28. Understanding

2092 Kata
"Mbak nggak dingin sejak tadi disini?" Nania menghampiri kakaknya yang sedari tadi berdiri di balkon kamar inap sendirian. Prisa yang tadinya melamun tersadar dan melirik Nania yang sudah berdiri disampingnya ikut melihat pemandangan malam di hadapan mereka, "udah selesai makan?" Nania mengangguk, "udah, mama juga udah makan dan lagi istirahat. Mbak kapan mau makan? Belum makan kan?" "Nanti aja, belum lapar." "Seriusan? Kapan terakhir mbak makan hari ini?" "Tadi siang di kantor." "Mbak, udah lewat jam 9 loh ini." Prisa tersenyum kecil, "nanti mbak makan." Nania menghela napas pendek lalu melirik kakaknya itu lagi, "mbak abis nangis?" Prisa mengerutkan dahinya, "enggak, siapa yang nangis?" Walaupun begitu, Nania tetap saja tahu kalau kakaknya itu habis menangis, wajah kakaknya tampak berbeda dan sedikit sembab. "Capek ya mbak?" Prisa menarik sudut bibirnya untuk tersenyum, "cuma butuh istirahat sebentar saja." "Maaf ya mbak." Prisa agak terkejut mendengar ucapan Nania, bukan hanya karena ia mendadak minta maaf, tapi juga karena Nania orang yang jarang mengatakan hal seperti itu, "kamu abis bikin salah?? Atau salah makan??" Nania menarik napas dalam, "aku kayaknya nggak bisa bantu apa-apa. Mbak pusing sendiri dan ga mau bilang ke aku." Prisa terkekeh, "ngomong apa sih??" "Aku udah lihat berapa biaya yang dibutuhin buat pengobatan mama. Aku nggak sengaja tadi lihat di laci dan aku kaget ngelihatnya." Prisa terdiam karena kaget tiba-tiba Nania membicarakan hal itu. "Kok mbak ga kasih tahu? Emang mbak ada uang?" tanya Nania lagi menatap kakaknya itu. "Pasti bakalan ada." "Dari mana?" Pertanyaan Nania kembali membuat Prisa diam. Ia pun sudah menanyakan hal yang sama pada dirinya sejak tadi namun tak menemukan jawaban apapun. "Aku nggak usah lanjut kuliah, mbak." Mata Prisa langsung membelalak mendengar penuturan Nania yang begitu tiba-tiba, "apa!? Nggak, kamu harus lanjut kuliah Nania." "Enggak, mbak." "Bukannya kamu sendiri yang bersikeras harus kuliah? Kamu bahkan udah mempersiapkan semuanya dari jauh hari. Kamu juga pintar." "Mbak dulu juga pintar, tapi nggak lanjut kuliah." "Memang, tapi kita beda. Lihat mbak sekarang, kamu mau cuma jadi karyawan rendah kayak mbak? Kamu mau nyia-nyiain kecerdasan kamu? Kamu nggak mau hidup dengan lebih baik?" "Apa salahnya jadi mbak? Bahkan mbak bisa ngehidupin keluarga kita. Hidup mbak berguna dan berjasa banget buat aku dan mama." Prisa menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya, "nggak Nania, mbak tahu kamu pengen banget buat kuliah. Udahlah jangan aneh-aneh." "Tapi biaya dari mana mbak!? Uang buat mama aja nggak tahu bakalan datang dari mana. Aku nggak mau selalu nyusahin mbak dan bikin beban mbak bertambah. Mending aku ikut cari uang bantu mbak. Masalah kuliah bisa tahun depan atau kapan-kapan. Aku nggak mau egois, lagian dengan kuliah juga belum menjamin aku buat sukses." "Udah lah Nania, kamu jangan ikutan mikirin ini, ini biar mbak yang pikirin dan selesain. Kamu cukup fokus sama diri kamu aja." Prisa tetap berusaha agar Nania tidak ikut memikirkan berbagai masalah. "Mbak, aku ga mau terus kelihatan egois dan cuma mbak aja yang susah sendiri." "Ya tapi kamu masih sekolah. Emang belum saatnya kamu mikirin ini." "Mbak dulu udah mulai kerja pas SMA, ngurusin ini itu, ngerjaian segala macam nya. Kenapa mbak selalu manjain aku? Kenapa mbak mau banget susah sendiri? Emang mbak pikir aku nggak bisa apa-apa selain belajar?" Prisa terdiam menatap sang adik, entah kenapa ia merasa sangat sedih, "mbak mau banget manjain kamu tapi mbak masih belum bisa. Kamu adik mbak satu-satunya, kamu punya waktu yang lebih sedikit dari mbak ngerasain kasih sayang orang tua lengkap. Mbak cuma nggak mau kamu ngerasa serba kekurangan, mbak mau kamu bahagia. Cuma itu yang mbak mau." "Terus gimana sama diri mbak sendiri?" "Mbak cuma mau kasih sepenuhnya hidup mbak buat kamu sama mama. Cuma itu yang mbak mau dan yang bikin mbak seneng." "Mbak bohong, semua orang pasti memikirkan dirinya sendiri." "Maafin mbak," Prisa tak bisa lagi menahan air matanya untuk kembali menangis dan langsung memeluk sang adik dengan erat. Nania yang kini tengah dipeluk sang kakak berusaha keras menahan diri untuk tidak ikut menangis, namun getaran tubuh sang kakak yang kini ia rasakan membuatnya tak bisa menahan sebulir air mata mengalir di pipinya. "Mbak mau kamu dapatin apa yang kamu mau dan cita-citain lalu hidup bahagia. Mbak sayang banget sama kamu, cuma kamu dan mama yang bener-bener mbak punya. Mbak akan lakuin apapun demi kalian." Prisa terus bicara dengan suara serak karena tangisnya tak bisa berhenti. Nania yang sedari tadi hanya diam kini bergerak membalas pelukan sang kakak, "aku nggak apa-apa kok mbak, aku ga akan nuntut apa-apa sama mbak karena mbak udah kasih segala yang terbaik buat aku dan mama." "Kamu sekarang cukup doain supaya mbak dapatin jalan keluar dari semua masalah ini. Kalau kamu juga sayang sama mbak, tolong dengerin ucapan mbak. Jangan ikut mikirin semua masalah ini, tolong hanya fokus pada diri kamu sendiri." "Tapi mbak..." "Mbak cuma minta itu ke kamu." *** Saat jam kantor sudah habis, Prisa berjalan dengan sangat cepat untuk keluar dari kantor. Disaat mamanya di rawat di rumah sakit, pikirannya tidak bisa untuk fokus bekerja dan hanya ingin selalu memastikan kalau mamanya baik-baik saja. Prisa semakin mempercepat langkahnya bahkan seakan ingin berlari karena sudut matanya menangkap kehadiran Deni yang hendak menghampirinya. Sumpah demi apapun Prisa sangat tidak ingin berhadapan dengan Deni sama sekali, terlebih saat pikirannya sedang kacau seperti sekarang. "Prisa sebentar!" Prisa yang berjalan sangat cepat sambil terus memastikan Deni yang ada di belakangnya tidak bisa mengejar, dikejutkan oleh seseorang yang mendadak ada di depannya dan nyaris ia tabrak. "Ouh, bapak?" Prisa berhenti secara mendadak dengan wajah kaget bahkan sampai sedikit oleng tapi syukurnya ia dengan cepat menyeimbangkan diri. "Kamu buru-buru? Kamu seperti sedang dikejar sesuatu," itu adalah Dehan yang menyadari wajah Prisa terlihat panik. Prisa diam-diam melirik ke arah Deni untuk memastikan keberadaan pria itu. Dan nyatanya pria itu ikut diam di tempat namun tetap mengawasi Prisa yang sedang ditahan oleh Dehan. "Prisa, ada masalah?" tanya Dehan lagi karena Prisa bukannya menjawab, tapi malah diam dengan wajah gelisah. Prisa tersadar lalu menggeleng, "tidak pak, tidak ada apa-apa." "Kamu ingin langsung ke rumah sakit? Mama kamu masih di rawat?" "Masih pak." "Ada yang perlu saya bicarakan dengan kamu, penting. Kalau kamu mau, saya akan antar kamu ke rumah sakit, kita bicara di jalan." Dehan menawarkan. "Perlu bicara dengan saya? Penting??" Prisa bertanya lagi ingin memastikan karena kurang yakin dengan apa yang baru saja ia dengar. Pria tinggi dengan kulit kuning langsat itu mengangguk, "apa boleh?" Prisa melihat lagi ke arah Deni yang sepertinya masih menunggunya selesai bicara dengan Dehan. "Boleh pak," Prisa memilih untuk menyetujui permintaan Dehan. Dengan begini tentu ia juga bisa sekaligus menghindari Deni. Dehan tersenyum, "baguslah, kita bisa langsung keluar sekarang?" "Baik pak." * "Ehm, maaf pak. Kalau boleh saya tahu, ada apa ya pak?" tanya Prisa sedikit gugup memulai pembicaraan saat ia dan Dehan yang sudah di perjalanan menuju rumah sakit menggunakan mobil yang Dehan kendarai. Dehan tertawa, "maaf ya Prisa, pasti kamu agak kaget dan bingung saya mendadak mengajak bicara seperti ini." "Nggak papa kok pak." "Saya sebenarnya mau terima kasih sekaligus minta maaf karena pasti belakangan ini agak merepotkan karena Manda selalu ingin menghabiskan waktunya di tempat kamu." Prisa sedikit tertawa, "tentang itu ternyata, pak? Kalau itu kan saya sudah bilang pak, saya sama sekali tidak apa-apa dan sangat senang. Lagian saya juga mau berterima kasih sama bapak udah ijinin Manda sering ke tempat saya. Dia sering nemenin mama saya, bahkan kemarin sampai repot menemani saya ke rumah sakit. Saya sangat senang." Dehan mengangguk, "ada satu hal lagi yang saya harus sangat minta maaf atas nama adik saya pada kamu." "Apa lagi pak?" "Dia kemarin menguping pembicaraan kamu." Prisa agak terkejut mendengar ucapan Dehan, "eh? Maksudnya gimana pak? Dengerin apa memangnya?" "Waktu kamu bahas sakit mama kamu dengan dokter dan lainnya. Dia cerita ke saya kalau dia nguping." Prisa tertawa, "ya ampun Manda lucu banget sampai hal seperti itu cerita ke bapak." Dehan ikut terkekeh kecil, "dia memang seperti itu. Dia juga cerita kalau dia ngerasa deket banget sama keluarga kamu, terlebih dengan mama kamu, Tante Sarah." Prisa mengangguk, "saya juga menyadari itu pak, bahkan kadang dia kelihatan lebih dekat dengan mama saya ketimbang saya ataupun adik saya Nania." "Jujur saya kaget saat dengar itu dari Manda. Dia bilang kalau dia takut banget terjadi sesuatu pada Tante Sarah." "Manda baik sekali." "Dia sedih dan khawatir setelah mendengar pembicaraan kamu dengan dokter. Dan jujur sebenarnya saya juga bingung bagaimana menyampaikannya pada kamu." Dehan bicara dengan wajah yang tampak sedikit bingung serta ragu. Prisa mengerutkan dahinya, "ada apa pak?" Dehan bergerak mengambil sebuah amplop dari dashboard dan memberikannya pada Prisa, "ini coba kamu pegang dulu dan periksa." Prisa yang bingung hanya mengikuti perintah Dehan dengan polos, ia membuka amplop itu untuk melihat isinya, ia agak kaget karena melihat ada uang cash yang seperti nya jumlahnya tidak sedikit, "ada uang pak." "Itu dari Manda." jawab Dehan pendek. Mata Prisa terbuka lebar dan mulutnya menganga, dengan cepat Prisa menutup rapat lagi amplop itu, "dari Manda maksudnya gimana pak?" "Saya harap kamu tidak tersinggung terlebih dahulu mengenai ini. Saya akan coba jelaskan. Manda mendengar kalau biaya pengobatan mama kamu sangat besar, kita sama sekali tidak bermaksud apa-apa yang mungkin membuat kamu merasa tersinggung. Ini murni keinginan Manda yang tidak ingin Tante Sarah kenapa-napa." Dehan coba menjelaskan dengan sangat hati-hati. "Tapi pak, rasanya ini sangat berlebihan." Prisa masih belum bisa mencerna apa yang Dehan katakan karena masih sangat kaget. "Kamu masih menahan tindakan lanjutan untuk mama kamu? Agaknya itu bisa untuk beberapa tindakan pengobatan ke depan. Jika nanti jadi dilakukan operasi, kita bisa bicarakan lagi, sekali lagi saya minta maaf karena mengetahui semua hal ini melalui Manda." Prisa terdiam karena kini pikirannya sudah terasa kacau. Menerima uang sebanyak ini dari orang asing terasa sangat aneh dan memalukan, tapi disisi lain ia memang sangat membutuhkannya. Ia sudah memikirkan cara mendapatkan uang untuk mamanya semalaman sampai tidak bisa tidur tapi sama sekali tidak mendapatkan jawaban. Satu-satunya jalan keluar yang tadi terpikirkan hanyalah meminjam uang ke rentenir. Tapi ia masih sangat ketakutan dengan konsekuensi mengerikan nanti kalau sudah berhubungan dengan rentenir. Sejak dulu ia memang sangat takut untuk melakukan hal itu, padahal kondisinya sudah sangat mendesak. "Maaf, kalau boleh saya bercerita jujur. Saya sangat menyayangi adik saya Manda dan mau melakukan apapun untuknya," Dehan memilih untuk bicara terlebih dahulu karena sudah beberapa lama ia menunggu Prisa tak kunjung bersuara. "Selama ini saya merasa agak takut melihat bagaimana karakter Manda. Dia hidup seperti tanpa emosi yang berarti, dia tidak melihatkan naik turun emosinya dengan jelas bahkan sampai dia di usia remaja seperti sekarang. Saya kadang ketakutan sendiri dengan pertanyaan apakah saya sudah membesarkan adik saya dengan benar?" Prisa kini diam memperhatikan Dehan yang tengah bercerita mengenai Manda. Bahkan hanya dengan melihat sekilas semua orang akan tahu kalau Dehan memang sangat menyayangi adiknya. "Manda sangat jarang melihatkan ketertarikan atau rasa simpatik pada orang lain. Dan untuk pertama kalinya saya merasa terharu mendengar bagaimana dia merasa khawatir pada keadaan mama kamu." Mendengar cerita Dehan membuat Prisa ingat dengan perbincangannya pertama kali dengan Manda saat di shelter. Saat itu ia terkejut dengan alasan Manda tidak jadi memelihara hewan peliharaan. Sepertinya ucapan Dehan barusan selaras dengan hal tersebut. Manda tidak begitu memperlihatkan rasa simpatik atau perasaan tertentu, dia hanyalah orang yang realistis. "Saya senang sekali dan tentunya tidak ingin melukai perasaan Manda. Harapannya hanyalah tidak terjadi sesuatu pada mama kamu, mungkin dia tidak sadar kalau dia menemukan sosok ibu yang tidak pernah ia punya di mama kamu, Prisa. Saya tidak ingin membuat Manda bersedih. Oleh karena itu saya harap kamu tidak salah paham dengan apa yang Manda berikan." Dehan menutup penjelasannya dengan harapan besar pada pengertian Prisa. Prisa tertunduk memperhatikan amplop uang yang ada di atas pahanya itu, ia sedang coba kembali menata pikirannya yang sedang berantakan. "Benar tidak apa saya menggunakan uang ini pak? Bapak percaya pada saya?? Bahkan bapak tidak begitu kenal saya dan keluarga saya." Dehan tersenyum menoleh pada Prisa, "saya yakin dan percaya kalian adalah orang baik." Prisa kini malah bergerak meletakkan amplop berisi uang itu kembali ke dalam dashboard yang membuat Dehan menunjukkan wajah kaget. "Pak, apa saya boleh mikir terlebih dahulu?" Mendengar pertanyaan Prisa yang terdengar sangat pelan membuat Dehan paham dan memilih untuk mengangguk, ia tidak mungkin memaksa Prisa untuk menerima bantuannya dengan cepat. "Tidak apa, kalau ada apa-apa jangan segan menghubungi saya lagi. Kamu sudah simpan nomor saya kemarin yang menghubungi kamu?" "Sudah pak." "Hubungi saya kapanpun, kebetulan nomor saya yang kemarin itu adalah nomor pribadi, bukan yang untuk pekerjaan." Prisa mengangguk dan tersenyum simpul, "baik pak, terima kasih banyak." "Apa saya juga boleh sewaktu-waktu menghampiri mama kamu?" "Tentu pak, kapanpun bapak mau." ****************************************** HALOOOO!? MAU AKHIR TAHUN NIH, BOOM UPDATE SERU KALI YA?? WKWKWKWKWK
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN