Beberapa hari setelah kasus pembunuhan ibu, akhirnya terungkap juga. Om Darwinlah yang membunuh ibu. Aku tidak menyangka cinta yang ibu damba – dambakan sampai mencampakkan aku membawa malapetaka.
Duka yang aku alami telah membuatku kehilangan harapan. Michael sering berkunjung ke rumah sejak kejadian itu. Ia peduli denganku, aku senang akan hal itu. Chris juga tidak mempermasalahkan kunjungan Michael.
Pagi ini aku tengah menyiapkan sarapan pagi untukku dan Chris. Tadinya Chris memaksaku untuk istirahat. Bukan hanya itu, ia juga menawarkan jasanya untuk memasak tapi aku menolak. Aku rasa aku butuh melakukan kegiatan apapun sesering mungkin agar aku tidak terlalu memikirkan tentang ibu.
“Nah, ini dia pancake. Kamu harus makan yang banyak ya,” ucapku.
“Seharusnya kamu yang makan banyak, bukan aku,” balasnya seraya mencicipi pancake buatanku.
Aku duduk di hadapannya seraya memakan sarapan dengan tidak semangat.
“Kamu gak apa – apa aku tinggal pergi kerja?” tanya Chris tampak khawatir.
Aku tersenyum palsu kepadanya, aku tidak mau ia khawatir kepadaku. “ya gak apa – apa lah, aku bisa kok sendirian di rumah. Paling nanti aku jalan – jalan sendiri aja.”
Senyumanku tidak mempan, Chris tetap mengkhawatirkanku. Aku harus berakting lebih pintar lagi. Aku tidak ingin pekerjaannya terbengkalai karena aku yang terlalu ‘needy.’
Sehabis kami sarapan pagi, Chris pergi ke kantornya. Aku menyibukkan diriku dengan melanjutkan pekerjaanku yaitu menulis. Sejak pindahnya Chris ke rumahku aku merasa lebih hidup dan tidak kesepian. Lebih tepatnya aku merasa bahagia.
Berjam – jam aku habiskan waktuku untuk menulis sampai aku melewatkan makan siang. Aku menyandarkan punggungku sejenak di kursi seraya memandang keluar jendela. Nikmatnya pemandangan meja kerjaku membuat aku betah bekerja seharian.
Setelah rasa bisan perlahan menyelimuti hatiku, aku memutuskan untuk pergi keluar rumah untuk makan siang dan berbelanja. Chris meninggalkan kartu creditnya untuk memenuhi kebutuhan sehari – hariku, layaknya pasangan yang sudah menikah.
Ketika aku membuka pintu depan aku dikejutkan dengan kehadiran Michael. Ia sudah berdiri di depan pintu depan dengan seikat bunga di genggamannya. “Siang cantik,” katanya.
Aku menunduk sejenak, mengambil nafas yang dalam. “Michael, kenapa kamu kemari?” tanyaku.
“Aku cuma mau menghabiskan waktu bersama temanku, Michelle.”
Lalu Michael memberiku bunga tersebut, kemudian aku menerima bunga tersebut sebagai tanda pertemanan.
“Aku terima bunga ini karena aku menganggap kamu adalah temanku,” kataku.
Michael tersenyum, “oke, memang seharusnya kita berteman aja.”
Aku bersandar di pinggir pintu, aku menghela nafas sejenak sebelum akhirnya aku siap berbicara kepada Michael. “aku mau pergi dulu ke mall, bye.” Kataku.
Aku berjalan menuju mobilku yang diparkirkan tidak jauh dari rumah, tetapi Michael malah mengikutiku. Aku memilih untuk mengabaikannya dan terus berjalan.
“Tunggu,” cegah Michael saat aku membuka pintu mobil. Michael menahan pintu mobil dan menutupnya kembali.
“Apa lagi?” tanyaku sambil menyandar di pintu mobil.
“Biar aku temani kamu belanja, boleh kan?”
Aku menggelengkan kepala, “gak boleh, aku sudah berkomitmen dengan Chris. Aku gak bisa pergi – pergi dengan pria lain termasuk kamu.”
Michael menyandarkan salah satu tangannya di pintu mobil, ia mendekat kepadaku. Aku sangat tidak nyaman berada di dekatnya, aku hendak menjauh darinya tetapi Michael menghadangku dengan tangan kirinya.
“Kenapa kamu selalu berusaha dekat lagi dengan aku? aku udah memilih, tetapi kamu tetap menggangguku,” ucapku dengan nada kesal.
“Karena aku baru sadar kalau aku gak bisa menjauh dari kamu,” balasnya.
Aku mendorongnya agar ia menjauh dariku, lalu dengan cepat aku masuk ke mobil dan mengunci pintu agar dia tidak bisa masuk. Michael terlihat kesal, ia memukul jendela pintu mobil.
Aku langsung melajukan mobilku. Untung saja aku bisa menghindar darinya. Aku baru menyadari Michael seperti stalker plus psikopat yang terus – terusan mengejarku.
Untuk kali ini aku tidak akan kemakan rayuan Michael lagi, aku benar – benar mencintai Chris. Aku tidak mau hubunganku dengan Chris gagal lagi akibat sifatku yang labil.
Tiba – tiba terlintas di benakku untuk mampir ke kantor Chris sebelum aku pergi ke mall. Aku membelokkan mobilku dan memarkirkan mobilku di halaman parkir gedung kantor Chris. Aku masuk ke dalam kantornya dan mencari keberadaan Chris.
Chris yang tengah duduk di kursi kerjanya yang besar dilapisi kulit berwarna hitam, ia tampak serius sekali dengan pekerjaannya. Aku mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangannya. “Hai,” sapaku.
Chris menatapku dan terlukis senyuman yang lebar di wajahnya. “Michelle, sayang. Kamu ke sini?”
Ia bangkit dari kursinya dan langsung memelukku erat. “I miss you so much.”
“I miss you too.”
“Gimana kalau kita makan siang bareng, mau gak?” tanya Chris.
Aku mengangguk, “boleh banget, aku mau pizza.”
Chris menghela nafas, ia menatapku sambil menggelengkan kepalanya, “Michelle, apa istimewanya pizza? Kamu terus – terusan makan pizza.”
Aku memegang wajah Chris, kemudian aku menatapnya dengan manja. “Aku mau makan pizza, titik.”
“Oke, kita akan makan pizza siang ini. Tapi malam nanti kita makan makanan yang lain.”
“Makan apa? Cheese burger?” tanyaku.
“Ya enggak lah, kita harus makan selain pizza dan cheese burger. Aku bosan,” jawab Chris.
“Oke, tapi kamu harus ngasih hadiah ke aku kalau kamu mau aku makan yang lain.”
“Hmm, hadiah apa?” Chris melepaskan pelukkannya dariku, kemudian ia mengambil tasnya yang terletak di atas meja kerja.
“Ayo kita pergi,” ajaknya.
“Ayo.”
Kami pergi menuju restoran pizza terenak di New York. Chris tau betul tempat dan restoran terbaik di New York dibanding aku yang tidak mengetahui apapun.
Saat aku melihat papan spanduk bertuliskan ‘Huntington Clothes’ aku teringat saat aku di Huntington Beach. Beberapa bulan yang indah bersama Michael sebelum pada akhirnya kami berpisah.
Chris menyentuh bahuku, itu membuat aku terkisap. “kamu melamun? Dari tadi aku panggil berkali – kali gak direspon.”
“Aku gak dengar kamu manggil aku,” jawabku.
“Nah kita sudah sampai, aku udah laper banget nih.” Kata Chris.
“Aku juga laper banget,”
Setelah mobil sudah terparkir dengan sempurna, aku langsung turun dan masuk ke dalam restoran.
Aku dan Chris memilih meja tepat di samping jendela, kami duduk saling berhadapan. Senyumannya membuat aku haus akan sentuhannya.