BAB 8

2191 Kata
Aku terbangun tepat pukul dua belas dikarenakan ponselku terus-terusan berbunyi. Saat melihat nama yang tertera di layar, keningku langsung mengkerut. Mbak Lena. Bergegas aku melakukan panggilan balik, takutnya ada hal yang penting atau terjadi sesuatu padanya. “Halo, Mbak? Kenapa?” “Kimi ... bisa jemput, Mbak.” Suara Mbak Lena di seberang sana terdengar lemah sekali. “D-di ... tempat ... kerja.” “Mbak oke? Apa terjadi sesuatu?!” Aku bertanya panik, tentu saja. Mbak Lena hampir nggak pernah minta tolong padaku, kecuali saat insiden menjadi pelayan bar satu malam yang dulu dan ... sekarang. “Mbak kesakitan, ... Kimi. Perut Mbak sakit.” “Aku segera ke sana! Pokoknya Mbak tunggu. Jangan ke mana-mana!” Sisa jawabannya hanya berupa gumaman dari Mbak Lena. Aku langsung bangkit dan mengambil sweater di dalam lemari setelahnya keluar kamar tergesa-gesa. Satu-satunya cara untuk ke bar dengan cepat adalah minta tolong Tanaka. Semoga Tanaka nggak keberatan membantuku. “Om!” Kuketuk pintunya tanpa jeda. “Om, bangun!” Nggak ada tanda-tanda pintu akan dibuka, bahkan nggak ada sahutan dari dalam. Aku nggak putus asa sampai situ, kuulangi memanggil Tanaka disertai ketukan di pintu, kali ini lebih keras. “Om aku mau minta tolong!” Aku nggak tau pintunya terkunci atau apa tidaknya, yang pasti sekarang aku mencoba jadi orang yang sopan. “Om ini mendesak. Please!” “Sebentar,” sahutnya dari dalam, kemudian nggak lama kenop pintu diputar dan ditarik. “Mia? Ada apa?” Rambut Tanaka acak-acakan, matanya sedikit memerah khas orang yang baru bangun tidur. “Om bisa mengantarku ke Gold Bar? Temanku butuh bantuan di sana. Kalau naik taksi online atau ojek online, aku nggak berani di jam sekarang.” Alisnya naik sebelah dan tatapan curiga mengarah padaku. “Untuk apa? temanmu laki-laki atau perempuan?” “Nggak ada waktu untuk itu, Om! Kalau kamu mau membantuku sekali ini, aku janji akan membalasnya nanti atau setelahnya.” “Tunggu di ruang tamu. Aku tidak akan lama mencuci muka.” Ada kelegaan di dadaku. “Terima kasih banyak, Om. Terima kasih.” Tanpa menunggu sedetik berubah menjadi dua detik, aku cepat melesat menuju ruang tamu untuk menunggu. Tidak lupa, aku mengirimi Mbak Lena pesan. Mbak Lena : [Sebentar lagi Kimi ke sana. Mbak pokoknya nggak boleh ke mana-mana dan nggak boleh tertidur!] *** Rumah sakit langsung heboh begitu kami datang, apalagi saat mereka melihat wajah Tanaka yang tidak tertutupi topi maupun masker, tapi, itu bukan bagian yang penting sekarang. “Sus, tolong Mbak saya,” ucapku panik campur terengah. Orang yang ditanya sesaat tertegun mendapati Tanaka sedang menggendong seseorang. Aku merasa geram dan tentu menaikkan satu oktaf suara untuk menyadarkannya. “Ada yang butuh pertolongan sekarang! Anda harusnya segera melakukan tindakan, bukan malah terbengong seperti ini!” Beberapa dokter yang berjaga mulai berdatangan, termasuk seseorang yang aku kenal. Yudistira. Aku langsung memutar haluan padanya untuk meminta tolong. “Yudi, tolong Mbakku! Bagian perutnya sakit dan wajahnya terlihat pucat sekali!” Aku memohon dengan nada putus asa. “Kesadarannya menipis tapi perawat di sini tidak mengambil tindakan cepat.” “Oke, kamu harus tenang dulu.” Yudistira langsung memberi kode pada perawat dan dokter yang ada di sekitar kami, dari tatapannya terlihat sekali sangat menegur mereka. “Masih bisa membawanya ke UGD tanpa brankar?” Aku mengangguk kemudian menoleh pada Tanaka. Kami segera berlari mengikuti Yudistira dan beberapa dokter lain. *** “Bagaimana, Dok?” Aku dan Tanaka langsung menghampiri ketika dokter keluar. “Mbak saya sakit apa?” Name tag-nya bertuliskan Marco dan yang aku tahu orang ini adalah temannya Yudistira. “Pasien hanya kelelahan. Tekanan darahnya rendah dan juga dia kurang istirahat. Satu lagi, kami akan mengambil sampel darah korban untuk memastikan sesuatu. Semoga ini kabar baik untuk Anda dan juga ...” Tatapan Dokter Marco mengarah pada Tanaka, alisnya sempat mengernyit tapi itu tidak lama. “Suaminya.” “Ah, bukan!” Aku langsung mengibas-ngibas tangan pada Dokter Marco untuk menyangkal, begitu juga dengan ekspresi Tanaka yang seolah syok. “Dia ... dia teman kami.” Dokter Marco mengangguk-angguk. “Ya sudah, kalau begitu saya permisi. Pasien akan segera dipindah ke ruang perawatan. Setelah menghabiskan satu tabung infus, pasien baru diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dok.” Aku mengangguk sekali. “Sama-sama,” jawabnya. Setelah Dokter Marco berlalu, aku menghela napas lega banyak-banyak sebelum menoleh pada Tanaka. Aku bahkan kembali duduk untuk menenangkan jantungku yang sedari tadi berdegup kencang karena khawatir. “Semua akan baik-baik saja,” ucap Tanaka menenangkan. “Terima kasih, Om. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tau lagi harus minta tolong sama siapa.” “Baguslah. Tapi, jangan lupa imbalan yang kamu janjikan, Mia.” Aku memberikan tatapan mencibir. “Anda selalu pamrih, ya, dalam menolong seseorang. Sifat yang terpuji sekali, Tuan Tanaka.” “Aku anggap itu ucapan terima kasihmu yang kedua kalinya.” Tanaka terkekeh dan tanpa sadar tangannya mampir di puncak kepalaku, mengacak-acak rambutku. “Sama-sama, gadis sialan.” *** Berita menyebar begitu cepat, bahkan ditambah judul paling ngaco sedunia dan bikin aku yang baca ngelus-ngelus d**a. “Om, di sini katanya kamu membawa perempuan yang diduga adalah pacarmu.” Tanaka melirik kemudian mendengkus. “Para wartawan sialan!” “Semua dibilang sialan! Dasar mulut nggak pernah diajari sopan santun.” “Kamu juga gadis yang paling tidak punya sopan santun. Jadi jangan mengataiku.” Kali ini, akulah yang mendengkus. Tatapanku kembali fokus pada layar ponsel dan langsung dibuat melongo saat membaca sebaris kalimat. “Om, mereka bilang kamu mengantar pacarmu ke rumah sakit lantaran dia hamil. Astaga! Bagian hamilnya benar, tapi orangnya yang salah.” Tanaka membelokkan setir memasuki basement, tatapannya terlihat fokus ke depan tapi mulutnya menjawab kata-kataku, “Terserah, Mia. Aku angkat tangan soal berita itu. Saat Mbak Zha marah, kamu yang jadi tamengku karena kamu yang menyeretku ke sana.” Oh, jadi ini alasan Tanaka terlihat tenang di saat berita miring mengenainya menjadi topik hot di media sosial. “Ya ... kamu juga harus ngomong, dong! Masa cuma aku sendiri. Mbak Zha ‘kan kalo marah nyeremin.” Setelah terparkir sempurna, Tanaka mematikan mesin mobil dan melepaskan sabuk pengaman. Posisinya berubah jadi menyamping, menatapku sepenuhnya. “Mia, kamu gadis yang paling pintar berbicara. Masih ingat beberapa hari yang lalu? Saat kamu dengan mudahnya membuatku berjanji untuk tidak menikmati permen lagi? Masih ingat saat kamu mengancam untuk berhenti bekerja kalau aku tidak menuruti keinginanmu? Nah, gunakan cara yang sama seperti waktu itu, katakan sedramatis mungkin, aku yakin Mbak Zha tidak akan memecatmu.” “Gimana ternyata aku memang nggak akan dipecat tapi dimarahi habis-habisan?” “Ya tinggal terima saja. Toh untuk yang satu itu memang tidak ada cara untuk menghindar, kan?” “Om sialan! Aku kira kalimat panjang lebarmu menjadi solusi untukku, tapi ternyata sama saja! Sama-sama menyusahkan untukku!” Tanaka terbahak kencang. “Selamat menikmati omelan, gadis sialan. Aku mau tidur setelah sampai di kamar. Bangunkan aku ketika kemarahan Mbak Zha sudah dilampiaskan.” Tanaka lebih dulu keluar dari mobil, dan dengan santainya melambai-lambaikan tangan di depanku. Dasar manusia nggak ada akhlak! *** “Pokoknya saya tidak mau tau! Berita ini harus dihentikan secepat mungkin, kalau tidak saya akan menuntut semua yang menyebarkan!” Aku semakin mengkerut takut. Padahal Mbak Zha sedang berbicara di telpon dengan seseorang, tapi, akulah yang sekarang merasa dimarahi. “Kalau sudah terlanjur tidak bisa dihentikan, cari cara untuk memadamkannya! Kamu paham maksud saya? Jika sebuah skandal terkuak, maka carilah skandal lain untuk menenggelamkan. Kabari kalau sudah punya solusi dan aku memberimu waktu dua jam. Kuharap kamu membawa kabar bagus di panggilan kedua.” Mbak Zha mengembuskan napas keras dan melempar ponselnya ke sofa. Aku terperanjat kaget karena kukira Mbak Zha akan melemparkan benda itu padaku. “Kimi, saya masih punya stok amarah untukmu. Tapi, untuk sekarang saya tahan dulu karena saya butuh air minum.” “I-iya, Mbak,” jawabku tergagap. “Pe-perlu saya ambilkan.” “Ya. jangan lupa untuk memanggil Tanaka, karena aku juga ingin memarahinya habis-habisan.” Hati kecilku langsung bersorak kegirangan. Yes, nggak sendirian! *** “Sudah lama sekali aku tidak ke sini,” ujar Tanaka. Aku yang berjalan di sampingnya hanya sempat melirik sesaat sebelum fokus mengamati sekeliling lagi. Starligh Entertainment adalah salah satu agensi terbesar di Indonesia. Artis, aktor, model, bahkan girl/boy grup lindungan SE rata-rata dengan bayaran termahal. “Om, wajahmu ada di mana-mana. Aku bahkan enek sendiri melihatnya.” “Tentu saja.” Tanaka berseru sombong. “Aku adalah wajah SE. Agensi ini tidak akan jadi apa-apa seandainya aku tidak bergabung bersama mereka.” “Bodo amat aku nggak peduli. Orang riya hidupnya akan menderita.” “Dan orang yang membenci seseorang tanpa alasan yang jelas akan mendapat karma. Tunggu saja, Mia. Kalau sampai itu terjadi padamu, maka akulah orang pertama yang akan tertawa kencang.” Kami saling adu cibiran, tapi itu terputus saat kami bertemu dengan Gabriella Maisa bersama manajernya di depan ruang direktur. “Lihat siapa di sini? Aktor yang membuat berita heboh beberapa hari yang lalu.” Tanaka maju satu langkah, mendekati Ella. Kepalanya mendunduk dan wajah mereka berdekatan, nyaris saja hidung keduanya bersinggungan kalau seandainya Tanaka lebih menunduk sedikit lagi. “Tanaka Kawindra selalu mencuri perhatian di mana pun dia berada. Bukankah hal itu sangat mengundang paparazi dan wartawan untuk mencari berita yang menguntungkan, Nona Ella?” Saat melihat pergerakan tangan Tanaka, mataku langsung awas mengamati. Apalagi saat Tanaka meraih tangan Gabriella dan mengecupnya lembut. “Senang bertemu denganmu, Ella. Ke depannya kita akan bekerja sama. Mohon bimbingannya.” Setelah Tanaka masuk ke ruang direktur lebih dulu, aku cepat-cepat mengikutinya. Samar saat melewati Gabriella, aku mendengar dia bergumam pelan pada manajernya, “Sepertinya dia sangat bersahabat. Bukankah ini awal yang mudah?” *** Tugasku makin-makin bertambah banyak, apalagi saat agensi Tanaka mengumumkan bahwa aktor mereka akan kembali ke dunia hiburan, meski lingkupnya sekarang terbatas, yaitu pemotretan untuk majalah-majalah tertentu dan iklan untuk brand ternama saja. Tapi, namanya Tanaka diidolakan seantero jagat, fansnya sangat menyambut baik kabar ini. Mereka berkumpul di depan gedung SE, membawa poster dan spanduk yang bertuliskan, ‘We Love You, Tanaka’, ‘Kami Selamanya Mendukungmu’ dan ‘Welcome Back Prince’. Mau muntah seember aku menyaksikan kealayan itu dari lantai lima sini. Sedangkan Tanaka menatap mereka bangga, seolah melihat pendukungnya berkumpul di bawah sana adalah kebahagiaan satu-satunya yang Tanaka punya. “Gimana perasaanmu, Om? Dari bocil piyik sampai tante-tante sepertinya ikut berkumpul di sana.”  “Jika dibuat daftar orang-orang penting dalam hidupku, mereka termasuk di dalamnya, Mia. Saat aku pertama kali memasuki dunia ini, aku tidak mempunyai apa-apa dan tidak didukung siapa-siapa. Tapi, mereka yang mulai menaruh percaya dan mulai mengagumiku perlahan berdatangan, itu suatu pencapaian luar biasa yang pernah kudapat.” Aku mengguk-angguk. “Maka dari itu, Om, kamu harus mengucapkan terima kasih padaku. Kebiasaan burukmu mengoleksi permen harus sepenuhnya dihilangkan. Sebaik apa pun ditutupi, pasti suatu saat akan terbongkar dan akan menjadi bumerang untuk dirimu sendiri. Dan ... bukankah kamu nggak ingin membuat mereka kecewa kalau seandainya mereka mendengar fakta ini?” “Mia, kamu ...” Tanaka menatapku lekat, perlahan senyumnya muncul dan tanpa kuduga Tanaka menarikku ke pelukannya. “Ada untungnya juga aku bertemu gadis sialan sepertimu.” “Apaan, sih, Om.” Aku mendorong-dorong Tanaka, malangnya nggak bisa karena Tanaka semakin mengeratkan pelukan. “Nggak jelas banget. Sudah kubilangkan, mana ada orang yang bukan tipenya dipeluk seerat ini.” Tanaka menguraikan pelukan kami. Tawanya terdengar bersamaan dengan tangannya mendarat di puncak kepalaku. “Dipikir-pikir, kamu tidak buruk juga, Mia. Ya walau pun tubuhmu tidak berpengaruh apa-apa terhadap bagian sensitifku.” “Heh mulut sialan!” *** Sudah lama sekali aku nggak melihat kost ini. Sudah lama juga aku nggak bersapa ria dengan ibu kost paling cetar sedunia. Bersama dengan Alka, aku mengunjungi Mbak Lena untuk bertanya kabarnya dan kabar janin dalam perutnya. Kuharap semua baik-baik aja terlepas kejadian yang menimpa seminggu yang lalu. “Kimi, bukan?!” Aku langsung menoleh saat mendengar suara familiar berteriak. Ibu Kost. “Iya, Bu, ini Kimi.” “Astaga, Hani!” Ibu Kost langsung berlari menghampiri dan memelukku sampai rasanya sulit bernapas. “Lama kamu nggak ke sini, Sayang. Apa kabar? Gimana di tempat lain? Kamu nggak korupsi uang kost lagi, kan?” Cengiran lebarku langsung muncul. “Nggak, kok, Bu.” “Bagus!” Ibu Kost mengangguk-angguk, kemudian dia melirik ke sampingku. “Ini Alka yang ganteng itu? Ih lama nggak ketemu makin ganteng aja. Kan jiwa brondong Ibu yang sempat off jadi on lagi.” Alka meringis nggak nyaman, aku sangat tau itu karena Alka selalu risih saat bertemu Ibu Kost. “Kalau gitu, Bu, Kimi langsung ke tempat Mbak Lena, ya.” “Eh iya, Ibu sampai lupa. Bilangin sama Lena, kalau butuh apa-apa panggil aja Ibu. Selalu di rumah 24 jam, kok.” “Siap.” Ibu Kost memang beda dari yang lain. Saat beliau tau Mbak Lena kerja apa, beliau nggak pernah mempermasalahkan itu. Bahkan beliau sangat ramah dan sama sekali nggak membeda-bedakan. “Kami ke dalam, ya, Bu.” “Silahkan-silahkan. Dah Alka ganteng.” Tangan Alka erat merangkul lenganku. Bahkan saat kami menjauh, langkah Alka terkesan tergesa-gesa. “Kim, lo nggak peka kalau gue takut sama tuh nenek-nenek.” “Mulut lo, ya, Met. Gitu-gitu ibu kost baiknya pake banget sama kami.” “Iya-iya,” sahut Alka malas. Kami mengetuk kamar kost Mbak Lena dua kali dan nggak lama pintu terbuka. Bukan Mbak Lena sendiri yang membuka, melainkan seorang pria yang bertubuh tinggi dan wajahnya brewokan. “Anda siapa? Mbak Lena mana?” “Sebentar!” teriak dari dalam. Tidak lama Mbak Lena tergesa-gesa keluar, sambil memperbaiki kancing bajunya. Kalau saja kami tadi terlambat datang, pasti kost ini akan jadi tempat mereka berbuat m***m. “Kimi!” Aku langsung masuk tanpa dipersilahkan, tatapanku menuntut penjelasan pada Mbak Lena. “Ada apa ini, Mbak?” “Eee ...” Mbak Lena menatap kami bergantian kemudian tersenyum. “Duduk dulu semuanya.” Kami menurut. Mbak Lena mengambil posisi di sebelah pria brewokan tadi. Orang awam masalah percintaan sepertiku pun tau kalau ada hubungan di antara keduanya. “Ini Jayden. Ayah dari anak yang Mbak kandung.” Alka tersedak, membuat konsentrasiku buyar sejenak. “Gimana ceritanya?” “Jadi begini. Belakangan ini Mbak hanya melayani satu klien dan orang itu adalah Jayden. Awalnya kita hanya sebatas itu saja, tapi, lama kelamaan mempunyai perasaan satu sama lain. Saat tau Mbak hamil, Jayden mengatakan dia sangat bahagia dan ingin menikahi Mbak.” Tatapan Mbak Lena dan Jayden bertemu, kulihat mereka sama-sama tersenyum dan menggenggam tangan. “Mbak mengiyakan lamarannya, Kimi.” Tanpa sadar aku ikut terharu dan bahagia. Mbak Lena, satu-satunya mbak terbaikku ternyata menemukan jodohnya dengan cara seperti ini. “Kimi ikut senang, Mbak. Akhirnya Mbak bisa keluar dari tempat itu.” Raut Mbak Lena penuh keharuan. Kami langsung berpelukan satu sama lain dan aku bisa merasakan kebahagiaan Mbak Lena lewat jarak sedekat ini. “Oh iya,” ujar Mbak Lena setelah pelukan terurai. “Kejadian di rumah sakit itu, Mbak belum meminta penjelasan dari kamu.” “Anu, maksudnya ...” “Ternyata kamu kerja di tempat Tan–” Sebelum Alka atau siapa pun mendengar, aku segera membekap mulut Mbak Lena. “Nanti aku jelasin, Mbak. Bukan sekarang.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN