Zira menelan saliva. Seperti ada batang kayu tercekat di tenggorokannya saat bayangan kelam itu kembali muncul di pelupuk mata. Air mata yang sebelumnya terbendung pun mulai berjatuhan. Tak kuasa menahan sesak di d**a karena sudah lelah dia memendam sendirian. Mungkin, inilah saat yang tepat untuk membaginya dengan seseorang walaupun tidak akan mengubah apa-apa karena semua sudah berakhir untuk ya. “Sttss ....” Desis dari sela bibir yang terbuka, membuat Rayyan mendongak. Saat ini dia sedang mengompres memar di kedua lengan Hazira, pun lututnya dengan air dingin. Sebenarnya, ada rasa tidak tega melihat Hazira menahan rasa sakit. Namun, dia harus melakukannya agar Hazira merasa lebih baik setelah ini. “Apa airnya terlalu dingin?” Rayyan menatap wanita itu lamat-lamat. Surai panjangnya y

