“Ma!” Axel berseru tidak terima. Tanpa kejelasan, mamanya mendadak meminta Sinar menikah dengan kakaknya.
“Ruri hamil.” Shania menunjuk sopan, ke arah dua tamu yang berada di ruang tengah. Seorang wanita paruh baya dan seorang gadis muda bermata sembab. “Anak Axel. Jadi ... kita—"
“Ha ... mil?” Sinar terpaku. Matanya membelalak menatap Ruri yang hanya menunduk dalam diam.
“Nggak mungkin!” seru Axel, menunjuk tajam ke arah Ruri. “Kamu jangan main-main, Ri! Aku nggak yakin itu anakku! Jadi jangan seenaknya nuduh!”
“Kalau kamu nggak yakin, nanti kita bisa lakukan tes DNA saat waktunya tiba,” sambar Izac tidak kalah keras. “Tapi, sambil menunggu kamu nggak bisa menikah dengan Sinar.”
“Kak!” Axel kembali berseru, lebih keras dari sebelumnya.
“APA!” Izac balas membentak semakin keras dan tegas. “Papa lagi di perjalanan dan setelah ini kita selesaikan semuanya.”
“Semua sudah selesai,” ucap Sinar lirih. Ia bangkit perlahan, sambil menatap hasil USG yang tergeletak di meja.
Entah mengapa, meski hatinya terluka, tetapi Sinar justru merasa lega.
“A-apa maksudnya, semua sudah selesai?” tanya Shania yang ikut bangkit dan berdiri di samping Sinar. “Kita masih bisa bicarakan semua ini, Nar.”
Sinar menggeleng. Enggan membahas apa pun terkait kehamilan gadis bernama Ruri. “Nggak ada yang perlu dibicarakan lagi, Tan.”
“Beb! Itu fitnah!” Axel menghampiri Sinar dan meraih kedua tangan gadis itu. “Duduk dan kita bicarakan semua dengan kepala dingin. Aku sama Ruri—”
“Ini anakmu, Xel,” celetuk Ruri akhirnya berbicara. “Aku berani sump—”
“RURI!” bentak Axel membuat gadis itu tersentak seketika dan menutup mulut.
“Aku nggak bisa,” cicit Sinar melepas genggaman tangan Axel dengan perlahan dan menggeleng. Entah itu benar anak Axel atau bukan, Sinar tiba-tiba memantapkan hati untuk membatalkan pernikahannya. “Dan aku nggak mau. Kamu harus tanggung jawab dengan dia dan kita batalkan pernikahan ini.”
Sinar beralih cepat pada Shania. “Tante, maaf. Saya pulang dulu.”
“Biar aku antar,” sahut Izac cepat.
“Aku yang antar!” balas Axel tidak terima dengan ucapan kakaknya. “Dia calon istriku, jadi—”
“Bukan lagi,” ucap Sinar lalu mengangguk pada Shania. “Permisi Tante, saya pergi dulu.”
“Nar—”
“Kamu tetap di sini!” bentak Izac segera menghalangi langkah Axel. “Ada urusan keluarga yang harus dibicarakan! Jadi jangan berani pergi dari sini, sebelum semua selesai.”
“Ma?” Axel menatap Shania yang membeku di tempatnya, berharap sedikit dukungan.
“Duduk!” titah Shania sudah tidak bisa melakukan apa-apa. “Biarkan Sinar pergi karena dia harus menenangkan diri. Biar ... nanti malam mama yang pergi ke rumahnya setelah kita selesaikan masalah di sini.”
~~~~~~~~~~~~~
Berkali-kali Sinar mengusap air mata di pipinya, tetapi setiap kali ia menyekanya, cairan itu kembali jatuh, membasahi wajah tanpa henti.
Ada perasaan lega. Benar-benar lega, karena pernikahannya dengan Axel ternyata batal. Namun, di balik rasa itu, ia tetap tidak mengerti. Untuk siapa sebenarnya air mata itu mengalir?
Yang semakin membingungkan ialah, ada satu nama yang langsung bersemayam di kepalanya. Yakni Bintang.
Nama itu muncul begitu saja. Tanpa aba-aba dan ternyata masih tinggal di sudut hati yang terdalam.
Padahal, Sinar sudah mencoba menutup lembaran lama itu. Ia sudah berusaha meyakinkan diri dan semua orang, bahwa kehadiran Axel telah mengalihkan dunianya. Namun, ketika semuanya berantakan seperti sekarang, yang terlintas pertama kali justru pria yang tidak seharusnya menetap di hati Sinar.
Lantas, setelah berputar-putar tanpa tujuan di dalam taksi yang ditumpanginya, Sinar akhirnya menyebutkan sebuah tempat. Ia tidak tahu harus ke mana, tetapi hanya ada satu alamat yang terus-menerus berputar di kepala.
Sampai akhirnya, Sinar pun berdiri, diam di depan pintu apartemen sebuah unit apartemen. Matanya nanar, menatap kosong dan ragu akan langkah selanjutnya.
Tangannya terus menggenggam access card dan memikirkan banyak hal yang tidak bisa dijelaskan. Haruskan ia membuka pintu di hadapan dan masuk ke dalam sana?
Atau ... berbalik arah dan pergi sejauh-jauhnya dari tempat tersebut.
Hatinya berperang hebat. Sinar tahu, seharusnya ia tidak datang ke tempat seorang pria yang telah beristri, terlebih di malam hari seperti sekarang.
Namun, Sinar tidak tahu lagi harus pergi ke mana. Pulang bukan pilihan, karena tidak ada yang akan peduli padanya. Ia pun yakin, Axel akan mencarinya ke rumah dan memberi banyak alasan serta penjelasan.
Lantas, dari semua kemungkinan yang berkelebat di kepala, hanya tempat inilah yang terasa paling nyaman untuk disinggahi. Meski Sinar sadar, itu salah.
Mungkin saja pria beristri itu sedang bercengkrama hangat dengan keluarganya. Tertawa bersama anak dan istrinya, menikmati malam yang tenang dengan bahagia.
Bayangan itu sontak menghentak kesadarannya. Sinar memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu perlahan memutar tubuh. Bersandar pada pintu, menunduk lesu, lalu merosot lemah tanpa tahu ke mana harus melangkah. Merasa serba salah.
“Sejak kapan kamu duduk di sana? Kenapa nggak masuk ke dalam?”
Mendengar suara yang begitu akrab di telinga, Sinar pun mendongak dan ...