26. Not Enough

1379 Kata
"Pris, bisa bicara bentar nggak?" Prisa menghela napas pendek, dan melihat ke arah Hana. Hana hanya menunjukkan wajah tidak tahu apa-apa. "Aku udah selesai makan, aku balik duluan ke atas ya Han," ujar Prisa memimun minumannya sekilas dan hendak pergi begitu saja. "Prisa tunggu sebentar, kita harus bicara dulu." Deni yang melihat itu coba menghalangi Prisa untuk pergi. "Maaf pak, permisi." Prisa memutuskan untuk tetap berjalan pergi. Untuk saat ini Prisa benar-benar tidak ingin bicara dengan Deni. Bukan masalah apa-apa, ia hanya tidak ingin saja keputusannya untuk menghindar menjadi goyah. Deni tidak menyerah begitu saja, ia langsung mengikuti Prisa yang berjalan dengan sangat cepat. "Prisa tunggu dulu!" Deni akhirnya memutuskan untuk meraih salah satu tangan gadis itu untuk ia tahan agar berhenti. "Kak, ini kantor loh." Prisa berhenti seraya langsung menarik tangannya dari Deni. "Nggak ada orang disini dan ini masih jam istirahat." "Tetap saja ini masih di jam dan lingkungan kantor!" Prisa memperingatkan dengan menekan suaranya agar tidak terlalu keras walaupun ia sedang berusaha bersikeras. "Ya kamu sendiri yang seolah maksa kakak harus begini." "Aku nggak pernah maksa." "Sikap kamu Prisa. Kakak udah bilang kalau kita nggak bisa berakhir begitu saja, kenapa sih kamu terus menjauh bahkan sampai berlagak seperti orang ga kenal sama sekali!?" Prisa memijat pangkal hidungnya, "kak, please udah. Ngapain lagi sih? Udah jelas kan permasalahannya? Udahlah, di atas dunia ini masih ada banyak wanita lain yang mau sama Kak Deni dan jauh lebih baik dari aku dan pasti bisa di terima sama keluarga kakak." "Tapi kakak ga mau Pris!" "Kak, aku cuma minta tolong, please jangan tambahin lagi masalah aku. Terlebih masalah keluarga seperti ini, aku udah bosan dengan masalah seperti ini. Rasanya kayak udah kenyang banget sampai mau muntah. Kakak ngerti kan? Kakak tahu kan gimana hidup aku?" kali ini Prisa coba menyadarkan dan memohon kepada Deni. "Kakak sayang sama kamu Pris, ga ada wanita lain yang kayak kamu." "Ada kok kak, asal Kak Deni mau buka mata dan buka hati kakak. Aku yakin, Kak Deni orang baik." "Kakak bakal tinggalin keluarga kakak." Prisa langsung menganga kaget, "apa!?" "Demi kamu Pris." Prisa langsung menggeleng, "nggak, nggak boleh! Ngapain sih? Kak, inget apa aja yang udah keluarga kakak lakuin buat kakak sampai ada di titik ini. Kakak anak tertua dan Kak Deni punya adik. Aku ga mau di cap udah ngerebut Kak Deni selaku anak yang paling dibanggain di keluarga Kak Deni. Lagian aku tahu kakak juga deket banget sama mereka." Deni terdiam sejenak sambil memperhatikan Prisa, "atau kamu sengaja ya?" "Hah??" Prisa mengerutkan dahinya bingung dengan apa yang Deni maksud. "Apa kamu emang cuma mau manfaatin?" "Maksud Kak Deni apa sih?" "Pris, awalnya kamu juga ga mau kan kita deket lagi? Tapi tiba-tiba kamu mau kita deket lagi disaat kamu lagi butuh banget biaya untuk mama kamu berobat. Biaya pengobatan mama kamu masih banyak lagi kan? Kamu tahu kalau kakak nggak bakal bisa bantu semuanya terlebih orang tua kakak udah tahu tentang ini?" Dada Prisa langsung terasa sesak mendengar ucapan Deni, "apa!? Bisa-bisanya Kak Deni mikir begitu? Lagipula apa sejak awal aku minta bantuan sama kakak? Enggak! Sama sekali enggak, tapi kakak sendiri kan yang maksa bahkan setelah aku tolak. Memang biaya pengobatan mama akan jauh lebih besar, tapi aku sama sekali nggak berpikir akan ngeberatinnya ke orang lain! Kak Deni ga kenal aku? Apa baru seminggu dua minggu kita saling kenal!?" "Kita nggak tahu kapan seseorang bisa berubah. Bisa aja kamu lagi nyari orang lain yang lebih bisa bantu semua masalah kamu. Kakak tahu kok Pris, sekarang kamu juga mulai dekat dengan Pak Dehan, tentu mata kamu mulai terbuka kalau ada banyak pria mapan di luaran sana yang lebih bisa kamu manfaatin dibanding kakak." Prisa yang terkejut mendengar ucapan Deni tidak bisa memilih ekspresi apa yang harus ia berikan sekarang. Kini malah ia tertawa miris melihat Deni dengan tatapan tak percaya. "Emang ya kak, kita nggak tahu kapan seseorang bisa berubah. Contohnya saja pria yang ada di depanku ini. Bisa-bisanya pria yang aku kenal sangat baik dan aku percayai tiba-tiba mengeluarkan kata yang sangat menyakitkan. Benar-benar tidak bisa dipercaya Kak Deni tega bicara seperti ini, tapi ya mungkin seseorang memang bisa berubah." Prisa bicara sambil tersenyum namun diam-diam berusaha keras menahan air matanya. Jujur, ini lebih menyakitkan dibanding ucapan Mama Deni tempo hari. "Pris...," "Udah ya kak, udah sampai sini. Kakak udah hilang kepercayaan ke aku? Aku juga udah takut berhadapan sama kakak. Aku nggak mau hubungan kita menjadi semakin buruk padahal kakak udah baik banget ke aku sebelumnya. Maaf ya kak kalau aku udah bikin kakak kecewa atau sakit hati." Prisa memutuskan untuk langsung pergi meninggalkan Deni. Ia tidak bisa lagi berhadapan dengan Deni terlalu lama, kasihan dengan perasaannya. Deni pun hanya terdiam lalu berdecak kesal menyesali apa yang telah terjadi. Perasaannya juga campur aduk sekarang. * Prisa terduduk di dalam salah satu kamar toilet kantor untuk coba menenangkan diri. Ia juga sudah menangis sejenak untuk melepaskan emosi kesedihannya walaupun ia tidak bisa melepas semuanya. Ia harus kuat karena ia masih di kantor dan harus menyelesaikan hari ini bagaimanapun caranya. Tapi benar-benar ia sangat tersakiti dengan ucapan Deni tadi. Ucapan menyakitkan dan hinaan dari orang yang kita sayang dan percayai memang sangat menyakitkan. Prisa masih tidak habis pikir, bagaimana bisa seorang Deni bicara seperti tadi. "Udah Prisa, yok kuat yok. Udah biasa kok yang begini, kamu harus lebih kuat dan nggak usah pikirin lagi." Prisa menyugesti dirinya untuk segera normal. Setelah menarik napas dalam, Prisa keluar dari dalam kamar toilet dan langsung menuju westafel dan memeriksa penampilannya di kaca besar yang ada di sana. Disaat mencuci tangan, Prisa yang tadinya hanya sendirian dikejutkan oleh seseorang yang ikut mencuci tangan di sampingnya dan saat ia melihat cermin ternyata itu adalah Bu Lia. "Udah selesai masalahnya?" Lia bicara terlebih dahulu. "Masalah?" Prisa bingung. "Maaf, saya ga sengaja dengar pembicaraan kamu dengan Deni tadi." Prisa tentu tidak bisa langsung menjawab, ia terkejut menatap Lia melalui cermin. "Saya sudah tahu kamu akan bermasalah dengan orang tua Deni. Pasti mereka sangat merendahkan kamu bukan?" Prisa hanya diam, untuk sekarang ia tidak bisa bicara apa-apa. "Apa kamu ingin mendengarkan cerita saya? Kamu pasti tahu kalau saya menyukai Deni bukan? Dan bahkan rasanya gosipnya sudah tersebar, haha saya bingung dengan kantor ini, sepertinya setiap dinding punya telinga." Prisa mengangguk, "iya bu, saya tahu." Lia tersenyum kecil, "Deni memang sangat baik, karena itu saya suka. Sayang sekali dia tidak membalas perasaan saya. Disaat itu saya berpikir mungkin saya bisa mendapatkan Deni dengan mendekati orang tuanya karena kebetulan orang tua saya kenal dengan orang tuanya. Tapi kamu tahu apa yang saya dapat?" Prisa yang awalnya sangat malas untuk menanggapi Lia, sekarang mulai penasaran, "apa bu?" "Mereka tidak menyukai saya hanya karena mereka tahu kalau saya dari keluarga biasa saja. Posisi ayah saya dibawah posisi ayah Deni, mereka sempat bekerja di tempat yang sama. Mereka juga tahu kalau saya memiliki banyak adik yang saat ini menjadi tanggungan saya." Lia bicara sambil menutupnya dengan kekehan. "Ibu masih suka sama Pak Deni?" Lia mengangguk, "ya sepertinya, tapi faktanya sedikit sulit. Dan saat saya tahu kamu dekat dengan Deni, saya sudah menyangka kalau kamu akan ditolak mentah-mentah oleh keluarganya." Prisa mengangguk kecil, "rasanya hina sekali." "Tapi sebenarnya keluarga Deni memang tidak salah. Mereka sangat logis, Deni adalah anak yang berharga untuk mereka, mereka wajar sangat pemilih." "Hanya saja..." "Ucapan mereka mungkin benar, tanpa sadar kita sebenarnya memanfaatkan orang lain demi kepentingan kita. Mama kamu sakit kan? Butuh biaya lebih? Memanfaatkan Deni memang bukan pilihan yang tepat." Lia bicara sambil memutar badannya untuk bersandar ke westafel serta bisa melihat wajah Prisa langsung. Prisa mengepalkan tangannya karena ia merasa tersinggung dengan ucapan Lia, "saya sama sekali sejak awal tidak ada niat memanfaatkan Pak Deni." Lia terkekeh, "hidup memang harus logis, kamu butuh biaya besar. Kemanapun kamu pergi sekarang kamu pasti akan dipikir hanya akan memanfaatkan orang lain. Saya paham sekali posisi itu." "Bu, sepertinya saya harus pamit duluan," Prisa tidak bisa lagi menahan diri untuk tetap mendengarkan Lia, kepalanya sudah sakit sekali dan ia tidak ingin menambah beban pikiran. "Pikiran serta pandangan orang tidak akan bisa kamu elakkan, baik sekalipun atau benar-benar buruk itu akan sama saja. Deni, tidak cukup kaya untuk hal itu. Yang dia katakan benar, ada yang jauh lebih dibanding Deni." Prisa terdiam sejenak dengan ucapan Lia, namun dengan cepat-cepat ia akhirnya pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN