Part 14

1124 Kata
Selepas makan siang mereka kembali ke kamar untuk beristirahat sejenak karena menurut rencana, mereka akan makan malam dan mengadakan barbeque di halaman belakang di sore hari nanti. "Ka, loe gak ngerasa aneh sama si Kiki?" Tanya Raia tepat setelah pintu kamar tertutup. Giska yang sedang mengambil perlengkapan mandinya menggelengkan kepala. "Emang kenapa sama dia?" Tanya Giska tanpa benar-benar penasaran. Raia, jika tidak ditanggapi selalu marah tanpa sebab dan Giska menghindari hal itu. "Sepanjang siang ini dia kelihatan aneh." Ucap Raia sambil bersila di atas tempat tidur dan memeluk guling. "Dia emang biasa jarang bicara, tapi hari ini dia sedikit gak biasa. Waktu kita ketawa, gue lihat kalo ketawanya dia itu kayak terpaksa, gitu." Komentar Raia lagi. Giska mengedikkan bahu. "Selama dia gak cekikikan kayak orang kesurupan, ya gak masalah kan?" Tanyanya yang mendapatkan hadiah lemparan bantal dari Raia. "Loe tuh ya. Gue serius!" Ucap Raia kesal. Giska kembali mengedikkan bahu. "Ya. Loe pahamin aja. Loe lupa apa yang kita lihat waktu jemput dia tadi?" Giska mengingatkan sahabatnya itu. "Dia lagi punya masalah, jadi pantes kalau pikirannya kemana-mana." Jawab Giska lagi yang kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok giginya. Merasa tidak puas dengan pembicaraan mereka, Raia mengejar Giska menuju kamar mandi dan dengan sengaja berdiri dengan bersandar di ambang pintu. "Menurut loe, masalah dia sama nyokapnya apa?" Tanya Raia ingin tahu. Giska kembali mengedikkan bahu. "Ya mana gue tahu, Ya. Gue kan gak dengerin semuanya dari awal." "Loe gak penasaran, gitu?" Tanya Raia lagi. Giska menggelengkan kepala seraya memasukkan ujung sikat ke dalam mulutnya. "Loe gak perhatian banget sih jadi temen." Keluh Raia kesal. Giska menjawab dengan memutar bola matanya. Dia tidak menjawab keluhan Raia karena giginya dipenuhi dengan busa pasta gigi. Setelah yakin giginya bersih dan setelah melap mulutnya dengan handuk wajah, Giska kemudian menatap sahabatnya yang super duper kepo itu. "Gue bukannya gak peduli, Ya. Gue Cuma tahu batasan." Ucap Giska dengan nada menegur pada Raia. Raia memang seringkali bersikap diluar kendali dan hal itu tidak jarang menjadikan orang-orang yang tidak mengenalnya menjadi risih dan bahkan tidak menyukai gadis itu. "Gue peduli sama dia sama kayak gue peduli sama loe, sama keluarga gue. Tapi Ya, ada masa dimana kita gak harus tahu urusan orang lain seperti ada kalanya kita menyimpan rahasia dari orang lain." "Tapi gue gak pernah nyimpen rahasia dari loe." Ucap Raia kesal. "Itu kan loe. Sementara kita tahu sendiri Kiki itu kayak gimana." Ucap Giska lagi mengingatkan. Kiki memang cenderung tertutup tentang masalah pribadinya. Dan hal itu bukan hanya terjadi sekarang, tapi sejak dulu. Sejak awal mereka saling mengenal. Secara tidak langsung, Kiki memberikan jarak dan batasan dalam persahabatan mereka. Bahkan, jika Giska dan Raia bisa leluasa untuk masuk ke rumah masing-masing, sampai saat ini mereka tidak pernah leluasa untuk datang ke kediaman Kiki. Mereka harus selalu meminta ijin jika ingin berkunjung ke kediaman Kiki. Alasannya logis sebenarnya. Kiki tidak mau kalau Giska dan Raia datang ke rumah ibunya sementara Kiki sedang berada di rumah ayahnya. Dan begitu juga sebaliknya. Dan Kiki juga mengatakan kalau dia tidak bisa bebas mengajak teman-temannya berkunjung ke rumah ibu atau ayahnya karena hubungannya dengan ayah dan ibu tirinya tidak terlalu dekat dan dia bilang dia tidak nyaman dengan mereka. Itulah sebabnya, Kiki lebih banyak menghabiskan waktu diluar rumah daripada di dalam rumah. Raia dan Giska pernah bertanya pada Kiki kenapa sahabat mereka itu tidak mengambil jalan tengah dengan kos. Tapi Kiki mengatakan kalau orangtuanya belum memberikannya ijin untuk tinggal sendirian. Di tempat lain. Kiki sedang mengeluarkan isi kopernya, dengan sengaja ia membiarkan pintu kamarnya terbuka karena dengan demikian ia bisa melihat kamar yang ditempati Sandy. Dan seperti yang ia duga, ia melihat Sandy lewat dan saat itu terjadi, Kiki berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya. "Loh, kamu tidur di kamar ini, Ki?" Tanya Sandy tepat di depan pintu kamar Kiki. Kiki mendongakkan kepala dan memandang kakak sahabatnya itu seraya menganggukkan kepala. "Abang pikir kamu tidur barengan sama Giska sama Raia." Komentar pria itu lagi. Masih berdiri di ambang pintu karena tahu batasannya. Kiki menggelengkan kepala. "Enggak, Bang. Kiki disini aja, sendiri. Abang tidur di kamar samping?" Tanyanya basa-basi, padahal ia dengan mata kepalanya sendiri melihat pria itu memasukkan tas ke kamar sebelah tadi. Namun Kiki bingung saat melihat Sandy menggelengkan kepala atas pertanyaannya. "Enggak, Abang tidur di atas." Jawab Sandy dengan senyum di wajahnya. "Lho, bukannya tadi Abang Sandy nyimpen tas di kamar samping?" Tanya Kiki bingung. Sandy kembali menggelengkan kepala. "Tadi itu Abang nyimpen barang punya anak-anak." Jawab Sandy seraya mengarahkan jempolnya pada kamar yang berada di samping kamar yang kini ditempati Kiki. "Abang gak suka tidur di lantai bawah. Enakan tidur di lantai atas, viewnya lebih oke." Jawab pria itu dengan senyum di wajahnya yang tanpa sadar membuat Kiki kesal sendiri. Tanpa banyak bicara lagi, Sandy akhirnya undur diri dan mengatakan akan kembali ke kamarnya di lantai atas. Sandy masuk ke dalam kamarnya dan langsung melangkah menuju balkon. Kamar yang Sandy gunakan dan kamar Raia itu bersebelahan, sehingga saat ia melangkah menuju balkon kamarnya, ia secara langsung akan melihat balkon kamar Raia. Dan disana, ia melihat Giska sedang duduk di kursi rotan berbantal tampak memperhatikan pemandangan. "Ekhem." Sandy berdeham untuk memancing perhatian gadis itu. Giska sama sekali tidak menoleh dan hal itu membuat Sandy mengerutkan dahinya. "Ka?" Panggil Sandy dengan nada lebih kencang. Dan Giska masih tidak menolehkan kepalanya untuk melihat Sandy. Dari bagian dalam kamar, terlihat lemparan bantal yang langsung mengenai bagian belakang kepala Giska yang membuat gadis itu mengaduh dan marah seketika. "Loe kenapa sih!" Bentak Giska seraya berbalik ke belakang ke arah sahabatnyanya berada tanpa menyadari Sandy yang berdiri di balkon sampingnya. Satu hal yang Sandy perhatikan saat itu, Giska melepas sesuatu dari telinganya yang ternyata merupakan headset Bluetooth. "Abang gue manggil loe!" jawab Raia yang membuat Giska menoleh dan melihat Sandy yang tengah tersenyum ke arahnya. Giska terbelalak seketika. Entah kenapa tiba-tiba terpesona begitu saja dengan senyum yang Sandy berikan padanya. "A-abang manggil aku?" Tanya Giska bingung. Sandy mengedikkan bahunya yang membuat Giska mengerutkan dahi dan memandang sahabatnya kesal. "Bang Sandy gak manggil gue, kucrut. Loe itu ya, ngadi-ngadi." Ucap Giska kesal yang membuat Sandy tertawa mendengar keluhannya. "Abang gue manggil loe tadi. Ka.. Ka.." ucap Raia masih di dalam ruangan dan tak bisa Sandy lihat. "Kaka tua, hinggap di jendela." Lanjut Raia lagi yang membuat Giska kesal dan kembali melempar sahabatnya dengan bantal yang ada di atas kursi. Sandy hanya memperhatikan itu selama beberapa saat sebelum akhirnya mengakui kalau dia memang memanggil Giska, tapi bukan dengan panggilan 'Kaka tua' seperti yang Raia katakan dan itu membuat Giska bersungut-sungut pada sahabatnya. "Kenapa Abang manggil aku?" Tanya Giska seraya berjalan mendekati balkon Sandy. "Enggak kenapa-napa, Abang Cuma mau tahu." "Tahu apa?" Tanya Giska penasaran. Namun sebelum Sandy sempat bertanya, panggilan orangtuanya dari bawah membuat mereka mau tak mau harus turun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN