“Bell, apa seblak rasanya memang seperti ini? Kok agak lain, ya?"
Suara itu menginterupsi Bella yang baru saja akan fokus pada pekerjaannya.
“Maaf Pak, tadi Bapak bilang apa, ya?" Bella memang tidak mendengar apa yang Seno katakan.
“Saya rasa, seblak ini punya rasa aneh. Nggak seperti yang seharusnya," katanya, mengerutkan wajahnya. Seno justru terlihat seperti baru saja memakan sesuatu yang asam.
"Maaf Pak, bukannya Bapak baru pertama kali makan seblak?" Bella menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Ini kamu beli di mana, sih?” Tapi Seno tidak menjawab pertanyaannya. Dia menjauhkan mangkok tersebut darinya.
Ditanya seperti itu, Bella segera mengalihkan wajah ke arah lain sembari bergumam, "Waduh gawat! Kalau Pak Seno tahu makanan itu beli di pinggir jalan pasti dia bakal kecewa." Bella mengepalkan tangan cemas.
“Seperti yang Bapak minta. Tempat yang sudah pasti terjamin kebersihannya."
Bella berdeham pelan. Ternyata cukup buruk untuk berbohong.
"Tadi saya juga makan seblak yang sama dan saya nggak menemukan keanehan dari rasanya, Pak." Walaupun memang agak asin.
“Kamu yakin restoran itu memang jualan seblak?"
Bella sampai detik ini tidak mengerti mengapa Seno terus membahas soal seblak itu. Seingat Bella, Seno mengatakan bahwa dia bisa berhenti jika tidak menyukainya.
“Intinya, tempat itu memang jualan seblak, Pak. Higenis dan pasti terpercaya. Pembelinya juga banyak, Pak." Seketika Bella membayangkan debu dan asap kendaraan di sekitar gerobak tersebut. Ia meringis.
“Coba kamu ke sini,” panggil Seno dan Bella mendekat tanpa curiga. Dia berdiri di depan meja bosnya itu.
“Tolong suapin. Siapa tahu kalau disuapin kamu mungkin rasanya beda?"
EH?
Apakah Seno tidak pernah berpikir bahwa semua kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat jantung Bella berdebar?
Berdebar ....
Berdebar ....
Berdebar ....
Pipi Bella memerah seketika.
“Kenapa?"
Bella menggeleng cepat.
"Kalau kamu nggak mau juga nggak apa-apa, Bell. Lagi pula, sekarang masih jam kerja." Seno tersenyum manis sambil menatapnya.
Bella menjadi sangat akrab dengan Seno di luar jam kerja. Mereka biasa menjadi teman curhat, teman jalan dan sering melakukan banyak hal bersama-sama. Kecuali, hal-hal yang tidak-tidak.
“Eh, mau kok, Pak!” Bella bergegas mengambil alih mangkok tersebut. Siapa yang mau menyia-nyiakan kesempatan ini? Siapa tahu dari momen ini, akan tumbuh benih cinta di hati Seno untuknya?
Bella dan Seno pindah tempat. Mereka duduk di sofa hitam dan bersebelahan. Dengan tangan setengah gemetar, Bella memangku mangkok berisikan seblak dan mulai mengarahkan suapan pertama ke Seno.
Mata Seno berbinar seketika. “Nah bener, kan! Rasanya beda.”
Seno terkekeh. Bella menunduk tersipu.
“Tahu begini, dari tadi kamu suapin saya, Bell.”
“Ah, Bapak bisa aja!” Bella tersipu malu-malu.
PYARR!
Apa itu?
Apakah harga dirinya baru saja jatuh?
“Kalau saya boleh tahu, kenapa kamu selalu mengiyakan yang saya suruh?” Seno mengubah topik pembicaraan secepat kilat. Sementara Bella terdiam sembari berpikir.
"Bapak atasan saya. Apa normal kalau saya menolak semua hal yang Bapak suruh?"
Seno suka sekali terkekeh saat bersamanya. Kadang-kadang, Bella terlalu percaya diri mengartikan itu adalah rasa suka. Ia pernah mendengar bahwa seseorang yang sering tertawa saat bersamamu itu artinya dia merasa nyaman denganmu. Tapi, nyaman dan suka adalah dua hal yang berbeda.
"Tapi, nggak harus semuanya, kan? Bahkan di luar kantor dan urusan pekerjaan pun kamu selalu mengiyakan apa yang saya suruhkan." Seno melirik mangkok di pangkuan Bella dan dengan sigap Bella menyuapinya lagi. "Saya jadi takut kamu punya permintaan aneh ke saya, hahaha!"
TRIING!
Tiba-tiba, ada lampu menyala di atas kepala Bella.
“Kalau itu benar, apa Bapak mau menuruti permintaan saya?" Satu detik setelah itu, Bella merutuki dirinya dalam hati. Ia tidak minum alkohol, tapi kenapa ia kehilangan kewarasannya?
Itu karena ide Gita yang terus berkeliaran di kepalanya. Dan, Bella mencoba mengambil kesempatan ini untuk mencoba ide itu.
Seno melotot sembari memundurkan kepalanya. “Beneran ada? Padahal saya cuma bercanda, Bel. Hahaha!"
Bella! Kamu sangat memalukan! Dia cuma bercanda dan kamu menganggapnya serius!
Tapi, ia harus menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Bella tak ingin dijodohkan dengan orang yang tidak ia kenal. Ia juga tak bisa mencari jodoh secepat kilat. Lagi pula, orang yang ia suka hanyalah Seno.
Ruangan terasa pengap dan panas padahal suhu ruangan tidak pernah sepanas ini. Bella merasa tubuhnya kehilangan tumpuan dan jantung memompa darah lebih cepat.
"Walaupun Bapak bercanda. Tapi, saya serius soal permintaan." Suara Bella terdengar seperti presiden berpidato.
"Oke-oke. Memangnya kamu mau minta apa? Cuti satu minggu?"
Bella menggeleng keras.
"Terus apa?"
"Kalau---misalnya saya minta Bapak untuk jadi pacar pura-pura saya, apa Bapak bersedia?" Bella meremas ujung roknya. Kemungkinan dia akan dibentak meski Seno tidak sekejam itu.
Tetapi sangat jauh dari apa yang Bella pikirkan. Tidak ada keributan, keterkejutan atau bahkan sampai serangan jantung. Seno menampilkan sesuatu yang berkebalikan. Seolah tidak terjadi apapun.
Tiba-tiba Seno mengulas senyuman. "Kenapa harus Pura-pura? Kenapa nggak beneran?"
Berdebar ....
Berdebar ....
Berdebar ....
Bella menahan napas. Jantungnya berdebar lebih cepat. Sepertinya ada yang salah dengan Seno. Mangkok di pangkuan Bella bergetar semakin cepat. Apakah mungkin selama ini Seno juga menyukainya?
Tapi, tiba-tiba Seno tertawa terbahak-bahak. “Becanda, Bella. Saya tahu, selera kamu bukan saya, kan? Makannya kamu minta saya untuk jadi pacar pura-pura kamu.”
Bella menghembuskan napasnya. Ia cukup kecewa.
Dasar tidak peka!
Bukan selera?
Ia rela menolak banyak laki-laki demi Seno!
Di saat seperti ini, kenapa keberanian Bella untuk mengatakan hal sebenarnya justru menciut?
Bella hanya menampilkan senyum tipis.
“Tapi, kenapa kamu suruh saya untuk jadi pacar kamu. Memangnya ada apa?”
Tatapan Seno … Tatapan teduh itu selalu berhasil membuat Bella mabuk kepayang.
Setelah menimbang akhirnya Bella menceritakan semuanya pada Seno. Ia rasa, Seno adalah orang yang bisa dipercaya untuk tahu tentang tradisi unik dikeluarganya.
“Wah, kutukannya agak menyeramkan ya, hehe.” Seno memegang lehernya. “Kamu pasti tertekan?”
Bella mengangguk dengan wajah sedih.
“Bukannya ulang tahun kamu sebentar lagi?”
Di saat itu, Bella ingin menjerit bahagia. Siapa lagi yang akan ingat dengan ulang tahunya kalau bukan Gita dan Galih? Seno ternyata juga mengingatnya.
“Saya nggak mau mengecewakan sepupu-sepupu saya, Pak. Bagaimana kalau mereka beneran nggak bisa nikah gara-gara saya? Saya---"
Seno memegang pundak Bella sembari mengulas senyum. Bella mematung dan menahan napas. Ia butuh oksigen!
"Tenang, Bella. Kamu kebiasaan ya? Selalu panik dalam menghadapi apapun." Seno menurunkan tangannya. "Sekarang apa yang bisa saya bantu?"
"Bapak mau jadi pacar bohongan saya?"
"Tapi syarat kutukan itu kamu harus menikah sebelum 28 tahun. Kalau cuma jadi pacar bohongan kamu, apa itu bisa menyangkal kutukan itu?"
"Kalau gitu, sekalian nikah bohongan sama saya, Pak. Apa Bapak bersedia?" tanya Bella tanpa rasa bersalah.
“UHUK!" Tidak aneh jika Seno tersedak air liurnya sendiri. “Kamu seriusan, Bell?!”
Bella mengangguk sekali lagi dengan wajah sedihnya.
….
Diam-diam, Bella memerhatikan Seno sedang siap-siap memasukan barang-barangnya ke dalam tas kerja. Lalu, Seno juga memakai jasnya. Bella refleks melirik ke arah jam dinding.
Masih pukul 2 siang dan Seno sudah akan pulang? Mulut Bella terasa gatal ingin bertanya. Tapi, dia terlalu penakut untuk jujur di depan Seno.
Tiba-tiba Seno melihat ke arahnya dan Bella dengan cepat pura-pura fokus pada pekerjaannya.
Bella mendengar suara sepatu Seno mendekat ke arahnya. “Bella maaf, saya pulang duluan, ya?" pamitnya.
"Oh baik, Pak. Tapi, ada urusan apa sampai Bapak kelihatan buru-buru banget?"
“Ini, saya punya keponakan dan dia minta dijemput. Keponakan yang paling banyak maunya, hehe."
Bella mengangguk sambil tersenyum. Lihatlah, Seno sosok yang menyukai anak kecil. Tapi ....
“Loh, tapi anak SD kok pulang jam segini, Pak?"
Seno terkekeh sembari melangkah menuju pintu. “Memangnya saya bilang mau jemput anak SD? Keponakan saya ini sudah kuliah dan dia memang agak manja."
“Lah, anak kuliahan tapi masih minta dijemput?”
Atau jangan-jangan ….
Bella menggelengkan kepalanya. Tidak ingin memikirkan hal yang aneh-aneh.
“Kalau begitu saya pamit, ya Bell. Semangat kerjanya!"
Seno keluar setelah mengepalkan tangan ke udara memberi semangat untuknya.
Bella mengangguk. Lagi pula Seno adalah Bos, jadi dia bisa pulang kapanpun.
Tapi, Tiba-tiba Seno kembali lagi memunculkan kepalanya di pintu.
“Oh iya, soal permintaan kamu tadi, mungkin saya pikirkan hari ini juga, ya? Saya bakal kasih kamu jawaban nanti malam. Kalau saya mau, saya akan langsun datang ke rumah kamu.”
"Langsung datang ke rumah saya, Pak?"
Seno mengangguk.
"Keluarga kamu butuh kepastian dan ulang tahun kamu sebentar lagi."
“Tapi kalau Bapak merasa keberatan, Bapak berhak menolak kok.” Bella merasa permintaannya yang tadi itu terlalu berlebihan. Mana mungkin seorang bos mau berurusan dengannya?
“Tenang aja, selama saya masih bisa bantu kamu saya akan bantu kamu, Bell. Lagian, kamu juga sering bantu saya.”
Tanpa sadar, pipi Bella mengembang karena senyuman.
“Saya pergi dulu, ya?”
Bella mengangguk sembari meremas pulpennya erat-erat karena perasaan berbunga-bunga. Semoga saja Seno bersedia dan masa lajangnya akan segera berakhir.
PLAK!
Bella baru saja ditampar oleh kenyataan bahwa pernikahan itu ternyata hanya pura-pura.