Part 8

1175 Kata
Suara dering ponsel mengalihkan fokus Giska dari layar persegi di depannya. Ia menyimpan dokumen yang sedang dikerjakannya dan merogoh laci mejanya untuk menerima panggilan dari satu-satunya kontak yang tertera dalam ponsel lama itu. "Hallo?" Sapanya ramah seperti biasa. "Hallo juga." Jawab pria di kejauhan sana tak kalah ramahnya. "Sibuk?" Tanya pria itu ingin tahu. Giska tersenyum dan menggelengkan kepala. "Enggak. Kenapa emang? Tumben nelepon di jam segini?" Tanyanya heran. Anda memang terbiasa menghubunginya di malam hari dimana Giska sudah santai dengan semua jadwal kuliahnya dan di waktu-waktu dimana pria itu sendiri santai dengan jam kerja atau jam kuliahnya. "Iseng aja, taunya emang diangkat." Kekeh pria itu yang membuat Giska ikut tersenyum. "Aku udah ada di Indo loh." Tutur Anda menjelaskan. Giska terbelalak seketika. "Be-beneran?" Tanyanya mendadak gugup. "Iya, beneran. Baru balik dan kebetulan masih jetlag." Kekeh pria itu lagi. Giska hanya bisa menjawabnya dengan senyum. "Ya udah, kalo gitu istirahat aja dulu. Ngapain juga nelepon." Ucap Giska meskipun sebenarnya dadanya kembang kempis dan pipinya memerah karena senang. "Kan kangen." Jawab Anda dengan nada merayu yang membuat Giska semakin merasa malu sendiri. "Apaan sih, lebay." Jawabnya yang membuat Anda terkekeh di kejauhan sana. Perbincangan pun mengalir seperti biasa. Tentang hal-hal yang remeh ataupun yang serius yang memang ingin mereka bicarakan. Sampai akhirnya. "Apa aku boleh minta akun medsos kamu?" Tanya Anda ingin tahu. Giska berpikir sejenak. "Buat apa?" Tanyanya bingung. "Tentu aja buat tahu lebih banyak tentang kamu." Jawab pria itu dengan santainya. "Kenapa gak dari dulu? Kenapa baru sekarang?" Tanya Giska lagi ingin tahu alasan kenapa Anda tiba-tiba meminta hal demikian. "Apa kalau nanti kamu lihat medsos aku terus aku jelek kamu gak mau lagi hubungan sama aku?" Tanyanya dengan sedikit rasa kesal di dadanya. Semalam dia sudah merasa kurang nyaman dengan Sandy dan tatapan pria itu padanya dan Kiki. Sekarang Anda melakukan hal yang demikian, dan itu membuat Giska tersinggung. "Karena baru kepikiran aja." Jawab Anda dengan santainya. Giska menggelengkan kepala. "Aku belum siap." Jawabnya ketus. "Aku masih mau kayak gini." Jawabnya lagi. "Kamu tahu kan, Chris Vineyard dalam serial Detectif Conan pernah berkata kalau 'A secret makes a woman, woman'. Itulah yang aku mau sekarang." Jawab Giska dengan rasa kesal yang coba ia sembunyikan. Terdengar Anda menghela napas panjang. "Baiklah, kalo kamu maunya gitu. Kalo kamu berubah pikiran, aku pasti akan sangat senang." Jawabnya yang hanya Giska jawab dengan anggukkan. ***** "Ya, Abang loe hari ini ada di rumah?" Pertanyaan itu Kiki ajukan saat mereka sedang menghabiskan waktu istirahat jam pelajaran bersama. Raia yang tengah membalas pesan dari kekasihnya mengernyitkan dahi dan mendongakkan kepala memandang Kiki dengan bingung. "Tumben nanyain abang gu, kenapa?" Kiki menggelengkan kepala, tampak salah tingkah. Namun kemudian gadis itu menjawab. "Gak apa-apa. Cuma nanya doang." Jawabnya tersipu. Giska yang sejak tadi mendengarkan hanya diam saja. Entah kenapa. dia tidak menyukai Sandy. Dan pembicaraannya dengan Anda sebelum jam kuliah tadi membuat emosinya semakin memburuk. "Loe kenapa?" Tanya Raia seraya menyenggol lengannya dengan sikutnya. "Dari tadi cemberut mulu, PMS loe?" Tanyanya dengan nada menyindir yang membuat Giska memandangnya dengan mata menyipit tajam karena kesal. "Gue lagi sebel aja." Aku Giska pelan. "Apa cowok di dunia ini memang membuat standar tersendiri tentang cewek?" Tanyanya dengan nada ketus. "Mereka ngasih angka cewek berdasar penampilannya ya? Maunya deketin cewek yang cantik trus mengabaikan cewek yang secara mereka kurang indah dipandang?" "Loe kenapa sih?" Tanya Raia bingung. Tidak biasanya Giska terlihat seperti itu. "Setiap cowok punya standarisasi masing-masing untuk menilai cewek, Ka." Kiki berbicara. Giska memandang sahabatnya itu dengan sorot ingin tahu. "Jadi bener kan, mereka nilai perempuan dari penampilannya." Kiki mengedikkan bahu. "Gue gak bisa bantah hal itu. Cowok kan suka kalo jalan sama cewek yang cakep dan berpenampilan menarik. Seberapa jelek pun mereka, mereka maunya cewek yang sempurna untuk dipandang." "Mereka pikir, cewek itu barang?!" Ketusnya tak suka. Raia menekan bahu Giska, berharap hal itu bisa sedikit menenangkannya. "Gak semua begitu, Ka. Tergantung pribadi orangnya." Jawab Raia menengahi. "Maksudnya?" Tanya Giska seraya menatap sahabatnya dengan dahi mengernyit bingung. "Maksudnya, ada cowok yang suka sama cewek karena karakter cewek itu. Yang berarti mereka bilang suka setelah saling mengenal satu sama lain dan mengenal dalam waktu yang cukup. Sementara untuk pria yang suka cewek berdasarkan fisik, mereka adalah cowok-cowok yang memiliki pemikiran dangkal. "Gak semua cewek cantik berkepribadian bagus. Dan gak semua cewek yang mereka anggap tak menarik tidak memiliki pribadi yang patut dipuji." Giska masih mengerutkan dahinya. "Alah, semua cowok sama aja. Mereka selalu mandang fisik lebih dulu. Kepribadian, etika blah-blah-blahnya mereka kesampingkan. Yang utama, cewek mereka pantas untuk dipajang." Ucapnya dengan kesal. Giska melirik jam tangannya. Tepat saat Raia hendak menyanggah ucapannya, gadis itu menyela lebih dulu. "Gue ada kelas. Gue pergi dulu." ucapnya seraya meninggalkan kedua sahabatnya pergi. "Dia kenapa sih? Tumben-tumbenan?" Tanya Raia pada Kiki yang dijawab gadis itu dengan kedikan. Beberapa jam kemudian, Kiki dan Raia sudah kembali duduk di area luar kampus. Jam kuliah mereka sudah berakhir sementara Giska masih belum tampak batang hidungnya. "Ke rumah loe, yuk?" Ajak Kiki pada Raia. Raia memandang sahabatnya dengan dahi berkerut. "Tumben, biasanya juga loe gak mau ikut kalo gak gue paksa." Jawab Raia curiga. Kiki mengedikkan bahu. "Gue lagi males pulang." Jawabnya dengan ekspresi sedih. "Kenapa? Ada masalah lagi sama nyokap?" Tanya Raia ingin tahu. Kiki hanya menganggukkan kepalanya dengan wajah lesu. "Tapi Giska?" "Dia bilang dia masih ada jadwal." "Jadwal apa?" Tanya Raia bingung. Kiki kembali mengedikkan bahu. "Gue gak tahu. Tadi bilangnya gitu. Gue juga lihat dia masih di kelas." Lanjutnya lagi. Raia tak banyak berkata. Ia juga tidak bisa menghubungi Giska karena gadis itu terbiasa mematikan ponselnya saat berada di dalam kelas. Alhasil Kiki dan Raia pergi lebih dulu meninggalkan kampus dengan mobil masing-masing. "Loe gak mau ngasih kabar dulu ke nyokap kalo loe mau ke rumah gue?" Tanya Raia saat mereka sudah berada di parkiran. "Ntar gue kabarin." Ucapnya dengan nada malas. "Gue nebeng mobil loe ya, gue males nyetir." Ucapnya dan tanpa basa-basi masuk ke dalam mobil Raia, meninggalkan mobilnya sendiri di area parkiran terbuka. Raia tak banyak bicara, ia duduk di belakang kemudi dan kemudian menjalankan mobilnya. Raia melirik sahabatnya. Gadis itu tengah duduk dengan melipat siku dan meletakkan wajahnya di punggung tangannya. Tatapannya mengarah ke luar jendela dan tampak kosong. Raia ingin bertanya apa masalah yang saat ini dihadapi sahabatnya itu. Namun ia tidak ingin memulai pembicaraan jika bukan Kiki yang memulainya lebih dulu. Kiki berbeda dengan Giska. Giska adalah orang yang tidak mudah tersinggung, berbeda dengan Kiki yang sedikit kata saja keluar dan tidak disukainya, gadis itu akan diam dan tidak berbicara dalam waktu yang lama. Raia tahu apa yang mendasari kondisi Kiki saat ini. Gadis itu korban broken home. Ibu dan ayahnya bercerai saat dia duduk di bangku SMP dan sejak saat itu, Kiki bisa dikatakan menjadi sedikit tertutup jika ada pembicaraan mengenai keluarganya. Berbeda dengan Giska dan dirinya yang berasal dari keluarga utuh yang tak ragu untuk membicarakan kondisi keluarga masing-masing selama masih berada dalam batas-batas tertentu. Dan karena keadaan Kiki yang sedikit sensitif, Raia dan Giska harus menjaga ucapan mereka supaya tidak menyakiti gadis itu. Seperti yang dilakukannya saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN