannya ini. “Padahal mereka gadis yang sangat manis saat bersamaku.” Lanjutnya yang membuat Halwa memutar kedua bola matanya. “Peliharaan mana yang tidak akan manis di depan majikan?” Halwa balik berujar dengan skeptis. “Mereka selalu mengkambinghitamkan saya setiap kali Anda meminta berpisah. Padahal salah saya apa disini? Saya hanya penyambung lidah, bukan pemeran yang ikut andil dalam hubungan kalian berdua. Atau mungkin lebih tepatnya saya ini seorang operator. Pekerjaan saya hanya menerima panggilan, melakukan perintah dan melakukan panggilan lainnya sesuai dengan perintah, bukan begitu?” tanya Halwa yang dijawab anggukkan Mirza. “Aku mengerti, tapi aku tidak akan minta maaf untuk itu.” ucap Mirza yang hanya dijawab dingin oleh Halwa. “Tapi sebagai gantinya, kamu bisa minta HRD untuk menaikkan gaji, anggap saja sebagai kompensasi sakit hatimu atas tindakan para mantanku?” Mirza mencoba bernegosiasi. Halwa tersenyum dan menggelengkan kepala. “Tidak usah, Sir. Gaji saya sudah cukup besar.” Tolak Halwa. ‘Lagipula tak lama lagi aku tidak akan menghadapi para macan betina itu lagi.’ Ucap Halwa dalam hati. Mirza kembali menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Tapi kalau kau berubah pikiran, kau bisa langsung pergi ke HRD, aku akan membicarakan hal itu dengan Pak Bagja nanti.” Ucap Mirza yang kini diangguki Halwa. ‘Aku sudah bicara lebih dulu dengan pak Bagja. Kalau Sabrina ingin mendapatkan gaji yang lebih, mungkin dia bisa memintanya nanti. Ucap Halwa kembali dalam hatinya. Mereka menghabiskan sisa waktu makan malam dengan membahas banyak hal lainnya. Bahkan Halwa membicarakan tentang ucapan mantan kekasih Mirza padanya dengan tanpa menyebut nama orangnya. Halwa orang yang enak diajak bicara ternyata. Karena mereka juga membasah tentang gosip yang beredar di kantor, berita politik dan bahkan hal-hal konyol yang terjadi yang mereka alami sendiri. Halwa bermaksud mencuci piring sebagai ganti karena sudah dimasakkan Mirza, namun Mirza menolaknya. Namun karena Halwa bersikukuh, akhirnya mereka mencuci piring berdua. Mirza yang menggosok dan Halwa yang membersihkannya. Sesekali dengan sengaja Mirza menyentuhkan lengannya ke lengan Halwa yang putih. Dan benar saja, kulit gadis itu terasa lembut di tangannya. Bahkan dari jarak sedekat itu, Mirza bisa mencium aroma shampoo dan lotion yang Halwa kenakan. Yang membuat bagian bawah tubuhnya mengejang. Bagaimana rasanya jika ia menundukkan kepala dan meletakkan hidungnya di leher Halwa? Akan seperti apa wanginya? Akan seperti apa respon tubuhnya. Namun Mirza menahan diri. Halwa adalah karyawannya. Bukan satu dari sekian banyak kekasihnya. Saat semuanya selesai dibersihkan, jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Halwa cukup terkejut karena mereka menghabiskan waktu bersama selama itu. “Sudah terlalu larut, Sir.” Halwa menunjuk jam dinding dengan ibu jarinya. “Saya pulang dulu. terima kasih untuk makan malamnya.” Ucapnya seraya berjalan menuju kursi bar dan mengambil cardigannya. “Aku antar.” Ucap Mirza seraya meraih kunci mobilnya. Halwa menggelengkan kepala. “Saya bisa pesan ojek online. Lagipula dari sini ke kontrakan saya cukup jauh.” Tolaknya. Namun Mirza malah tersenyum. “Kamu mau pesan ojek pakai apa?” tanya pria itu yang membuat Halwa mengernyit. “Kamu lupa kalau kamu gak bawa ponsel?” Hal itu membuat Halwa membuka mulutnya lebar. Ia memeriksa saku celananya dan juga saku cardigannya dan Mirza benar. Ia tidak membawa kedua benda itu. Dompetnya masih ada di dalam tas yang ia kenakan untuk bekerja, sementara ponselnya ada di atas nakas sedang dalam proses isi daya. Ya Tuhan, bagaimana bisa dia lupa benda penting itu? Ia mengusap dahinya dengan jari telunjuknya. “Ayo.” Mirza menyentuh bahu Halwa dan memutar tubuh mungil itu menuju pintu. Halwa tidak bisa menolak karena dia memang tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran pria itu. Mirza masih mendorongnya sampai ke lift ketika kemudian Halwa mengingat sesuatu. “Bisa pinjam ponsel Anda, Sir?” tanya Halwa dengan wajah penuh permohonan pada Mirza. Mirza mengerutkan dahi. “Untuk?” tanyanya. “Hanya pinjam sebentar.” Pinta Halwa lagi yang dijawab gelengan kepala oleh Mirza. “Kalau kamu berniat pesan ojol pakai ponsel saya, jelas tidak akan saya ijinkan.” Ucap pria itu dengan nada ketus yang membuat Halwa mengerutkan dahi bingung. “Ini sudah larut, Halwa. Meskipun kamu pesan ojol via aplikasi, belum tentu mereka akan membawa kamu ke kontrakan dengan selamat. Emang kamu gak pernah lihat berita tentang kejahatan pengemudi ojol atau taksi online?” gerutu Mirza seraya mendorong Halwa untuk keluar dari lift dan berjalan ke tempat diman mobilnya diparkir. “Itu hanya ketakutan yang berlebihan, dan mungkin mereka sedang kurang beruntung karena bertemu dengan penjahat.” Kilah Halwa lagi. “Dan bagaimana jika kamu memaksakan diri dan bernasib sama seperti orang-orang di berita itu?” tanya Mirza lagi yang membuat Halwa bergidik ngeri. Pria itu membukanan pintu mobilnya, melirik Halwa dan mengedikkan kepala supaya gadis itu masuk. Halwa hanya bisa menarik napas panjang dan kemudian masuk dan duduk kembali dia atas kursi penumpang mobil mahal Mirza. ‘Baiklah, kapan lagi naik mobil bos.’ Ucapnya dalam hati untuk menenangkan debaran jantungnya yang tak beraturan karena lagi-lagi harus terkurung bersama pria yang mau tak mau harus ia akui ia sukai. Malam ini, Halwa merasa seolah mendapat hadiah perpisahan yang tak pernah ia sangka-sangka. Dan ia harus mengingat momen itu, karena bisa jadi hal seperti ini tidak akan pernah ia alami lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN