Siapa Dia?

1501 Kata
Bram dengan sedikit tergesa melangkah menyusuri koridor rumah sakit, ia hendak menuju ruang kerja papanya. Ia baru saja mendapatkan kontak anak Dokter Wisesa, dan mereka sudah membuat janji untuk bertemu, membahas perihal keinginan mereka untuk masuk ke dalam klinik milik Dokter Wisesa yang terbengkalai itu. Saking tergesanya, Bram menabrak sesosok gadis dengan seragam SMA itu di depan pintu rawat jalan. Gadis dengan kulit seputih porselen itu sampai tersungkur mencium lantai. "Aduh!" pekik gadis itu yang sontak menghentikan langkah Bram. "Astaga, saya minta maaf Dek, kamu tidak apa-apa?" Bram sontak membantu gadis dengan seragam OSIS-nya itu berdiri, ia menoleh menatap Bram dan untuk sesaat mata mereka bertemu. Mata itu ... kenapa Bram merasa begitu dekat dengan sorot mata itu? Kenapa rasanya ia tidak asing dengan pemilik mata itu? Tapi ini pertemuan pertama mereka, bagaimana Bram bisa merasa bahwa ia sudah mengenal betul gadis berseragam SMA ini? "Kamu nggak apa-apa?" tanya Bram setelah ia tersadar dari lamunannya. "Saya tidak apa-apa, Dokter." jawabnya sambil mengangguk pelan. Bram melirik name tag yang menempel di seragam gadis itu. Elsa Gabriella. S. Nama itu yang terbordir di name tag seragam OSIS gadis itu. Jadi nama gadis ini Elsa? Bukan Elsa Frozen itu kan? "Baguslah kalau begitu, saya benar-benar tidak sengaja. Maafkan saya." "Saya paham, Dokter. Sekali lagi saya tidak apa-apa." jawabnya dengan sebuah senyum yang rasanya di mata Bram tidaklah asing. Sebenarnya siapa gadis ini? "Oke, syukurlah kalau begitu. Kamu mau kemana?" tanya Bram yang tidak mengerti kenapa gadis SMA itu sampai kemari. Sedang sakit? Rasanya tidak karena wajah gadis itu tidak pucat, nampak segar. "Saya mau cari surat keterangan sehat untuk daftar universitas, Dokter." Bram mengangguk pelan, lalu ia menunjuk sebuah ruangan yang ada di poli rawat jalan. "Kamu daftar dulu, nanti ruangan untuk cari surat keterangan sehatnya ada di sana. Ada Dokter Welis yang siap membantu." Gadis bernama Elsa itu sekali lagi tersenyum, ia menganggukkan kepalanya cepat. "Terima kasih banyak informasinya, Dokter. Saya permisi dulu." Bram hanya mengangguk pelan, ia menatap kepergian Elsa ke ruangan yang ia tunjukkan tadi. Ia benar-benar heran, kenapa rasanya Bram tidak asing dengan gadis itu? Kenapa sorot mata dan senyum itu terasa begitu familiar di mata Bram? Bram masih sibuk berpikir ketika kemudian iPhone dalam saku snelli-nya berdering. Dari Albert! "Hallo gimana Ko?" Bram bergegas mengangkat panggilan itu, ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja sang papa. "Sudah bilang papa?" "Belum-belum, ini aku baru melangkah ke ruangan papa," segala pertanyaan Bram mengenai gadis bernama Elsa itu sontak lenyap dan menguap begitu saja dari pikirannya. "Nanti kabari Koko apa keputusannya, Koko mau makan siang dulu." "Oke-oke, jangan khawatir." "Oke, ditunggu!" Tut! Sambungan terputus, Bram terus melangkah menuju ruangan sang papa. Ia tidak sempat lagi memikirkan tentang Elsa, karena ada masalah yang lebih penting yang harus segera ia bahas sesegera mungkin. *** Angela baru saja selesai menerima konsultasi terakhir, setelah ini ia bisa istirahat barang satu jam untuk makan siang, hingga kemudian ia harus kembali menerima pasien di ruang praktek-nya. Angela bangkit dan keluar dari ruang praktek-nya, ia hendak melangkah ke kantin ketika pandangannya tertuju pada seorang gadis yang tengah berdiri di ruang administrasi rawat jalan. Gadis itu mengenakan seragam SMA, Angela hanya melihat gadis itu dari belakang, ia tampak sedang serius mengisi sesuatu di meja pegawai administrasi itu. Hati Angela mencelos, seumuran dengan Vanessa pasti. Anaknya mungkin saat ini juga sedang mengenakan seragam itu. Sedang duduk di bangku sekolah menengah atas, karena Vanessa pun sama. Hanya karena ia drop dan sakit, ia terpaksa cuti sementara dan tidak ikut ujian nasional. Tidak akan pernah bisa ikut karena harapan Vanessa untuk hidup lebih lama sama sekali tidak ada! Sel kankernya sudah ber-metasis terlalu jauh. Kemoterapi yang seharusnya bisa membunuh dan mencegah sel itu berkembang, malah berbalik menyerang sel sehat Vanessa dan melumpuhkannya, membuat kondisi Vanessa makin hari makin turun dan memburuk. Satu-satunya terapi tata laksana untuk kanker adalah kemoterapi, namun perlu digarisbawahi jika kondisi fisik penderita tidak kuat dengan dosis obat kemoterapi yang digunakan, maka kasusnya adalah seperti yang Vanessa hadapi. Sel kankernya mengganas dan obatnya malah menyerang sel-sel yang sehat dan melumpuhkannya. Apakah ini malpraktek? Tidak! Bukan malpraktek! Karena semua prosedur sudah sesuai SOP. Obat yang digunakan sudah berstandar dan lulus uji baik BPOM ataupun lembaga-lembaga kesehatan lainnya. Para dokter tentu tidak akan main-main dengan nyawa pasien. Namun semuanya tetap kembali pada kondisi tubuh masing-masing penderita bukan? Ada yang dengan kemoterapi bisa sampai sembuh sampai remisi, ada yang malah seperti Vanessa dan berakhir dengan kematian. Jangan lupakan juga bahwa hidup mati manusia itu sudah Tuhan atur sedemikian rupa. Profesor penemu obat, dokter hanya manusia. Tidak berhak atas nyawa manusia, betul bukan? Angela menggeleng perlahan, ia kembali melangkah menuju kantin, tepat saat Angela pergi melangkah gadis dengan seragam SMA itu berbalik, dan melangkah menuju salah satu bangku kosong untuk menunggu giliran dia dipanggil dokter untuk diperiksa. *** "Jadi kamu sudah dapat kontak anak Dokter Wisesa?" mata Bastian berkaca-kaca, tidak ia sangka anak-anaknya benar-benar berusaha keras mencari keberadaan sang adik, setelah delapan belas tahun berlalu. Bastian harap semua segera menemui titik terang. "Sudah, Pa. Namanya Dokter Feri, beliau tugas di Surabaya. Tadi Bram sudah hubungi beliau dan beliau sudah bersedia bertemu." Bram begitu yakin bahwa sebentar lagi mereka akan bisa menemukan keberadaan adik kandungnya yang tertukar itu. Ia yakin bahwa setelah ini mereka bisa berkumpul bersama sebagai satu keluarga yang utuh. "Kapan kamu hendak menemui beliau, Bram?" tanya Bastian lalu melepas kacamatanya. "Hari Minggu, nanti rencana kami bertiga yang akan bertemu beliau di Surabaya, Pa." "Tanyakan berapa duit klinik itu, bakal papa bayar nanti!" Bram tersentak luar biasa, ia menatap sang papa dengan seksama. Klinik terbengkalai itu hendak papanya beli? Untuk apa? "Kenapa harus sampai dibeli sih, Pa? Kalau cuma mau mint-" "Karena klinik itu awal dari semua kejadian ini, Bram. Klinik itu yang membuat kita harus berpisah dengan adikmu belasan tahun lamanya." Bastian berdiri, melangkah menuju jendela dan menatap jalanan dari lantai dua gedung rumah sakit miliknya itu. "Akan papa renovasi ulang, akan papa hidupkan lagi. Sebagai tanda bahwa keluarga kita pernah tercerai berai di klinik itu." Bram tidak lagi dapat membantah, papanya benar. Semua itu berawal dari klinik itu. Tidak ada salahnya juga sih jika kemudian papanya hendak membeli dan memiliki klinik itu meskipun sekarang ia sudah punya rumah sakit swasta bergensi di kota ini. Rumah sakit besar dan lengkap dengan segala macam poli yang berstandar internasional. "Kalau begitu Bram tidak bisa mencegah keinginan papa." Bram menyandarkan tubuhnya di kursi yang ada di depan meja papanya itu. "Jadi nanti kita nego sekalian harga klinik itu?" "Ubah rencana pertemuan kalian. Yang kita tidak hanya akan bertemu dengan Dokter Feri, tapi juga Dokter Wisesa." *** Elsa sudah mendapatkan surat keterangan sehat itu. Amplop dari Dokter Welis sudah ia masukkan ke dalam tas. Hasil ujian belum keluar, namun ia sudah dipaksa mamanya mendaftar di universitas swasta pilihan sang mama itu. Meskipun nanti diam-diam Elsa juga ingin mencoba ikut SNMPTN melalui sekolahnya sesuai dengan yang kemarin disarankan oleh Bu Rima, sang guru BP. Elsa merogoh sakunya, hendak mengambil kunci motornya ketika kemudian Smartphone miliknya berdering. Ada pesan masuk! Elsa bergegas memeriksa ponselnya dan tersenyum ketika mendapati siapa yang mengirimkan pesan itu. [Hai cantik, lagi apa? Sudah makan?] Entah mengapa, ketika dokter satu itu yang mengirimkan pesan, Elsa begitu semangat untuk sesegera mungkin membalas pesan itu. [Baru keluar dari rumah sakit, habis cari surat keterangan sehat ... Koko sudah makan?] Send! Elsa tidak jadi melangkah ke parkiran ia malah bersandar di tembok rumah sakit guna menanti pesan balasan dari dokter itu. Ting! Elsa buru-buru membuka ponselnya kembali, tampak pesan balasan itu sudah masuk. [Lho, kenapa nggak ke Koko aja sih? Kan kalau cuma bikin surat kayak gitu Koko juga bisa.] Elsa tertawa kecil, ah kok rasanya canggung jika harus diperiksa sosok itu sih? Ia kembali bergegas membalas pesan itu. [Rekomendasinya ke RS Atma Husada, Ko. Klaim BPJS-nya di sini.] Send. Ting! [Sama Koko free, jangan khawatir lah. Ke sini aja tadi, bilang mau ketemu Koko gitu!] Kembali Elsa tertawa, gratis? Astaga ia makin canggung. Secepat kilat ia kembali membalas pesan itu. [Iya deh, nanti kalau butuh surat sehat atau keterangan sakit buat bolos, Elsa datang kesana ya!] Send. Ting! [Kalau itu big no no! Masa iya Koko suruh bikin surat palsu?] Elsa kembali tertawa, tadi maksa suruh datang ke dia, sekarang Elsa di tolak? Ahh ... dasar tidak berpendirian. Elsa terkekeh ia kembali membalas pesan itu sambil bersandar di tembok. Tepat di lantai atas, dimana Elsa bersandar, sosok dengan snelli lengan panjang dan kaca mata itu tengah menatap nanar jalanan yang tersaji dari kaca jendela ruang kerjanya. Matanya berkaca-kaca, dadanya sesak luar biasa. Pikirannya melayang entah kemana. Hatinya risau, ia begitu khawatir. Mengkhawatirkan darah dagingnya yang sejak lahir bahkan belum ia jumpai lagi. Bagaimana kondisinya sekarang? Apakah anak gadisnya itu baik-baik saja? Atau ada suatu hal buruk terjadi kepadanya? Bastian benar-benar pusing, air matanya menitik dari pelupuk matanya. Kenapa takdir membuat ia harus berpisah dengan darah dagingnya? Kenapa takdir begitu kejam memisahkan mereka? "Sayang, kamu dimana, Nak?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN