Ulang Tahun Ita

1015 Kata
"Aku masih suka sama Bian tapi ... hanya sebatas teman," ujar Kira setelah lama berpikir. "Kok cepat sekali kamu move on apa karena Glen?" tanya Anggi kembali. "Nggak juga, aku ngerasa dia nggak suka sama aku ya aku nggak akan maksa Bian cukup dekat sama Bian itu sudah buat aku senang." Anggi hanya tersenyum. Tidak mencoba bertanya lebih dalam lagi dan sudah cukup puas dengan jawaban sang sahabat. "Kalau gitu ayo kita ke kedai es krim. Adaà yang baru buka di sekitar daerah sini, mau?" Kira langsung setuju. Cuaca sekarang begitu panas bahkan dia tak sanggup untuk berlama-lama di luar rumah. Tidak memakan waktu lama mereka sudah sampai di tempat yang dikatakan Anggi. Mereka lalu duduk di sebuah meja kosong sambil mengobrol santai. "Loh Kira." Suara dari seorang gadis menyetak Kira. Dia menoleh dan bertemu pandang dengan gadis yang seharusnya ia jauhi. Ita. "Eh Ita," sapa Kira berusaha tersenyum ramah. "Kita ketemu lagi di sini, kamu sama siapa?" tanya Ita mengalihkan pandangan dari Kira menuju Anggi. "Ini temanku Anggi, anak kelas 2-B." "Oh Anggi yang itu, kenalin aku Ita bendahara osis." Dengan ragu Anggi menjabat tangan Ita yang tampak ramah itu. "Anggi," balasnya singkat. "Aku nggak sangka Kira punya teman populer kayak kamu. Kamu terkenal loh di seluruh sekolah, banyak yang bicarain kamu. Oh iya kalau kamu tertarik jadi pengurus osis aku bisa kok masukin kamu mumpung pengurus osis yang lama akan selesai masa jabatannya." Ah iya ... pengurus osis. Mereka hanya memilih orang-orang yang terlihat enak dipandang apalagi kalau siswanya pintar. Persetan dengan yang namanya bodoh dan rasa malas, mereka hanya ingin mendapat julukan keren dari para siswa. "Maaf aku tidak tertarik lagi pula aku sibuk dengan kegiatan club sekolah takutnya nggak bisa bagi waktu." Anggi menolak sambil tersenyum. "Oh begitu, padahal pasti akan bagus kalau kamu juga masuk pengurus osis. Kegiatan klub apa?" "Tim Voli Putri, rencana aku mau mendaftar seleksi tim nasional bulan depan," jawab Anggi sekenanya. "Kalau begitu good luck ya." "Iya, makasih." Ita lalu menaruh atensinya pada Kira. "Kira besok kamu punya waktu luang?" "Iya ada," jawab Kira ragu. Dia tetap was-was seperti ucapan Glen. Jangan sampai Ita melakukan sesuatu yang buruk. "Aku akan merayakan ulang tahun besok, aku ingin kalian berdua datang ya." Ita kemudian menyerahkan dua buah undangan kepada Kira serta Anggi. "Satu undangan bisa digunakan dua orang jadi datang ya dengan teman yang lain biar rame," jelas Ita sambil tersenyum. "Baiklah tapi aku tidak janji soalnya besok aku punya urusan." Anggi menjawab jujur. "Tidak apa-apa lain kali datang ya. Aku harus pergi nih, sampai jumpa besok di sekolah." Ita lalu pergi meninggalkan mereka berdua di sana termangu menatap satu sama lain. "Jadi kamu mau datang ke acara ulang tahunnya?" tanya Anggi penasaran. "Aku juga tidak tahu tapi tidak enak juga kalau menolak." "Emangnya kenapa sih kok waspada banget sama dia? Padahal Ita kelihatan orang baik." Anggi kembali bertanya. "Perasaanku nggak enak Anggi kalau ketemu sama dia. Dengar gosip kamu tentang Ita yang ngelaporin Glen ditambah Glen yang minta jauhin dia." "Ra, bukan bermaksud untuk bilang kalau Glen salah ataupun perasaan kamu nggak bener tapi ada kalanya kita harus ngelihat dari dekat untuk nunjukin siapa mereka sebenarnya. Siapa tahu Ita emang beneran tulus temenan sama lo dan nggak ada salahnya pula untuk dateng ke ulang tahun Ita secara kamu, kan diundang sama tuan rumahnya," saran Anggi. Kira masih saja diam sambil meneliti undangan ulang tahun Ita. Mungkin apa yang dikatakan oleh Anggi benar, dia harus melihat Ita dari dekat. Kalau ada bahaya tinggal pergi saja. Tidak ada masalah. ❤❤❤ Seperti malam biasanya Kira akan mengerjakan PR sekaligus berlatih untuk presentasi hari rabu nanti. Suara notifikasi terus saja berbunyi akibat grup kelas yang selalu ramai akan gosip ataupun sekedar mengobrol basa-basi dari beberapa siswa. Terdengar nada dering ponsel berbunyi tanda sebuah panggilan masuk. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Kira langsung mengangkat. "Halo," "Halo, Kira?" Dari seberang terdengar suara Glen. "Glen, kenapa nelpon jam segini? Udah selesai belajarnya?" Kira balik bertanya. "Justru karena itu gue nelpon lo, gue ada di depan rumah lo sekarang bisa nggak ketemu sekarang sekalian bawa buku catatan lo besok bakal gue pulangin gue janji." Kira tidak mengatakan apa-apa. Dia langsung mengambil beberapa buku catatan yang ia punya sekaligus membuka jendela kamarnya. "Tunggu ya," sahut Kira kemudian berjalan keluar kamar. "Kira, mau ke mana?" tanya Ibu ketika melihat Kira berjalan melewati kedua orang tuanya yang tengah asyik nonton TV. "Ke warung depan bu, nggak akan lama." Kira menjawab singkat. Dia lalu mempercepat langkah untuk keluar. Benar saja Glen menunggu bersama motor merahnya tepat di depan gerbang rumah Kira. Kira membuka gerbang pagar yang tidak tinggi itu dan mempersilakan Glen untuk masuk. Saat Glen sedang duduk, Kira sibuk mengambil buku-bukunya yang berada tepat di depan jendela. "Lain kali kalau mau butuh sesuatu jangan datang ambil jam segini, gimana kalau Ayahku sampai tahu bisa ribut tahu," kata Kira ketus. "Iya maaf, gue sebenarnya udah nanya sama temen-temen gue eh mereka nggak pernah nyatet materi makanya gue datang ke rumah lo." Glen memberi alasan. Kira tetap kesal namun tak sampai membesarkan hal tersebut malahan dia menatap Glen dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Penampilanmu rapi, mau ke mana?" tanya Kira. Glen ikut melihat penampilannya sebentar sebelum akhirnya tersenyum. "Menurut lo gimana? Cakep nggak gua?" "Cakep," jawab Kira jujur. "Justru itu aku tanya mau ke mana?" Lagi Kira mengulang pertanyaannya. "Yah biar gue keliatan cakep kalau ketemu sama lo. Masa iya penampilan gue kucel di depan calon istri gue?" Kira mengangkat salah satu sudut bibirnya. Glen selalu saja membuatnya bisa terhibur dengan gurauan nakalnya itu. "Emang siapa yang mau jadi calon istri kamu?" "Kalau bukan lo siapa lagi," timpal Glen. "Buktinya lo muji gue cakep, siapa tahu nanti gue bakal diterima." "Terlalu pede." Kira mengejek. "Kalau di depan lo sih gue nggak papa kepedean sedikit." Kira hampir saja mengeluarkan tawa jika Ayah dan Ibunya tidak ada di ruang keluarga. Alhasil Kira hanya menutup mulut dengan tangan. Dia kemudian mengeluarkan sebuah undangan yang diberikan Ita olehnya. Suasana yang dipenuhi canda tawa kini hening. Glen memperhatikan sebentar undangan ulang tahun Ita dengan sorot mata dingin. Ada sedikit kemarahan di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN