6

1105 Kata
“BUKANNYA dia cewek itu?” “Kok bisa sih sama cewek kayak dia?” “Liat deh, sok cool banget jadi cewek.” “Dulu guru-guru, sekarang Laskar? Cakep dari mana dia.” “Itu tuh cewek yang duduk sama Laskar di kantin tadi.” Laskar, Laskar, dan Laskar. Apakah mereka tidak mempunyai kalimat selain cewek itu, kantin, dan Laskar? Sungguh, ingin rasanya Rhea berteriak menghentikan celetukan-celetukan saat dirinya melewati koridor. Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak tadi. Namun Rhea tidak bisa meninggalkan sekolah begitu saja karena harus bertemu Bu Indah selaku guru pendampingnya untuk lomba nanti. Namun moodnya untuk belajar hancur begitu saja saat mendengar gosipan seisi sekolah. Rhea hendak melupakannya, tapi tidak semudah itu. Dan semua ini salahnya Laskar. Ya, siapa lagi yang salah kalau bukan cowok berandalan itu. Datang dan membuat heboh sesukanya. Lagi pula, apa maksud cowok itu duduk di meja yang sama dengannya? Rhea tahu Laskar sengaja melakukannya. Terlihat jelas dari apa yang dilakukan cowok itu. Hanya meminum minuman kaleng. Tujuan Rhea yang hendak ke ruang guru segera dia urungkan. Langkahnya kini membawanya menuju perpustakaan sekolah yang hanya berisikan penjaga perpus yang tengah membaca. Setelah menutup pintu, Rhea mendekati meja penjaga tersebut, menuliskan namanya di daftar pengunjung, lalu memilih duduk di kursi pojok. Diambilnya ponsel dari ranselnya lalu membuka lockscreen. Karena tidak tahu ingin berbuat apa, iseng Rhea mengirim pesan untuk sang pacar. Rhea : Gio Rhea : Kamu masih di sekolah? Beberapa menit menunggu, tidak ada balasan apa pun dari cowok itu. Rhea mengembungkan pipinya, lalu menidurkan kepalanya di atas meja sambil memutar-mutar ponselnya. Drttt Merasakan getaran yang berasal dari benda pipih itu, dengan segera Rhea menegakkan punggungnya lalu membuka pesan yang masuk. Gio : Iya. Kamu gimana? Tak heran jika Gio membalas pesannya seperti itu. Terlihat membosankan dan singkat. Gio memiliki sifat yang tenang, hal itu yang Rhea suka darinya. Gio tidak pemarah dan pencemburu. Rhea : Masih di sekolah juga. Tadinya mau pertemuan sama guru pembimbing, tapi gak jadi. Gio : Kenapa gak jadi? Rhea : Males :) Gio : Ada masalah? Coba cerita. Gio sangatlah peka. Gio satu-satunya orang yang paling mengerti dan mengenal Rhea. Dan Gio adalah seseorang yang Rhea sayang. Tapi, tidak mungkinkan kalau Rhea mengadu bahwa orang-orang mengata-ngatainya karena seorang cowok. Pasti Gio akan berpikir yang macam-macam. Walaupun Rhea yakin Gio tidak akan melakukannya. Gio : Sayang? Kok cuma diread? Rhea : (send a picture) Rhea : Enggak ada masalah kok. Gio : Mukanya jangan kusut gitu dong. Nanti kalau ada waktu ke rumah, kamu mau aku bawain apa? Rhea : Bawa diri kamu aja cukup. Tanpa sadar dia senyam-senyum sendiri karena pesan-pesan tersebut. Sederhana memang. Saat bersama Gio, sifat aslinya keluar. Sifatnya yang manja, cerewet, dan pencicilan. Gio : Hahahaha. Siap kanjeng ratu. Karena tidak tahu ingin membalas apa, Rhea hanya membacanya lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Dia menatap ke luar jendela, langit agak gelap. Namun Rhea masih ingin di sini. Tak berselang lama, matanya mulai terasa berat. Dibaringkan kepalanya di atas meja lalu mulai memejamkan mata. Mungkin tidur sejenak di perpustakaan sekolah bukanlah hal yang buruk. *** “Astaga, Mama! Masa Laskar yang disuruh belanja?!” pekik Laskar langsung begitu mendapat panggilan dari Kinan. Mendengar balasan dari seberang, Laskar menggeleng tegas. “Pokoknya Laskar gak mau. Tampang udah keren gini masa disuruh ke market. Beli sayuran lagi! O to the gah! Ogah!” Sontak Laskar menjauhkan ponsel yang menempel di telinganya. Dia mengusap kupingnya lalu kembali menempelkannya lagi. Helaan napas lolos dari mulutnya. Dia mengangguk pasrah saat Kinan memberi ancaman. “Oke, fine. Tapi ini untuk pertama dan terakhir kalinya.” “Hm. Kirim aja list belanjaannya.” Setelah mengatakan itu, Laskar memutuskan panggilan. Cowok itu mengacak rambutnya gusar. Bisa-bisa harga dirinya sebagai bad boy rusak! Dengan seragam sekolah yang masih melekat dan jaket hitam legend-nya, Laskar menaiki motor ninjanya lalu mengendarainya ke supermarket terdekat. Laskar mengedarkan pandangannya. Market yang dia datangi ini cukup banyak pengunjungnya. Lalu pandangannya turun pada ponsel yang dia genggam. Lagi-lagi dia mengacak rambutnya lalu melangkah menuju tempat sayuran. Ada berbagai bentuk dan macam sayuran. Dan Laskar menjadi bimbang sekarang. Kira-kira kol itu yang mana? Sayur bayam itu seperti apa? Dan— oh, ada wortel dan kentang dalam list. Kalau ini Laskar tahu. Dia langsung mengambil dua jenis umbi-umbian tersebut dengan tangannya. Tapi sepertinya ada yang aneh. Saat seorang ibu-ibu melewatinya, Laskar baru menyadari satu hal. Kenapa dia tidak mengambil sebuah troli saja untuk membawa barang-barang ini. Segera Laskar mencari troli dan meletakkan belanjaannya di sana. Dia mendorong troli menuju bagian daging. Dengan asal dia mengambil daging yang sudah terbungkus itu dan meletakkannya di troli lalu kembali berkeliling. Beberapa orang meliriknya, khususnya kaum hawa. Bahkan ada yang berbisik-bisik sambil tersenyum geli. Dan seketika Laskar merasa jengkel. Sesampainya di bagian sembako, Laskar mengambil beberapa penyedap rasa. Dua orang gadis yang berdiri tak jauh darinya beberapa kali melirik sambil terkekeh-kekeh. Dengan lirikan tajam, Laskar berdesis, “Apa lo liat-liat?!” Karena takut, gadis-gadis itu beranjak menjauh dengan terburu-buru. Laskar berdecih lalu mendorong trolinya menuju kasir. Setelah membayar, Laskar menggantung kantung belanjaan itu pada setir motornya dan segera mengemudikannya jauh dari sana. Lihat saja. Dia tidak akan mengikuti perkataan Kinan lagi untuk berbelanja. Sungguh memalukan. Saat berhenti di lampu merah, Laskar masih saja menggerutu kesal. Dan di saat itu juga, pandangannya terkunci pada seseorang yang tengah berjalan menghampiri halte dengan langkah terburu-buru. Keningnya mengerut. Sosok itu sepertinya tidak asing. Namun tidak mungkin jika seseorang yang kini hinggap di pemikirannya masih berkeliaran di jam seperti ini dengan menggunakan seragam sekolah. Walau masih pukul 18:28, agak aneh karena orang seperti itu akan pulang cepat. Jikalau memang benar dia, tidak mungkin berkeliaran dengan menggunakan seragam. Klakson dari kendaraan lain menghentak Laskar dari lamunnya. Dia segera melajukan motornya saat sadar lampu sudah berubah warna hijau. *** Napas Rhea tersengal-sengal. Beberapa kali dia menoleh ke belakang, berharap pria yang mengikutinya itu sudah menghilang. Sayangnya, dia masih di sana. Berjalan dengan lambat membuat degup Rhea semakin menggila. Sial. Itulah yang menimpa dirinya. Dia ketiduran untuk waktu yang lama di perpustakaan sekolah. Kalau bukan penjaga perpus yang membangunkannya, mungkin dia akan bermalam di sana. Kakinya sudah terasa sakit karena berjalan dengan cepat. Tempat ini sedikit sepi, faktor pendukung ketakutan Rhea saat ini. Apa lagi pria berkacamata itu terus mengekorinya. Dan yang lebih sial, ponselnya kehabisan daya. Seingatnya waktu saling bertukar pesan dengan Gio, presentase daya baterainya masih dua puluh satu persen. Taksi dan angkutan umum pun tak kunjung lewat. Kalau seperti ini terus, apa yang akan terjadi pada dirinya? Tubuhnya menegang saat merasakan sentuhan pada pundaknya dari belakang. Kakinya yang tadi melangkah terhenti kaku. Tiba-tiba seseorang berdiri di hadapannya dengan wajah bingung. “Lo kenapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN