"Pris, kamu kenapa?" tanya Hana pada Prisa yang sedang membereskan barang-barang nya bersiap untuk pulang kantor hari ini.
"Apanya yang kenapa?"
"Seharian ini keliatannya rada beda, banyak diem dan bad mood. Ada masalah lagi? Bukannya mama kamu udah pulang ya?" Hana sebenarnya tidak bermaksud terlalu ambil perhatian setiap gerak-gerik Prisa dalam satu hari, hanya saja sikap Prisa hari ini memang terlihat jelas berbeda.
Prisa menggeleng, "nggak kok, nggak kenapa-napa, emang lagi malas aja."
"Boong ya? Kamu kan bukan orang yang moody an. Ada masalah sama Pak Deni?"
Prisa diam-diam menghembuskan napas pelan, "entahlah."
Jawaban Prisa langsung saja membuat Hana paham kalau ini memang ada sangkut pautnya dengan Deni, "pantesan Pak Deni tadi nge chat aku nanyain kamu."
Prisa menoleh, "nanyain apa?"
"Kamu masuk kerja apa enggak. Kamu ga balas chat dan angkat telfonnya ya?"
"Aku capek Han, nanti aku ceritain ke kamu ya. Tapi untuk sekarang aku minta tolong sama kamu kalau Pak Deni bilang atau nanya apa aja, kamu ga usah terlalu tanggepin dulu. Maaf ya Han jadi buat kamu ikut repot juga."
"Yaudah, nanti kamu cerita ya sama aku. Inget kalau apa-apa jangan simpen sendiri, aku selalu sedia kok dengerin kamu masalah apapun dan kapanpun itu." Hana tidak lupa mengingatkan sambil mengusap sekilas bahu sahabatnya itu.
"Han, kamu pulang di jemput adek kamu?"
"Iya, ada apa memang?"
"Kalau gitu aku duluan ya, soalnya pengen banget sampai rumah secepatnya. Aku juga mau mastiin kalau nama baik-baik aja."
"Okey, yaudah kamu hati-hati. Sampai jumpa besok."
*
Karena berjalan sendirian, Prisa berjalan dengan sangat cepat keluar dari kantor. Seperti biasa ia langsung menuju halte terdekat, sepanjang perjalanan wajahnya hanya datar dan seperti tak tertarik untuk melihat ke siapapun. Padahal biasanya ia akan selalu tersenyum menyapa orang-orang yang ia temui, namun untuk hari ini ia rasanya begitu malas.
"Prisa!"
Prisa yang berdiri sambil berpangku tangan dikejutkan oleh seseorang yang tiba-tiba menghampirinya. Tapi saat menyadari siapa yang datang, ia hanya diam seolah tidak peduli.
"Prisa, kok kamu sejak kemarin nggak balas chat sih? Tadi juga di kantor waktu kita mau papasan kamu kelihatan sengaja banget untuk menghindar." ini adalah Deni yang bela-belaan saat baru habis jam kantor langsung bergegas menuju halte untuk menemui Prisa, tempat yang pasti wanita itu datangi sebelum pulang.
"Kamu marah masalah kemarin yang kakak nggak jadi jemput mama kamu? Kakak benar-benar minta maaf Pris." Deni kembali bicara karena Prisa tak kunjung bersuara.
"Udah lah kak, jangan terus berusaha bersikap baik lagi deh ke aku." Prisa menjawab dengan suara pelan sembari terus menatap ke arah lain tidak ingin menatap Deni.
Deni terkejut, "kamu ngomong apa sih? Kenapa mendadak begini? Kita nggak ada masalah apa-apa sebelumnya, lalu tiba-tiba kamu bicara seperti ini?"
Prisa tertawa pelan, "nggak ada masalah apanya?"
"Hah?" Deni terperangah dan di saat itu Prisa sudah bergerak hendak masuk ke angkot yang baru saja berhenti di hadapan mereka, namun tentu dengan cepat Deni menahan Prisa dan menyuruh angkot tersebut untuk pergi.
Prisa tentunya kaget sambil langsung berusaha melepaskan tangannya yang di tahan oleh Deni, "ih apaansih?"
"Kamu yang apaan!?"
Prisa yang sudah berhasil menarik tangannya dari Deni memutuskan berjalan pergi untuk menjauh dari pria itu, hatinya benar-benar masih sakit bahkan hanya dengan melihat wajah Deni.
"Prisa tunggu dulu!" Deni langsung berusaha mengejar Prisa dan berhasil meraih tangan gadis itu lagi untuk ia tahan.
"Kamu kenapa sih aneh banget? Apa? Apa masalahnya? Kamu ngomong dong, kamu pikir dengan begini kakak paham apa masalahnya?" Deni tampaknya mulai ikut emosi dengan sikap Prisa.
Prisa menarik napas dalam sambil menatap tajam pada wajah Deni, "dari awal harusnya aku tetap dengan pendirianku untuk nggak ngeladenin kakak dan tahu dengan posisi aku."
"Apa maksudnya?"
"Kakak udah tahu kan kalau mama kakak udah nyari tahu semua latar belakang aku dan dia tidak menyukaiku? Kakak nggak mungkin nggak tahu kan? Kenapa sih kak udah tahu orang tua kakak begitu masih aja dekat denganku? Kakak sengaja bikin aku ngerasa sangat buruk dan layak buat dihina dan direndahkan!? Harus banget aku bilang kalau aku udah capek selalu dihina sama orang?" Prisa tidak bisa menahan dirinya lagi, ia langsung mengutarakan masalahnya dengan air mata yang rasanya sudah tidak bisa ditahan lagi.
Deni terperangah kaget, "apa? Jangan bilang kalau..."
"Semalem mendadak mama kakak datang maki-maki aku, hina aku, bilang aku yang enggak-enggak di depan orang-orang hanya karena aku dekat dengan anaknya." Prisa terus memberi tahu apa masalahnya saat ini sambil tangannya dengan cepat mengusap sebulir air mata-mata yang tiba-tiba jatuh tanpa ia inginkan. Ia tidak mau menangis sekarang.
"Pris, tentang itu, kakak minta maaf. Kakak ga nyangka mama bakal nyamperin kamu."
"Aku sakit hati banget tahu nggak sih kak? Mama kakak bicara yang enggak-enggak sampai para tetangga denger. Aku baru pindah kesana dan berharap hidup dengan lebih baik setelah hidupku sebelumnya dan juga di kantor rasanya penuh tekanan. Oke kalau aku bisa tahan, tapi gimana kalau mereka juga ngatain yang enggak-enggak tentang aku dan sampai ke telinga mamaku? Untung aja semalam mama dan Nania nggak denger langsung seberapa jahatnya mulut mama kakak. Emang selama ini aku deket sama kakak niatnya cuma buat manfaatin Kak Deni!?"
Deni menghembuskan napas kasar sambil menyisir sekilas rambutnya dengan jari-jarinya, "okey kakak paham posisinya, kakak minta maaf. Kakak tahu sikapnya tadi malam sangat salah, tapi mama kakak juga punya alasan bersikap demikian."
Dahi Prisa langsung mengerut mendengar ucapan Deni, "apa? Alasan? Ada alasan melakukan hal menyakiti orang lain seperti itu?"
"Bukan seperti itu maksudnya. Hanya saja.., kamu tahu kalau kakak awalnya bukan dari keluarga yang sangat kaya, bukan? Keluarga kakak berkorban banyak demi membuat kakak mendapatkan pencapaian seperti sekarang. Tentu mereka menjadi sangat sensitif perihal pasangan. Dengan apa yang telah diusahakan sebelumnya, mereka tentu ingin seseorang dengan kriteria idaman tertentu yang mereka pikir sepadan." Deni coba menjelaskan pada gadis di hadapannya itu.
Prisa langsung terkekeh sembari memijat pelipisnya yang sudah berdenyut-denyut dan membuat kepalanya sakit. Bahkan semalaman ia tidak dapat tidur hanya karena ucapan mama dari Deni. Ia tidak ingin memikirkannya tapi ucapan itu terus berputar di kepalanya.
"Prisa...."
"Tahu gitu ngapain sih kakak terus deketin aku padahal tahu benar aku sama sekali bukan seseorang yang gs bisa diterima di keluarga kakak. Tahu nggak siapa disini yang jahat? Kakak yang jahat banget, tahu nggak? Kakak udah tahu persis aku udah capek banget dihina orang, aku takut banget buat hutang budi atau hutang harta sama orang, tapi kakak malah bikin aku makin ngerasain itu."
"Prisa, kakak beneran sayang sama kamu. Kakak ga pernah ada niatan buruk sama sekali."
"Udahlah kak, jangan bikin semuanya semakin runyam. Aku capek hidup dengan masalah demi masalah yang nggak ada habisnya. Aku cuma mau hidup dengan biasa-biasa saja, hanya itu." Prisa tidak tahu harus bagaimana lagi mengungkapkannya kekecewaan, kesedihan, kemarahan dan rasa lelah yang sudah bercampur aduk di hatinya.
"Tunggu sebentar saja, kakak yakin ini akan ada solusinya."
"Nggak! Masalah kayak gini nggak bakalan ada ujungnya. Aku tanya deh ke Kak Deni, kakak pun sebenarnya setuju kan dengan alasan sikap orang tua kakak saat ini nolak aku dan berujung ngehina aku seperti semalam? Dengan ucapan kakak tadi udah kelihatan kalau kakak pun secara nggak langsung mengiyakan kalau kakak memang harusnya dapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari aku."
"Nggak gitu Prisa, kamu salah paham."
"Apanya yang salah paham? Walaupun aku bukan wanita dengan kriteria idaman serta berkelas, aku masih bisa paham hal-hal seperti ini. Meskipun nggak berpendidikan tinggi, nggak orang kaya, nggak orang terpandang, tapi aku udah lumayan banyak ngelewatin masalah kehidupan. Aku udah cukup paham walaupun masih belum cukup kuat ngehadapinnya. Aku udah paham benar berbagai ucapan-ucapan menyakitkan itu."
"Jangan bicara seperti itu, kakak minta maaf kalau ucapan kakak tadi juga malah nyakitin kamu."
"Cukup kak. Sekarang aku cuma mau berterima kasih atas semua kebaikan kakak selama ini. Aku bakalan balikin semua yang udah kakak kasih ke aku, secepatnya." Prisa menegaskan.
Deni menggeleng, "enggak, kamu jangan gini Pris. Kakak mohon...,"
"Kak, aku sayang banget sama keluarga aku, dan aku tahu kakak pun pasti juga begitu. Mereka benar, mereka udah kasih segalanya buat kakak, bukan orang seperti aku yang harusnya kakak dapatin. Pun kalau kakak terima aku, aku nggak cukup kuat ngehadapin keluarga kakak. Aku udah lelah dengan masalah seperti ini kak."
"Prisa..."
"Aku lelah dan ingin pulang, tolong jangan halangi aku."