Nahla memandang keningnya di cermin, ternyata pengobatan dengan cara Ahsan benar-benar manjur, buktinya benjol tersebut sudah kempes, hanya tinggal memarnya saja. Laki-laki itu memang cerdas, dia bisa melakukan apapun.
Nahla bergegas menuju meja makan saat melihat semuanya sudah tersaji di sana, tumis kangkung dengan sedikit kuah, serta ikan goreng yang mengeluarkan aroma menggugah selera. Dia pemakan segala, tak ada pantangan apapun, tapi tubuhnya tak pernah menyimpan lemak sebanyak apapun dia makan.
"Kelihatannya enak." Nahla langsung mengisi piringnya dengan nasi, Ahsan diam saja.
Tak seperti biasanya, wajahnya agak memerah, Nahla sedikit heran, ada apa dengan suaminya itu, sifatnya berubah-ubah. Sekarang berubah menjadi datar.
"Kenapa wajahmu ditekuk begitu?" tanya Nahla heran.
"Tidak ada apa-apa." Ahsan menjawab dingin.
"Sejak tadi tingkahmu jadi aneh, seharusnya aku yang marah padamu, karena tubuhku adalah aset, setiap bagian memiliki asuransi, sejak jadi buronan, asuransi itu tak bisa di gunakan, ck ck ck." Nahla menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Ahsan dengan mata memicing.
"Cepat habiskan nasimu, kita akan mengaji Tafsir hari ini." Ahsan tak tertarik dengan ocehan Nahla. Wanita itu, semakin diberikan kesempatan berbicara, semakin cerewet.
Nahla memutarkan bola matanya.
"Kau sangat membosankan."
***
Ahsan menunggu Nahla di depan pintu. Sudah satu jam, dan gadis belum selesai juga berdandan. Yang namanya perempuan pasti akan menghabiskan waktunya untuk berdandan, tapi ini bukan kondangan atau pun mengakhiri pesta, ini hanya pengajian biasa, kenapa menghabiskan waktu dengan sia-sia?
Baru saja Ahsan berniat memanggil Nahla, yang ditunggu datang dengan wajah kurang puas, sambil mengangkat gamisnya. Ahsan sempat tertegun melihatnya, gamis bewarna peach dan kerudung panjang yang di belikannya benar-benar menjadi menakjubkan ketika dipakai oleh Nahla, padahal harganya cuma seratus ribu dan dipajang oleh pedagang kaki lima, sekarang Nahla seperti model muslimah yang sedang berjalan di catwalk. Saat ini Nahla berbeda, sangat berbeda.
"Baju ini benar-benar panas, kenapa kau membelikan daster, sih?"
Ahsan tersadar dari kekagumannya, mulut itu tetap tak berubah, bagaimanapun Nahla tetaplah Nahla, takkan berubah menjadi Hanum.
Hanum? Bahkan sehari ini tak sempat Ahsan memikirkannya, Nahla cukup menyita waktu dan pikirannya.
"Itu bukan daster, tapi gamis, katanya kau seorang model, masak gamis saja tidak tau."
"Kalau kau tanya model pakaian dalam padaku aku tau." Nahla memutarkan bola matanya.
"Aku tak suka mendengarnya, sekarang kau istriku, jadilah istri yang taat dan jangan ngomong sembarangan, apalagi di depan umum."
Ahsan mengeluarkan motornya dari dalam rumah.
"Ayo! Aku sudah terlambat."
"Maksudmu naik motor itu?"
Nahla memandang tak percaya, motor butut, usianya pun kelihatan sudah tua.
"Iya, apa lagi? Atau kau mau di tangkap oleh orang yang mencarimu?aku yakin mobilmu pun sudah masuk dalam berita pencarian."
"Jangan menakutiku!"
"Nahla, kau mau ikut atau tidak?"
Ahsan mulai kesal. "Aku benar-benar sudah terlambat."
Nahla akhirnya menurut dengan wajah cemberutnya, dipegangnya bahu Ahsan saat ingin mengangkat bokongnya, lalu duduk di belakang Ahsan. Dengan pakaian begini, tak ada pilihan lain selain duduk menyamping.
"Pegangan!" kata Ahsan datar dan tegas, dia mengira Nahla berpegangan kepada jaketnya, tapi pegangan menurut Nahla berbeda, dia melingkarkan tangannya di perut Ahsan, menempelkan tubuhnya dengan sempurna.
Ahsan terkesiap, jantungnya kembali memompa darah dengan cepat.
"Astagfirullahalazim," istigfarnya pelan, tapi di dengar oleh Nahla.
"Ada apa?"
"Tidak. Bisa kau mundur sedikit?"
"Mundur ke mana lagi? Motormu ini terlalu kecil," jawab Nahla.
Tak bisakan Nahla bekerja sama dengannya, menempel seperti itu membuat Ahsan hilang akal. Sehari ini sudah dua kali perasaan aneh merambat ke dadanya setiap bersama Nahla. Tapi gadis itu tak pernah mengenal kata mengalah.
"Aku suka parfummu, kau wangi,"
kata Nahla mengendus tengkuk Ahsan, laki-laki itu berhenti mendadak, membuat kepala Nahla terbentur dengan helmnya.
"Kau mau membunuhku, ya?" Nahla mengusap pelipisnya yang terbentur.
"Jangan lakukan itu!" Perintah Ahsan tegas, menoleh ke belakang, wajahnya merah padam.
"Melakukan apa?" Nahla tidak mengerti kenapa Ahsan jadi marah, apa dia tidak suka di katakan wangi?
"Mendekatkan mulutmu di tengkuk ku," jawab Ahsan dengan jujur, motor masih berhenti.
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan!"
"Kau ini semakin aneh, aku tak mengerti apa alasannya."
"Kau tak perlu tau alasannya."
"Jelaskan padaku, setiap kita pasti punya alasan terhadap apa yang tidak kita sukai."
"Tak ada alasan, yang jelas jangan lakukan itu!"
Nahla memicingkan matanya penasaran. "Melakukan ini?" Nahla malah mengendus lebih dekat tengkuk Ahsan, dia melihat bulu halus di leher suaminya itu meremang, nafasnya menjadi berat.
"Apa yang sal ... mmmppphht...."
Nahla terbelalak, belum sempat dia melanjutkan, mulutnya telah dibungkam pria itu.
***
Pengajian Tafsir diadakan di sebuah mesjid yang jaraknya sekitar satu jam dari rumah. Selama perjalanan, pasangan suami istri itu bungkam, Nahla dengan kebingungannya dan Ahsan kembali memasang raut datarnya.
Setelah ciuman pertama yang tak terduga, Ahsan memandang wajah Nahla. Nafasnya masih memburu, sedangkan Nahla tidak mengatakan apa-apa, dia terlalu terkejut, seorang Ahsan menciumnya? Rasanya Nahla tak percaya, walaupun ciuman pertama itu terkesan sangat amatir, tak ada gerakan yang berarti, tapi ini dari Ahsan, salah satu keajaiban di dunia.
"Kenapa kau lakukan itu?"
"Itu jawaban dari pertanyaanmu."
"Oh ayolah! apa hubungannya?"
"Tentu saja ada hubungannya."
Ahsan membalikkan badannya menyalakan motornya kembali.
Nahla mengerti sekarang. Dan dia tersenyum, hatinya puas mengerjai suaminya.
Sepanjang pengajian tak sedikit pun Nahla menyimak apa yang disampaikan Ahsan. Dia mencoba mencerna kembali apa yang telah terjadi. Laki-laki kaku yang memiliki ratusan jama'ah seperti Ahsan memberikan ciuman pertamanya kepadanya, itu adalah pencapaian yang cukup membanggakan bagi Nahla, karena melihat betapa tidak suka dan bencinya Ahsan kepadanya dari awal mereka menikah.
Ahsan memiliki karisma yang tinggi, suara berat lantangnya menggema di dalam mesjid, kajian ini di kususkan kepada jama'ah wanita saja.
Tiba-tiba Nahla menangkap seorang wanita berkerudung panjang bewarna biru muda yang duduk menghadap tak jauh dari Ahsan.
Nahla ingat, perempuan itu anak pimpinan pondok pesantren yang sangat dicintai Ahsan, yang menangis kecewa saat Ahsan menikahinya karena terpaksa, wajah lembut dan cantik, sangat feminim, wajar saja seorang Ahsan jatuh cinta padanya.
Nahla tiba-tiba membandingkan Hanum dengan dirinya, untuk urusan kecantikan, dia tak takut bersaing dengan Hanum, tapi untuk yang lainnya dia kalah telak. Bersaing? Nahla tertawa, apakah dia mulai menikmati peran menjadi istri Ahsan?
Dari jarak yang cukup dekat, Nahla sibuk mengamati interaksi Hanum dan Ahsan, Ahsan tampak bisa menguasai diri dan sedikit pun tidak terpengaruh dengan kehadiran Hanum, tapi Hanum berbeda, binar di matanya memancarkan betapa dia memuja Ahsan. Tatapan penuh cinta dan hangat tak bisa disembunyikan dari matanya.